Ketika mengunjungi orang sakit, entah itu di rumah atau di rumahsakit,
sering kita mendengar atau kita sendiri melontarkan kata-kata peneguhan kepada
pasien. “Sabar ya…, banyak doa, biar cepat sembuh.” Kurang
lebih kata-katanya demikian, atau pun jika lain nadanya tak jauh berbeda.
Ada tiga aspek di balik pernyataan tersebut. Ada aspek psikologi (sabar), ada
aspek agama (doa), dan aspek kesehatan (sembuh). Ada kesan bahwa
ketiga aspek ini saling berkaitan. Kesehatan tidak hanya dapat ditentukan oleh
aspek medis (kesehatan) melainkan juga oleh aspek lain, yaitu psikologi dan
agama. Bagaimana hal ini dapat dijelaskan?
Sebelum membahas lebih lanjut, terlebih dahulu kita pahami konsep agama. Di
sini agama diartikan sebagai pikiran (kognisi), perasaan (afeksi) serta tingkah
laku sehari-hari yang kita sadari melalui interaksi dengan unsur supranatural
yang dianggap punya peran penting dalam kehidupan manusia. Dalam agama
terkandung unsur psikologi, yaitu (1) kepercayaan akan adanya Tuhan yang
memengaruhi kehidupan; (2) tingkat kualitas dalam melakukan aktivitas agama
(misalnya, frekuensi berdoa, penghayatan dalam berdoa); (3) tingkat komitmen
dalam beragama.
Ada banyak penelitian dilakukan untuk melihat kaitan antara agama, kesehatan dan psikologi. Dari hasil penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa 25 – 30 % orang yang aktif beragama memiliki usia yang lebih panjang. Keaktifan beragama diukur melalui berbagai cara, seperti mengukur tingkat kepercayaan pada agama, frekuensi kunjungan (keikutsertaan) di rumah ibadah, maupun keterlibatan dalam beribadah (berdoa, devosi, misa, membaca Kitab Suci). Tidak hanya itu, orang remaja atau juga dewasa (dengan latar belakang berbagai agama) dengan tingkat religiusitas yang tinggi juga lebih tidak menyukai minum-minuman keras dan rokok, serta lebih menunda melakukan hubungan seks di luar nikah. Mereka juga lebih sering menggunakan seatbelt, berkunjung ke dokter, serta minum vitamin dibanding mereka yang tingkat religiusitasnya lebih rendah.
Agama memiliki peran yang signifikan dalam berbagai tahap perkembangan.
Untuk anak remaja, dikatakan bahwa remaja yang religius cenderung memiliki
nilai yang lebih baik di sekolah. Beberapa penelitian juga menunjukkan hubungan
antara tingkat religiusitas dengan kemampuan remaja untuk berinteraksi dengan
lingkungan. Tidak hanya itu, semakin baik religiusitas remaja, maka semakin
baik pula rasa percaya dirinya. Sementara untuk yang sudah menikah, pasangan
yang religius memiliki periode menikah lebih lama serta mempunyai tingkat
komitmen yang lebih baik dibanding dengan pasangan yang tidak religius.
Hasil penelitian yang dilakukan selama dua dekade juga menyimpulkan bahwa
agama memiliki kaitan dengan kesejahteraan psikologi. Orang dengan konsep agama
yang positip memiliki kemungkinan yang lebih kecil untuk mengalami depresi.
Selain itu, orang juga akan merasa lebih bahagia dalam menjalani kesehariannya.
Penjelasan lain mengemukakan bahwa berdoa mampu mempengaruhi keadaan pikiran
serta tubuh. Dengan berdoa, keadaan pikiran akan menjadi tenang, sehingga tubuh
juga menjadi rileks. Kedua hal ini akan mengurangi kecemasan, menurunkan
tekanan darah dan menstabilkan pola tidur serta melancarkan proses pernafasan
juga pencernaan.
Agama juga membantu proses pengaturan diri (self-regulation).
Dilihat dari sudut pandang psikologi, self-regulation akan
membuat orang bertingkah laku sesuai dengan aturan-aturan atau tujuan yang
ingin dicapainya. Oleh karena itu, jika kembali dikaitkan dengan kesehatan,
agama akan memberikan berbagai aturan untuk menjalani hidup yang sehat. Dengan
penanaman aturan-aturan tersebut, orang dengan tingkat religiusitas yang baik
akan lebih mampu mengontrol dirinya dalam menjalankan peraturan tersebut.
Mereka lebih mampu menolak hal-hal yang tidak baik, seperti tidak merokok,
minum minuman keras, dsb.
Pada akhirnya, orang dengan tingkat religiusitas yang tinggi diasumsikan
memiliki self-regulation serta kontrol diri yang lebih baik.
Kedua hal ini diperkirakan merupakan alasan di balik fakta survey tadi, yaitu20
– 30 % orang yang religius mempunyai umur yang lebih panjang. Melalui
pengaturan serta kontrol diri yang baik, orang akan menjauhi hal-hal yang tidak
baik untuk dirinya.
Demikianlah uraian singkat kaitan antara agama, psikologi dan kesehatan. Dari sini tampak jelas bahwa kesehatan kita tidak hanya ditentukan oleh penanganan medis semata, melainkan juga dapat ditentukan oleh faktor lain seperti agama dan psikologi.
diambil dari tulisan 7 tahun lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar