Semua
umat beriman, apapun agamanya, tentulah meyakini bahwa Tuhan adalah Allah yang mahakuasa.
Umumnya kemaha-kuasaan itu dipahami dengan kemampuan melakukan apa saja, sesuai
dengan yang ada di benak manusia atau menurut keinginan manusia. Selain
mahakuasa, Allah juga diyakini sebagai mahabaik. Sama seperti kemaha-kuasaan,
sifat mahabaik ini juga dipahami dengan segala yang baik menurut selera dan
kemauan manusia. Atau dengan kata lain, kemaha-baikan itu umumnya dimaknai bila
apa yang diinginkan manusia terpenuhi.
Bukan
rahasia lagi bila kehidupan manusia tidak selalu dihiasi dengan “kebaikan”.
Selalu saja terjadi keburukan, entah itu berupa penyakit, bencana, kejahatan maupun kegagalan, yang
semuanya dapat dilihat sebagai penderitaan. Keburukan atau penderitaan ini
bahkan mengisi kehidupan manusia sekalipun manusia itu tetap senantiasa berdoa
kepada Allah, yang diimaninya sebagai mahakuasa dan mahabaik. Hal inilah yang
kemudian menjadi persoalan teologis, yakni mempertanyakan kekuasaan dan
kebaikan Allah kala penderitaan melanda. Dalam ilmu teologi tema ini dikenal
dengan istilah teodise. Uraian berikut ini
didasarkan pada Mgr. Adrianus Sunarko, OFM, Allah Tritunggal Adalah Kasih:
Tinjauan Historis-Sistematik. Yogyakarta: Maharsa Artha Mulia, 2017, hlm. 115 –
123.
Tema
teodise ini sebenarnya sudah lama muncul dalam pemikiran umat manusia, bahkan
jauh sebelum kekristenan muncul. Tercatat bahwa topik ini pertama kali diangkat
oleh Epikuros pada sekitar tahun 300 Sebelum Masehi. Ada 4 premis yang
diajukannya, yakni [1] jika Allah mau tapi tidak dapat melakukannya (+ -),
berarti Dia lemah. Ini tidak sesuai dengan hakikat Allah yang mahakuasa. [2]
jika Allah dapat melakukan, namun tidak mau (+ -), ini berarti Dia buruk/jahat.
Ini juga tidak sesuai dengan hakikat Allah yang mahabaik. [3] jika Allah tidak
mau dan tidak dapat melakukannya (- -), berarti Allah itu buruk dan lemah. Hal
ini membuat Dia sama bukanlah Allah. [4] jika Allah mau dan dapat melakukannya
(+ +), menjadi pertanyaan kenapa masih ada penderitaan (Mgr. Adrianus, 117).
Persoalan ini terus menjadi pertanyaan bagi para filsuf dan juga teolog dari masa ke masa. Dari sini lahirlah apa yang dinamakan “teologi penderitaan”. Teologi ini memberikan beberapa jawaban, yang tentunya belum memuaskan karena masih tekandung kelemahan. Pertama, penderitaan dan kejahatan dibutuhkan agar kebaikan semakin nyata. Di sini terkenal ucapan St. Agustinus, “Malum auget decorem in universe.” Warna gelap dibutuhkan dalam sebuah lukisan agar ia benar-benar tampil indah. Tentulah hal ini wajar. Mana akan muncul keindahan jika hanya ada satu warna saja. Argumen ini berarti penderitaan dan kejahatan itu baik dan dibutuhkan, padahal itu jelas-jelas bertentangan dengan kesadaran moral. Mana ada orang yang benar-benar menghendaki penderitaan atau kejahatan menimpa dirinya (Mgr. Adrianus, 118).
Kedua, ada
hikmat di balik penderitaan. Artinya, penderitaan, bahkan kejahatan, tidaklah sepenuhnya
negatif. Di dalamnya masih terkandung hal-hal positif, tergantung cara orang
menyikapinya. Di sini mau dikatakan bahwa Tuhan hendak memberi pelajaran lewat
penderitaan. Dengan perkataan lain, kebaikan dapat muncul dari balik kejahatan
atau penderitaan. Leibniz adalah tokoh di balik pandangan ini. Menjadi
pertanyaan, kenapa Tuhan memberi pelajaran lewat peringatan yang bersifat
negatif dan menyakitkan? Fakta membuktikan banyak orang frustasi dan bunuh diri
karenanya, bahkan menjadi ateis (Mgr. Adrianus,
119).
Ketiga, penderitaan
adalah hukuman dari Allah atas dosa manusia. Prinsip dasarnya adalah setiap
kesalahan pasti mendapat hukuman, dan hukuman itu selalu mendatangkan
penderitaan. Karena lewat hukuman itu orang akan jera.
Dengan kata lain, penderitaan merupakan buah dari dosa (atau kesalahan).
Menjadi pertanyaan, bagaimana dengan orang baik yang menderita? Memang ada
argumen bahwa semua orang berdosa, namun penderitaan yang dialami sama sekali
tidak berbanding lurus dengan perbuatan orang. Misalnya, Suharto yang dikenal
buruk, koruptor dan jahat, namun dianugerahi umur panjang dan kekayaan, berbeda
dengan beberapa orang yang baik tapi menderita dan meninggal di usia muda (Mgr. Adrianus, 120).
Keempat,
penderitaan dan kejahatan lahir dari kebebasan manusia. Pandangan ini mirip
seperti konsep di atas, dimana penderitaan dan kejahatan merupakan buah dari
kebebasan manusia. Dasarnya adalah ketika menciptakan manusia Allah
menganugerahinya juga kehendak bebas. Allah tidak menciptakan robot, tetapi
manusia dengan kehendak bebas. Tokoh di balik pemikiran ini adalah St.
Agustinus. Dia mengatakan penderitaan dan kejahatan muncul disebabkan karena
manusia menyalah-gunakan kebebasannya. Menjadi persoalan, bagaimana dengan
penderitaan anak-anak yang belum bisa menggunakan kebebasannya, dan bukankah kebebasan
itu berasal juga dari Allah (Mgr. Adrianus,
117).
Kelima, ada
juga mengemukakan teori keseimbangan. Teori ini mengatakan bahwa di dunia ini
tidak hanya terdiri dari satu unsur saja, yaitu positif atau negatif saja.
Hanya di surga saja manusia mengalami satu situasi, yaitu positif saja. Selagi
hidup di dunia, hal positif dan negatif, penderitaan dan kebahagiaan, kejahatan
dan kebaikan akan selalu seiring sejalan; akan selalu hadir dalam setiap
kehidupan manusia. Semua itu ada untuk menjaga keseimbangan. Manusia mau tak
mau harus menerima penderitaan, sebagaimana ia suka menerima kebahagiaan. Di
sini terkenal ucapan Ayub, “Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah,
tetapi tidak mau menerima yang buruk?” (Ayub 2: 10). Pandangan ini menimbulkan
kesan seolah-olah penderitaan dan kejahatan sengaja diciptakan Allah untuk
menjaga keseimbangan. Tentulah ini membuat Allah tampil buruk dan jahat.
Bagaimana mungkin Allah yang mahabaik membiarkan umatnya hidup dalam
penderitaan dan kejahatan?
Keenam,
Allah mengizinkan penderitaan dan kejahatan. Pandangan ini mirip dengan kisah nabi Ayub, dimana Allah
mengizinkan iblis untuk membuat Ayub menderita (Ayub 2: 6 – 7). Akan tetapi,
dalam kisah Ayub yang hendak ditonjolkan adalah bahwa penderitaan itu bukan
datang dari Allah, melainkan dari iblis; hanya Allah mengizinkan hal itu
terjadi. Sebanarnya Allah tidak menghendaki umat manusia menderita, tapi Allah mentolerirnya.
Sekalipun sumber kejahatan dan penderitaan bukan dari Allah, “izin” di sini
menimbulkan persoalan. Orang ateis tentu akan berkata, “Seseorang yang menolak
kejahatan karena dia bermoral adalah mahakuasa dibandingkan Tuhan yang malah
mentolerir kejahatan.” Dengan kata lain, Allah saja membolehkan kejahatan,
kenapa manusia melarangnya. (Mgr. Adrianus, 122 – 123).
Demikianlah 6 butir jawaban atas persoalan teodise. Tak dipungkiri
dalam jawaban itu ada terkandung kebenaran, namun kebenaran itu belumlah
sempurna. Terdapat juga kelemahan dan kekurangan dalam kebenaran itu. Dengan perkataan
lain, persoalan teodise tidak mempunyai jawaban yang sempurna.
Persoalan
teodise muncul karena manusia menginginkan satu jawaban untuk semua persoalan.
Ibarat satu kunci yang dapat digunakan untuk membuka semua jenis pintu. Manusia
tak sadar bahwa masing-masing pintu, sekalipun sama-sama pintu, mempunyai
perbedaan. Namun manusia memaksakan kemauannya agar pintu-pintu tersebut bisa dibuka
hanya dengan satu kunci.
Karena
itulah manusia tidak menemukan jawaban yang memuaskan atas persoalan relasinya
dengan Allah berhadapan dengan penderitaan (bencana, penyakit, musibah,
kejahatan, dll). Ketika menemukan satu jawaban, segera ia menemukan juga
persoalan lain lagi yang tak bisa diterangkan dengan memakai jawaban tadi. Ini
seperti setelah membuka pintu kita menemukan pintu lain lagi yang tidak bisa
dibuka dengan kunci sebelumnya.
Harus
disadari bahwa persoalan yang dihadapi adalah persoalan yang sangat besar dan
luas karena bersentuhan dengan Allah yang mahaagung. Manusia ibarat satu titik
di tengah luasnya angkasa raya. Manusia mempunyai keterbatasan. Keterbatasan
itu membuat manusia tak dapat memahami persoalan tersebut. Hal ini mirip dengan
kisah legenda pertobatan St. Agustinus tentang anak kecil yang berusaha
memindahkan air laut ke dalam lobang kecil di pantai dengan menggunakan sebuah
gayung. Immanuel Kant berkata, “Akal budi kita tidaklah mampu
memahami atau menjelaskan relasi-relasi antara dunia dengan Kebijaksanaan
tertinggi.”
Karena
itu, adalah tidak bijaksana bila kegagalan memahami persoalan ini melahirkan
sikap ateis, menolak eksistensi Allah. Diskusi teodise tak lebih dari seputar
masalah 2 sifat atau esensi Allah, yakni mahakuasa dan mahabaik. Kenapa
penegasian atas salah satu sifat Allah tersebut lantas menghilangkan eksistensi
Allah? Padahal Allah itu tidak hanya sebatas 2 sifat tadi. Penolakan eksistensi
Allah, yang hanya dilandasi pada penegasian atas salah satu sifat Allah, seakan
mau menyederhanakan Allah menjadi satu dimensi saja. Allah itu multidimensi. Lagi pula, apakah
penegasian itu bisa berdampak pada hilangnya penderitaan dan kejahatan?
Manusia
juga dikenal dengan makhluk multidimensional. Salah satunya adalah ratio
(animale rationale). Apakah manusia yang tak memiliki ratio bisa dikatakan
bukan manusia? Tentulah tidak.
Dabo Singkep, 13 Juni 2021
by: adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar