Rabu, 29 Maret 2017

KATEKESE SAKRAMEN TOBAT

Dalam Gereja Katolik ada tujuh sakramen, yaitu sakramen Baptis, Krisma, Komuni, Tobat, Pernikahan, Imamat dan Pengurapan Orang Sakit. Tiga yang pertama dikenal dengan Sakramen Inisiasi, karena dengan menerima ketiga sakramen itu, seseorang telah penuh bergabung dalam Gereja Katolik. Sakramen Tobat dan Pengurapan Orang Sakit dikenal dengan istilah Sakramen Penyembuhan. Titik tekan utamanya bukan pada kesembuhan fisik, melainkan pada kesembuhan rohani.
Ada banyak istilah untuk Sakramen Tobat ini. Tekanan pada sakramen itu bukan hanya pada tobatnya saja, tetapi juga belas kasih Allah dalam wujud pengampunan. Jadi, sakramen ini menekankan tobat dan pengampunan. Karena itu, untuk mengalami belas kasih atau kerahiman Allah dalam bentuk pengampunan, seseorang terlebih dahulu harus bertobat.
Mengapa Sakramen Tobat Kurang Laris
Tak bisa dipungkiri, dari tujuh sakramen yang ada Sakramen Tobat merupakan sakramen yang sama sekali kurang diminati oleh umat. Banyak umat seakan menghindari dari sakramen ini. Di satu tempat, pengurus Gereja terpaksa berbohong dengan mengatakan bahwa nanti akan ada misa. Mendengar kata misa (ekaristi), maka umat datang berbondong-bondong. Namun jika umat mendengar kata “pengakuan dosa” bisa dipastikan hanya segelintir umat yang hadir.

Selasa, 28 Maret 2017

MELIHAT PERSOALAN NIKAH BEDA AGAMA

Bumi kita satu, tapi dihuni oleh manusia yang beraneka ragam, baik ras, suku, status sosial-ekonomi maupun agama. Ini membuktikan bahwa manusia hidup di alam pluralisme. Sebagai makhluk sosial pertemuan antar manusia dengan perbedaan ini tak dapat dihindari. Tak jarang pula dalam pertemuan dua anak manusia yang berbeda ini terkadang berakhir dengan pernikahan. Pernikahan dua anak manusia dengan beda suku atau ras tidak terlalu menimbulkan masalah yang berarti. Masalah memang ada namun masih mudah diatasi.
Yang sering menjadi persoalan adalah pernikahan beda agama. Banyak agama menolak umatnya melakukan nikah beda agama. Larangan untuk menikah beda agama ditunjang juga dengan tidak ada ritus yang memfasilitasinya. Mereka hanya mengatur pernikahan seagama saja. Karena itu, jika dua anak manusia yang berbeda agama mau menikah, maka salah satu harus menyangkal iman dan agamanya terlebih dahulu baru bisa melangsungkan pernikahan.
Agama Islam dengan tegas menyatakan bahwa nikah beda agama adalah haram. Dalam islam, pernikahan itu harus seagama atau seiman. Maka, ketika umat islam menikah dengan yang non islam, menggunakan tata cara islam (menikah secara islam), maka yang non islam harus masuk islam dulu. Dan kebetulan, dalam ritusnya ada kewajiban mengucapkan kalimat syahadatin. Dengan mengucapkan kalimat itu, seseorang telah menjadi islam.
Demikian pula dengan agama lainnya. Pernikahan antara orang Buddha dan Protestan, dengan menggunakan salah satu cara (entah Buddha maupun Protestan) menuntut salah satu harus mengingkari imannya. Agama-agama lain tidak mempunyai ritus pernikahan campur beda agama, sehingga pernikahan dengan cara agama tertentu (kecuali katolik) memaksa pihak yang lain kehilangan iman asalnya.
Karena itu, pada tahun 2015 lalu sekelompok elemen masyarakat mengajukan judicial review atas undang-undang perkawinan terkait dengan nikah beda agama (UU Perkawinan no 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 1). Undang-undang mengatakan, “Perkawian adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.” Salah satu alasan gugatan ini adalah bahwa pasal pernikahan beda agama bertentangan dengan hak asasi manusia. Akan tetapi, Mahkamah Konstitusi menolak gugatan tersebut, yang berarti UU Perkawinan tetap berlaku sebagaimana awalnya.
Jika agama lainnya tidak mempunyai ritus pernikahan campur, Gereja Katolik memiliki ritus pernikahan campur beda agama/Gereja. Namun, Gereja Katolik melihat nikah beda agama sebagai suatu halangan. Akan tetapi halangan ini dapat dihapus dengan izin atau dispensasi. Jadi, secara tak langsung Gereja Katolik membolehkan menikah beda agama. Dengan nikah beda agama di Gereja Katolik, yang non katolik tetap dengan agama atau imannya. Di sini terlihat jelas bahwa Gereja Katolik mau menghargai dan menghormati hak asasi umat agama lain. Gereja Katolik tidak boleh memaksa orang lain memeluk iman katolik hanya karena pernikahan.
Problematika Nikah Beda Agama

Senin, 27 Maret 2017

OMK DAN MEDIA SOSIAL

Catatan Awal
Tulisan ini pernah dijadikan materi pertemuan dengan OMK wilayah Koba dan stasi Trubus pada 13 Februari 2017 di Gereja St. Fransiskus Xaverius. Selain itu materi yang sama diberikan juga kepada OMK wilayah Toboali – Rias pada 25 Februari di ruang kelas SD Karya, Toboali. Sedianya materi disajikan dalam bentuk powerpoint.
Gadget, Medsos dan Kaum Muda
Dari data survey pengguna HP/gadget dapat diketahui bahwa pada tahun 2015 jumlah pengguna HP di Indonesia sebesar 338.948.340, sementara jumlah penduduknya 255 juta. Kesimpulan sederhana yang dapat ditarik adalah jumlah HP jauh lebih banyak dari jumlah penduduk. Setiap warga Indonesia, bahkan yang baru lahir sekalipun, sudah mempunyai HP. Dan jika anak usia balita dan orangtua lansia umur 75 tahun ke atas tidak menggunakan HP, bisa diperkirakan bahwa setiap orang memiliki 2 HP.
Ini menunjukkan betapa HP telah merasuk kehidupan manusia. Seakan manusia tidak bisa lepas dari HP. Inilah yang dikatakan serangan gadget. Sepertinya manusia senang mendapat serangan ini.
Keberadaan gadget semakin menguasai hidup manusia ketika internet masuk dan menjadi pelengkap dari gadget. Internet menjadi jembatan antara gadget dan media sosial. Gadget merupakan pintu masuk ke media sosial. Hal ini membuat dunia menjadi kecil dan ada dalam genggaman tangan manusia. Kapan dan dimana saja orang dapat terhubung dengan siapa saja di belahan bumi ini.
Dari data survei pengguna internet di Indonesia diketahui bahwa pada tahun 2015 ada 132,7 juta orang Indonesia yang menggunakan internet, atau 51,8% dari jumlah penduduk Indonesia. Dari jumlah itu, pengguna terbesar gadget, yang terkoneksi dengan internet, adalah kaum muda (usia antara 13 – 25 tahun). Kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa dunia kaum muda ada di media sosial. Dari sini muncul fenomena generasi jempol. Generasi jempol ini merujuk pada kemahiran anak-anak muda dalam memainkan jempolnya di gadget. Aktivitas ini bahkan membuat mereka terputus dari situasi sosialnya.
Pada salah satu tulisan di KOMPAS 31 Desember 2016 diungkapkan sebuah survei ketergantungan orang pada gadget. Dikatakan bahwa tiap orang akan mengecek gadget (medsos) sebanyak 85 kali sehari. Jika waktu jaga normal itu 16 jam, maka waktu orang bersama gadget (medsos) adalah 5,3 jam. Artinya, setiap 11 menit orang akan mengecek gadgetnya.
Aneh Tapi Nyata