Dialah yang mengutus
rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar, untuk memenangkannya di
atas segala agama meskipun orang-orang musyrik membencinya. (QS 61: 9)
Umat islam yakin bahwa Al-Qur’an merupakan firman yang langsung berasal
dari Allah sendiri. Firman itu disampaikan secara langsung kepada nabi Muhammad
(570 – 632 M). Berhubung Muhammad adalah seorang yang tidak bisa membaca dan
menulis, maka setelah mendapatkan firman Allah itu dia langsung mendiktekan
kepada pengikutnya untuk ditulis. Semua tulisan-tulisan itu kemudian
dikumpulkan, dan jadilah kita yang sekarang dikenal dengan nama Al-Qur’an.
Karena itu, apa yang tertulis dalam Al-Qur’an adalah merupakan kata-kata Allah
sendiri. Tak heran bila umat islam menganggap kitab tersebut sebagai sesuatu
yang suci, karena Allah sendiri adalah mahasuci. Penghinaan terhadap Al-Qur’an
adalah juga penghinaan terhadap Allah, dan orang yang melakukan hal tersebut
wajib dibunuh. Ini merupakan kehendak Allah sendiri, yang tertuang dalam
Al-Qur’an (QS al-Maidah: 33).
Keyakinan umat islam bahwa Al-Qur’an merupakan kata-kata Allah didasarkan
pada firman Allah sendiri. Ada banyak ayat dalam Al-Qur’an, yang merupakan
perkataan Allah, yang mengatakan hal tersebut. Al-Qur’an diturunkan agar
menjadi petunjuk bagi umat islam. Setiap umat islam wajib mengikuti apa yang
dikatakan dalam Al-Qur’an. Untuk kemudahan ini maka sengaja Allah mudahkan
Al-Qur’an (QS al-Qamar: 17). Dengan kata lain, Al-Qur’an adalah
kitab yang sudah jelas dan mudah dipahami.
Berangkat dari keyakinan umat islam ini, maka kutipan ayat Al-Qur’an di atas haruslah dikatakan merupakan perkataan Allah sendiri, yang langsung disampaikan kepada Muhammad. Sebagaimana sudah dikatakan bahwa Al-Qur’an adalah kitab yang jelas, demikian pula pesan yang mau disampaikan kutipan wahyu Allah di atas. Umumnya umat islam akan mengartikan perkataan Allah di atas hanya berpatokan pada 3 kata kunci, yaitu Dia, Rasul-Nya, dan agama yang benar. Kata “Dia” diartikan sebagai Allah SWT, “Rasul-Nya” itu adalah nabi Muhammad, dan “agama yang benar” adalah agama islam. Karena itu, ayat ini dipahami bahwa Allah SWT mengutus Muhammad untuk membawa agama islam sebagai agama yang benar. Dengan tafsiran seperti ini tak jarang umat islam jatuh ke dalam kesombongan. Dengan dasar ini kaum muslim suka merendahkan agama lain.
Akan tetapi, kutipan wahyu di atas sebenarnya masih menyimpan persoalan
atau masalah jika benar-benar ditelaah dengan akal sehat. Kajian logis atas
ayat AL-Qur’an di atas membuat orang menolak tafsiran umum atas ayat tersebut.
Jika tafsiran umum bertolak dari 3 kata kunci, demikian pula problematika ayat
ini juga berpusat pada 3 kata kunci, yaitu Dia,
Rasul-Nya dan untuk
memenangkannya di atas segala agama.
Dua kata kunci pertama sama dengan kata kunci tafsiran umum, dan pada titik
inilah telaah logis bertentangan dengan tafsiran umum tadi.
Pertama, kata
“Dia” di sini dimaknai sebagai Allah SWT. Harus disadari juga bahwa kutipan
ayat Al-Qur’an di atas langsung berasal dari Allah sendiri. Artinya, apa yang
tertulis di atas merupakan perkataan Allah. Logikanya, Allah menyebut Allah
lain mengutus Muhammad. Tentulah Allah yang mengutus Muhammad itu BUKANLAH
Allah yang sedang berkata-kata. Jika yang mengutus Muhammad itu adalah Allah
yang sedang berkata-kata, maka seharusnya Allah berkata, “Aku (atau Kami) yang
mengutus Rasul-Ku …..” Karena itu, haruslah dikatakan bahwa kutipan wahyu Allah
di atas hendak membuktikan bahwa Allah islam itu bukan satu, melainkan DUA.
Allah yang berbicara, yang perkataan-Nya kemudian ditulis dalam Surah as-Saff
ayat 9, berbeda dengan Allah yang mengutus Rasul-Nya. Inilah persoalan dari
kata kunci pertama.
Kedua, kata
“Rasul-Nya” di sini dimaknai sebagai nabi Muhammad. Benarkah demikian?
Pertama-tama harus disadari bahwa kutipan ayat Al-Qur’an di atas merupakan
kata-kata langsung dari Allah sendiri, yang disampaikan kepada Muhammad. Harap
ingat, hanya Muhammad yang menerima wahyu Allah. Jadi, perlu dipahami bahwa
waktu itu Allah menyampaikan kepada Muhammad kutipan ayat di atas. Di sini
tampak jelas logika atau jalan pikiran Allah sedikit kacau balau. Jika memang
benar Allah mengutus Muhammad, maka seharusnya redaksi kalimatnya sebagai
berikut: “Aku yang mengutus engkau sebagai Rasul-Ku ….” Ketika Allah, yang
sedang berbicara dengan Muhammad, menyebut “mengutus Rasul”, jelaslah itu bukan
Muhammad yang dimaksud. Jadi, kajian logis atas kata “Rasul-Nya” sama sekali
tidak merujuk pada Muhammad. Inilah masalah dari kata kunci kedua.
Ketiga,
frase “untuk memenangkannya di atas segala agama” menimbulkan multi tafsir.
Bagi islam moderat, frase ini hanya sebatas arogansi. Umat islam berupaya
menjelek-jelekkan agama lain, dan menampilkan islam sebagai agama yang
sempurna, agama yang baik dan benar. Kemenangan dari perjuangan ini terlihat
ketika umat dari agama lain menjadi islam (mualaf). Sementara islam radikal,
mengartikan frase ini sebagaimana wahyu Allah dalam QS al-Anfal: 7 dan QS Ali
Imran: 19. Orang kafir (termasuk agamanya) harus dimusnahkan sampai ke akar-akarnya
sehingga hanya ada islam di sisi Allah. Inilah yang menjadi ideologi terorisme.
Tidak puas dengan kebanggaan islam sebagai agama yang benar, tetapi
ditindak-lanjuti dengan membinasakan yang bukan islam agar tinggal agama islam
saja. Inilah problematika dari kata kunci ketiga.
DEMIKIANLAH
kajian logis atas wahyu Allah dalam surah as-Saff ayat 9. Dari kajian tersebut
terdapat beberapa poin kesimpulan:
1. Kutipan
ayat di atas membuat Al-Qur’an bukan sebagai kitab yang jelas sebagaimana
dikatakan Allah sendiri. Tafsiran logis berdasarkan akal sehat dengan alat
bantu ilmu bahasa bertentangan dengan tafsir umum yang hanya berdasarkan selera
(suka-suka).
2. Haruslah
dikatakan bahwa Al-Qur’an bukanlah wahyu Allah; atau setidaknya kutipan ayat di
atas bukan merupakan perkataan Allah. Jika tetap dikatakan itu adalah wahyu
Allah, maka haruslah dikatakan ada DUA Allah.
3. Jika
bukan wahyu Allah, maka haruslah dikatakan bahwa Al-Qur’an atau setidaknya
kutipan ayat di atas adalah rekayasa Muhammad. Apa yang tertulis di atas
merupakan kata-kata Muhammad yang diletakkan pada mulut Allah, sehingga
seolah-olah Allah berkata demikian. Kelemahan manusiawi Muhammad membuat
munculnya kekacau-balauan bahasa dan tafsirnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar