Sabtu, 13 Agustus 2016

Orang Kudus 13 Agustus: St. Markus Aviano

BEATO MARKUS AVIANO, PENGAKU IMAN
Orang kudus ini terlahir dengan nama Carlo Domenico Cristofori. Ia lahir pada 17 November 1631 di Aviano, Italia. Ia adalah putera dari Marco Pasquale dan Rosa Zanoni. Ketika masih kecil, Carlo disekolahkan di sebuah sekolah Yesuit di Gorisza. Carlo memiliki kekaguman yang sangat besar terhadap para martir, dan ketika terjadi perang antara Venesia melawan Ottoman, Carlo pergi berjalan menuju Pulau Kreta, dimana pertempuran terjadi. Ia ingin mempertobatkan orang-orang Ottoman dan juga berharap dapat menjadi martir.
Di tengah perjalanan, Carlo singgah di biara kapusin di Capodistra, Slovenia. Ia disambut oleh superior biara, diberi makan dan disarankan untuk pulang. Carlo mengikuti saran itu itu dan kembali ke rumahnya. Pertemuan dengan biarawan kapusin membuat Carlo merasakan panggilan Tuhan, sehingga pada tahun 1648 ia masuk novisiat kapusin di Conegiliano, Veneto, Italia. Satu tahun kemudian ia mengikrarkan kaulnya dan memperoleh nama Markus Aviano.

Orang Kudus 13 Agustus: St. Maximus

SANTO MAXIMUS, PENGAKU IMAN
Maximus lahir di Konstantinopel (sekarang: Istambul, Turki) pada sekitar tahun 580, dan meninggal dunia pada tahun 662. Ia dikenal luas sebagai seorang teolog ulung pada abad VII, pembela ortodoksi Kristen dan otoritas Gereja Roma. Setelah meletakkan jabatannya sebagai sekretaris Heraklius (610 – 641), Maximus menjadi biarawan dan Abbas di biara Chrysopolis (sekarang: Scutari, Turki). Ia menulis banyak buku teologi, mistik dan askese yang sangat berpengaruh terhadap mistisisme Byzantium saat itu.
Sesudah tahun 638 Maximus dikenal luas sebagai seorang penyerang heresi Monotheletisme, yang mengajarkan bahwa Kristus hanya mempunyai satu kehendak, yaitu kehendak ilahi. Serangannya terhadap heresi itu memuncak tatkala Kaisar Konstan II (641 – 668) menerbitkan satu dekrit yang membela keberadaan dan ajaran heresi Monotheletisme.
Terbitnya dekrit kaisar itu menimbulkan kemarahan pihak Gereja. Paus Martinus I (649 – 655) segera mengadakan sebuah konsili di Roma untuk menghukum heresi Monotheletisme sekaligus dekrit kaisar. Maximus tampil sebagai seorang peserta konsili yang vokal dan gigih mendukung Paus.
Karena pandangan-pandangannya, Maximus akhirnya dibuang oleh Kaisar Konstan pada tahun 655 di kota Bizya, Turki Barat. Pada tahun 662 ia kembali ke Konstantinopel, tempat ia menghembuskan nafasnya yang terakhir setelah mengalami penganiayaan berat dari pihak kaisar. Karena kegigihannya membela iman Kristen dan Paus, Maximus dijuluki “Confessor”.
sumber: Iman Katolik
Baca juga orang kudus hari ini:

Jumat, 12 Agustus 2016

Bahan Pelajaran Agama Katolik SMA/K XII, Bab 1 sub B


MENGUPAYAKAN PERDAMAIAN DAN PERSATUAN BANGSA
Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman, baik suku, agama, ras maupun antar golongan. Keragaman ini merupakan kekayaan yang menjadi kebanggaan. Akan tetapi, keragaman ini justru sering menjadi masalah. Nilai-nilai persatuan dan kesatuan yang menjadi dasar dan kekuatan bangsa telah terkikis oleh egoisme dan fanatisme sempit. Hal inilah yang sering menimbulkan kerusuhan-kerusuhan yang bernuansa suku dan agama.
1.    Keprihatinan Hidup Berbangsa dan Bernegara
Dalam sidang agung Gereja Katolik Indonesia di Bogor pada 16 – 20 November 2005, terungkap realitas bangsa Indonesia, yang menjadi keprihatinan bersama. Secara ringkas ada 17 pokok masalah:
a)   Keretakan hidup berbangsa dan formalisme agama
b)   Otonomi daerah dan masyarakat adat
c)   Korupsi (masalah budaya)
d)   Korupsi (masalah lemahnya mekanisme kontrol)
e)   Kemiskinan
f)     Pengangguran
g)   Kriminalitas/premanisme
h)   Perburuhan
i)     Pertanian
j)     Lingkungan hidup (berkaitan dengan hutan)
k)   Lingkungan hidup (berkaitan dengan non hutan)
l)     Pendidikan formal: dasar – menengah
m)  Pendidikan formal: pendidikan tinggi
n)   Pendidikan non formal: pendidikan (dalam) keluarga
o)   Pendidikan non formal: kaum muda (termasuk masalah narkoba)
p)   Kesehatan
q)   Kekerasan dalam rumah tangga dan kesetaraan gender
Ketujuh belas keprihatinan ini dilihat sebagai ketidakadaban publik, dan disadari bahwa Gereja terlibat juga di dalamnya. Gereja di sini harus dipahami sebagai Umat Allah (Lumen Gentium no. 9). Hal ini menunjukkan bahwa Gereja belum memperlihatkan komitmen jelas untuk mengembangkan kehidupan yang lebih baik, sebagaimana diteladankan oleh Tuhan Yesus. Dengan kata lain, Gereja masih dikuasai habitus lama.
Habitus lama bisa digambarkan sebagai berikut: keadaan dimana tidak membiasakan diri untuk membaca realitas sosial secara kritis, memecahkan persoalan secara serampangan karena cari aman, bermental instan, cari enak dan selamat; merasa tak berdaya karena minoritas, terjebak pada pemisahan rohani – profan; dan lebih banyak mengkritik daripada berbuat, sombong serta lebih banyak berjuang untuk kelompok (suku, agama, ras).
2.    Perjuangan Gereja Mengupayakan Perdamaian dan Persatuan Bangsa