Minggu, 20 September 2020

REKA ULANG MUHAMMAD DAN ISLAM


Agama islam merupakan salah satu agama terbesar di dunia. Sekalipun terpecah-pecah ke dalam banyak aliran, dimana antara satu dengan lainnya  sering berbeda pandangan, malah bermusuhan, namun semuanya tetap satu dalam satu label, yaitu ISLAM. Dan agama islam tidak bisa dipisahkan dari nabi Muhammad. Sekalipun umat islam mengakui dan menghormati juga nabi-nabi lain, seperti Adam, Nuh, Musa, Abraham, Daud, Isa, dll, namun tidak ada pengakuan dan penghormatan yang sebesar nabi Muhammad SAW. Dapat dikatakan, tidak ada islam tanpa nabi Muhammad SAW.

Tulisan ini berusaha mereka ulang kehidupan nabi Muhammad. Dari dia-lah lahir agama islam. Dalam reka ulang ini tidak akan dipaparkan detail kehidupan nabi Muhammad SAW; hanya garis besarnya saja. Dari reka ulang ini pembaca dapat mengetahui dan sekaligus menyimpulkan sendiri hal-hal penting terkait agama islam.

01.    Muhammad adalah seorang yatim piatu. Sejak kelahirannya, dia sudah ditolak oleh kaum keluarganya. Ia akhirnya dibesarkan oleh seorang wanita Badui. Pada umumnya, secara psikologis, penolakan sejak masa kecil bisa membentuk gangguan kepribadian. Karena itu, bukan tidak mungkin penolakan itu membekas dalam kepribadian Muhammad di kemudian hari. Selain itu, gaya hidup suku Badui juga akan berpengaruh dalam hidup Muhammad. Umumnya orang Badui dikenal suka merampok, selain mempunyai gaya hidup sederhana dan pekerja keras.

02.    Jauh sebelum Muhammad lahir, sudah ada banyak agama berkembang di Jesirah Arab. Ada Hindu, Zoroaster, Yahudi, termasuk agama Kristen juga sudah ada. Namun, agama Kristen yang ada waktu itu berasal dari aliran Nestorian. Aliran ini sudah dinyatakan sesat, karena ajarannya tidak seperti apa yang diajarkan agama Kristen kala itu. Sementara itu, Kabah menjadi pusat penyembahan berhala. Di sana ada sekitar 360 patung. Sekalipun ada orang Yahudi dan Kristen, tidak ada pemahaman bahwa kabah itu adalah makam Abraham.

03.    Pengalaman ditolak menumbuhkan keinginan untuk menjadi pusat perhatian. Setelah kembali ke Mekkah (dari lingkungan Badui), Muhammad mulai mencari dasar untuk menjadi pusat perhatian. Dia akhirnya menemukan dasarnya pada agama, yang berpusat pada kabah. Dan kebetulan juga sukunya sedang dalam pencarian jati diri religiositas.

Jumat, 18 September 2020

MENGKRITISI SURAH AN-NISA AYAT 142

Mantan Guru Besar Sejarah Islam di Universitas Al-Azhar, Kairo, dalam bukunya Islam and Terrorism, mengatakan bahwa kebohongan atau penipuan adalah bagian dari pola pikir islam. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia online, kata ‘bohong’ dipahami dengan (1) tidak sesuai dengan hal (keadaan dan sebagainya) yang sebenarnya; (2) bukan yang sebenarnya. Dalam keseharian, kata ‘bohong’ biasa disamakan dengan kata ‘tipu’. Berbohong sama artinya dengan menipu. Karena itu, bisa dikatakan bahwa berbohong atau menipu adalah lumrah dalam agama islam.
Hal ini mungkin disebabkan karena Allah SWT sendiri melakukan kebohongan. Sangat menarik kalau kita membaca dan mengkritisi surah an-Nisa ayat 142. Di sini Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya orang munafik itu hendak menipu Allah, tetapi Allah-lah yang menipu mereka.” Terlihat jelas kalau surah ini berisi pengakuan Allah SWT bahwa Dia adalah pembohong atau penipu karena telah melakukan penipuan.
Malah dapat dikatakan bahwa Allah SWT lebih suka memilih berbohong daripada memperbaiki kesalahan umat. Dalam surah an-Nisa itu Allah SWT dikatakan hendak ditipu oleh orang munafik. Berhadapan dengan situasi ini, Allah SWT sebenarnya dihadapkan pada dua pilihan: mengingatkan akan niat buruk orang munafik sehingga mereka tidak melakukannya (bertobat) atau balik menipu mereka. Dalam surah tersebut ternyata Allah SWT memilih pilihan kedua. Allah bukannya menegur umat yang hendak menipu-Nya atau memperbaiki kesalahan mereka, tetapi malah membalas dengan menipu atau berbohong.
Pilihan Allah SWT untuk menipu membuktikan kalau karakter pembohong itu ada pada Allah. Kata-kata Allah SWT dalam surah an-Nisa itu mirip dengan pernyataan yang lazim, “Masak pembohong dibohongi.” Dari sini dapat dikatakan bahwa Allah SWT adalah penipu atau pembohong. Untuk menguatkan pernyataan ini, kita dapat menemukan kebohongan Allah itu dalam Al-Qur’an.

Kamis, 17 September 2020

INILAH DAMPAK PSIKOLOGIS ANAK DIBESARKAN TANPA IBU

Sebagai sosok yang melahirkan, seorang ibu tentu mempunyai peran yang sangat penting untuk anak-anaknya. (Baca juga: Ibu dan Pertumbuhan Moralitas Anak) Bahkan ikatan di antara anak dan ibu sudah terbangun sejak masih dalam kandungan. Asuhan dari ibu juga akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan mental dan emosional anak. Namun, bagaimana jadinya jika anak dibesarkan tanpa kehadiran seorang ibu?
Ketidak-hadiran seorang ibu dalam kehidupan anak akan memberi dampak yang berbeda-beda bergantung pada beberapa faktor. Salah satu faktor terbesar adalah peristiwa yang menyebabkan seorang anak kehilangan ibunya. Ada yang ditinggalkan karena kematian, ada yang pergi akibat perceraian atau pekerjaan (TKW), ada juga yang ditelantarkan meski masih tinggal dalam satu rumah atau berdekatan.
Selain itu, faktor lainnya seperti usia anak saat ditinggal ibu juga berpengaruh pada cara anak bereaksi terhadap rasa kehilangan. Meski demikian, hidup tanpa ibu tentu akan memberi dampak yang besar pada keadaan emosional anak. Pada awalnya mereka cenderung berkutat pada pikiran sendiri dan mempertanyakan alasan kepergian sang ibu.
Anak mungkin akan merasa kesepian, terlebih ketika mengingat bahwa mereka tidak mendapat perawatan dan kasih sayang yang dibutuhkan dari seorang ibu. Katika tak mendapatkan jawabannya, tumbuhlah perasaan marah dan frustrasi pada diri anak. Hal ini membuat anak sering mengalami perubahan emosi yang mendadak. Perubahan inilah yang membuatnya akan sulit berkomunikasi dengan orang-orang di sekitarnya.