Kamis, 22 Juli 2021

MELIHAT WANITA DARI BERBAGAI KACAMATA

 


Wanita memang menarik karena memiliki daya tarik. Akan tetapi, daya tarik wanita ini selalu menimbulkan berbagai persepsi, khususnya di kalangan kaum Adam. Ambil contoh gambar wanita di samping ini.

Orang yang memakai kacamata AGAMA akan melihat wanita di atas sebagai sumber dosa dan menasehati agar wanita itu menutup semua auratnya.

Orang yang memakai kacamata SENI akan melihat wanita di atas sebagai sumber inspirasi bagi karya seninya (puisi, lirik lagu, lukisan atau lainnya).

Orang yang memakai kacamata IMAN akan melihat wanita di atas sebagai mahakarya indah Tuhan, Sang Pencipta, dan ia akan memuji Sang Pencipta. Wanita adalah penolong sepadan.

Orang yang memakai kacamata PROFESIONAL melihat wanita di atas sebagai sumber penghasilan, karena jika wanita itu dipoles lagi, maka ia akan menjadi seorang model, artis atau covergirl.

Masih ada banyak kacamata lainnya lagi. Intinya, setiap kacamata punya nilai atau persepsinya sendiri. Wanitanya sama, namun nilainya berbeda-beda karena kacamatanya berbeda.

Pertanyaannya: apakah wanitanya yang membuat nilai atau kacamatanya?

diolah dari tulisan 7 tahun lalu

Rabu, 21 Juli 2021

MENEMUKAN SOSOK YUDAS ISKARIOT ZAMAN KINI

 


Bagi umat kristiani tentu sudah tak asing lagi dengan nama ini: Yudas Iskariot. Tokoh ini termasuk salah satu dari kedua belas rasul Yesus. Dia dikenal sebagai pengkhianat. Dalam Injil, khususnya Injil Sinoptik, saat perkenalan awal kedua belas rasul Yesus, Yudas ini sudah mendapat julukan itu: orang yang mengkhianati Yesus (Mat 10: 4; Mrk 3: 19; Luk 6: 16).

Dengan cara apa Yudas Iskariot mengkhianati Yesus? Matius mengisahkannya dalam Injilnya. Dikatakan bahwa Yudas bertemu dengan imam-imam kepala dan bernegoisasi soal imbalan yang akan dia dapat sekiranya ia menyerahkan Yesus. Saat ini Yesus memang sedang diincar. Ia bertanya kepada mereka, “Apa yang hendak kamu berikan kepadaku, supaya aku menyerahkan Dia kepadamu?” (Mat. 26: 15). Yudas mendapat 30 keping uang perak untuk usahanya itu.

Yudas Iskariot telah menjual Yesus untuk kepentingan pribadinya. Itulah bentuk pengkhianatan Yudas Iskariot: MENJUAL YESUS. Diri Yesus dihargai 30 uang perak. Dan itu hanya untuk kepentingan dirinya sendiri.

Apakah pengkhianatan terhadap Yesus hanya terjadi pada jaman Yesus hidup saja? Ternyata TIDAK. Pengkhianatan terhadap Yesus masih berlangsung hingga kini. Masih ada Yudas Iskariot-Yudas Iskariot lain yang rela MENJUAL YESUS demi kepentingan pribadinya. Yesus masih terus dikhianati oleh para murid-Nya, bahkan oleh orang-orang dekat-Nya seperti Yudas Iskariot.

Seperti yang kita ketahui, Yudas Iskariot termasuk bilangan para rasul. Mereka ini selalu mengiringi Yesus. Mereka senantiasa bersama Yesus. Mereka sangat dekat dengan Yesus. Siapakah para rasul itu untuk masa kini? Mereka adalah para uskup dan para imam. Para uskup merupakan pengganti para rasul, sedangkan para imam, yang mengambil imamat dari uskup, adalah rekan kerja uskup. Karena itu, sosok Yudas Iskariot menjelma dalam diri para uskup dan para imam. Memang tidak semua uskup dan imam, sebagaimana tidak semua rasul mengkhianati Yesus.

Yang dilakukan oleh uskup dan imam yang mengkhianati Yesus ini tak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan Yudas Iskariot. Mereka menjual Yesus demi mendapatkan uang dan kekayaan. Memang adalah tugas uskup dan imam untuk “menjual” Yesus agar orang lain dapat mengenal kasih dan penyelamatan-Nya. Namun yang dilakukan uskup dan imam ini adalah menjual Yesus demi kepentingan pribadinya. Lewat pewartaannya, lewat karyanya dan tindakan lainnya, mereka menjual Yesus; dan hasil penjualan itu terlihat dalam gaya hidup mewah mereka.

Selasa, 20 Juli 2021

IMAN KEPADA ALLAH BERHADAPAN DENGAN PENDERITAAN


 

Semua umat beriman, apapun agamanya, tentulah meyakini bahwa Tuhan adalah Allah yang mahakuasa. Umumnya kemaha-kuasaan itu dipahami dengan kemampuan melakukan apa saja, sesuai dengan yang ada di benak manusia atau menurut keinginan manusia. Selain mahakuasa, Allah juga diyakini sebagai mahabaik. Sama seperti kemaha-kuasaan, sifat mahabaik ini juga dipahami dengan segala yang baik menurut selera dan kemauan manusia. Atau dengan kata lain, kemaha-baikan itu umumnya dimaknai bila apa yang diinginkan manusia terpenuhi.

Bukan rahasia lagi bila kehidupan manusia tidak selalu dihiasi dengan “kebaikan”. Selalu saja terjadi keburukan, entah itu berupa penyakit, bencana, kejahatan maupun kegagalan, yang semuanya dapat dilihat sebagai penderitaan. Keburukan atau penderitaan ini bahkan mengisi kehidupan manusia sekalipun manusia itu tetap senantiasa berdoa kepada Allah, yang diimaninya sebagai mahakuasa dan mahabaik. Hal inilah yang kemudian menjadi persoalan teologis, yakni mempertanyakan kekuasaan dan kebaikan Allah kala penderitaan melanda. Dalam ilmu teologi tema ini dikenal dengan istilah teodise. Uraian berikut ini didasarkan pada Mgr. Adrianus Sunarko, OFM, Allah Tritunggal Adalah Kasih: Tinjauan Historis-Sistematik. Yogyakarta: Maharsa Artha Mulia, 2017, hlm. 115 – 123.

Tema teodise ini sebenarnya sudah lama muncul dalam pemikiran umat manusia, bahkan jauh sebelum kekristenan muncul. Tercatat bahwa topik ini pertama kali diangkat oleh Epikuros pada sekitar tahun 300 Sebelum Masehi. Ada 4 premis yang diajukannya, yakni [1] jika Allah mau tapi tidak dapat melakukannya (+ -), berarti Dia lemah. Ini tidak sesuai dengan hakikat Allah yang mahakuasa. [2] jika Allah dapat melakukan, namun tidak mau (+ -), ini berarti Dia buruk/jahat. Ini juga tidak sesuai dengan hakikat Allah yang mahabaik. [3] jika Allah tidak mau dan tidak dapat melakukannya (- -), berarti Allah itu buruk dan lemah. Hal ini membuat Dia sama bukanlah Allah. [4] jika Allah mau dan dapat melakukannya (+ +), menjadi pertanyaan kenapa masih ada penderitaan (Mgr. Adrianus, 117).

Persoalan ini terus menjadi pertanyaan bagi para filsuf dan juga teolog dari masa ke masa. Dari sini lahirlah apa yang dinamakan “teologi penderitaan”. Teologi ini memberikan beberapa jawaban, yang tentunya belum memuaskan karena masih tekandung kelemahan. Pertama, penderitaan dan kejahatan dibutuhkan agar kebaikan semakin nyata. Di sini terkenal ucapan St. Agustinus, “Malum auget decorem in universe.” Warna gelap dibutuhkan dalam sebuah lukisan agar ia benar-benar tampil indah. Tentulah hal ini wajar. Mana akan muncul keindahan jika hanya ada satu warna saja. Argumen ini berarti penderitaan dan kejahatan itu baik dan dibutuhkan, padahal itu jelas-jelas bertentangan dengan kesadaran moral. Mana ada orang yang benar-benar menghendaki penderitaan atau kejahatan menimpa dirinya (Mgr. Adrianus, 118).