Seorang
ibu ingin agar anaknya mendapatkan Kartu Indonesia Pintar (KIP). Maklum, dia
adalah seorang janda, yang telah ditinggal mati suami sekitar 5 tahun lalu. Seorang
diri dia harus mengurus 4 orang anaknya. Kini keempat anaknya masih sekolah. Yang
tertua masih duduk di bangku SLTA, sedangkan yang bungsu baru tahun kemarin
masuk SD. Karena itulah, dia pergi ke RT untuk mendapatkan Surat Keterangan
Tidak Mampu (SKTM).
Ketika
ketua RT tahu bahwa anak-anaknya sekolah di sekolah swasta, ketua RT menolak
untuk memberikan SKTM. Alasan ketua RT adalah bahwa yang sekolah di sekolah
swasta adalah orang mampu. Beda dengan yang sekolah di sekolah negeri. Logikanya
kurang lebih begini: sekolah negeri gratis, sedangkan swasta bayar. Karena bayar
uang sekolah, berarti mampu, sedangkan tidak bayar berarti tidak mampu.
Dengan
perasaan sedih, ibu itu pulang kembali ke rumah. Dengan terpaksa dia
menguburkan mimpinya akan KIP bagi anak-anaknya. Mau tak mau dia harus bekerja
lebih keras lagi agar anak-anaknya bisa mengenyam pendidikan.
Kisah
di atas sungguh menyedihkan sekaligus memprihatinkan. Menyedihkan karena
ketidak-adilan berperan bagi tumbuh suburnya kemiskinan, dan yang menyebabkan
ketidak-adilan itu justru berasal dari aparat yang seharusnya berperan dalam
mengentaskan orang miskin.
Dari
kisah di atas terlihat ada kekeliruan cara berpikir. Ada pendapat bahwa yang bersekolah
di sekolah swasta berarti mampu secara ekonomi, padahal belumlah tentu
demikian. Ada banyak faktor kenapa orang bersekolah di sekolah swasta, termasuk
anak-anak ibu tadi.