Pada suatu kesempatan mengunjungi sebuah paroki, beberapa umat yang saya
temui di lokasi dan waktu berbeda mengajukan satu pertanyaan yang sama, “Kapan
pastor paroki kami pindah?” Di balik pertanyaan itu, terekam perasaan jenuh
menghadapi pastor paroki yang sudah lama berkarya di paroki itu. Kejenuhan
tersebut beralasan karena selama menjabat sebagai pastor paroki, sepertinya
tidak ada greget hidup menggereja. Pastoral seperti air mengalir.
Menghadapi pertanyaan itu saya tidak mau masuk dalam konflik kepentingan
atau konflik lainnya. Karena itu, dengan gaya diplomasi, saya menjawab, “Hanya
Roh Kudus yang tahu.”
Tentu ada yang bingung dengan jawaban saya ini atau menganggap saya
bercanda. Mungkin ada yang mengatakan bahwa pernyataan saya tersebut hanyalah
sebuah kiasan, mengutip pernyataan Tuhan Yesus berkaitan dengan kedatangan
Kerajaan Allah. Akan tetapi perlu ditegaskan bahwa jawaban di atas bukanlah
kiasan. Memang hanya Roh Kudus yang tahu. Kenapa bisa begitu?
Soal perpindahan tenaga pastoral tentulah melibatkan dua pihak, yaitu
pastor yang bersangkutan dan uskup. Perpindahan dapat terjadi dan mudah
diketahui jika ada komunikasi dialogal antara kedua pihak tersebut. Komunikasi
dialogal memungkinkan terjadinya titik temu antara tenaga pastoral dan uskup,
sebagai pimpinan. Jika tidak ada komunikasi dialogal, maka tidak akan ada titik
temu. Ini ibarat minyak dan air atau rel kereta api. Dan kalau begini, ya hanya
Roh Kudus yang tahu. Pastor bersangkutan tidak, uskup juga tidak.
Bagaimana hal itu bisa terjadi? Ini bisa terjadi karena kedua belah pihak
berkomunikasi dengan menggunakan pengandaian. Sang pastor mengandaikan uskup
yang akan “memerintahkan” dirinya untuk pindah. Sebagai seorang imam, ia
terikat akan janji setia kepada uskup. Jadi, selagi belum ada mandat dari uskup
untuk pindah, ia akan tetap bertahan terus di paroki tersebut, tanpa peduli
apakah umat sudah jenuh atau tidak; apakah reksa pastoral jalan atau tidak.
Sementara di pihak lain, uskup mengandaikan imamnya datang meminta untuk
dipindahkan. Selagi tidak ada permintaan pindah dan atau selagi imamnya tidak
bermasalah, maka uskup tidak akan memindahkannya; tak peduli apakah umat sudah
jenuh atau tidak; apakah reksa pastoral jalan atau tidak.
Hal ini tidak akan terjadi jika ada suatu sistem rotasi, seperti setiap
lima tahun diadakan perpindahan. Atau kedua pihak tidak saling mengandaikan
dalam berkomunikasi. Imam harus tahu diri kalau kelamaan di suatu tempat
memiliki banyak efek negatif; uskup harus bijaksana agar mau juga mendengarkan
suara umatnya. Perlu disadari bahwa dalam berpastoral, umatlah yang menjadi
prioritas. Umat adalah kawanan domba yang digembalakan. Karena itu, sangat aneh
jika uskup hanya berfokus pada imamnya tanpa peduli akan umatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar