Dihalalkan bagimu pada malam hari puasa bercampur dengan istrimu. (QS 2: 187)
Allah menurunkan wahyu-Nya kepada Muhammad agar bisa
dijadikan pelajaran, tuntunan dan juga pedoman hidup yang harus dilaksanakan.
Karena itulah, Allah sudah mengatakan bahwa Al-Qur’an itu adalah keterangan,
petunjuk atau pelajaran yang mudah dan jelas (QS Ali Imran: 138; QS ad-Dukhan:
58; QS al-Qamar: 17). Selain itu, Al-Qur’an juga dilihat sebagai pedoman atau
petunjuk bagi umat islam (QS al-Jasiyah: 20). Sebagai petunjuk dan pedoman
inilah akhirnya lahir aturan-aturan islami, yang biasa dikenal dengan istilah
syariah islam. Setiap pemeluk islam wajib melaksanakannya.
Berangkat dari uraian ini, dapatlah dipastikan bahwa
kutipan ayat Al-Qur’an di atas merupakan perkataan Allah, yang bisa dijadikan
pedoman bagi pemeluk islam. Memang kutipan wahyu Allah dalam ayat 187 ini tidak
lengkap dikutip. Aslinya wahyu Allah dalam ayat 187 terdiri dari 9 kalimat,
akan tetapi kutipan di atas, yang merupakan kalimat pertama dari wahyu Allah,
sudah dijadikan satu pedoman bagi umat islam. Artinya, kutipan ayat di atas
sudah bisa ditafsir atau dipahami maknanya tanpa harus dikaitkan lagi dengan
kalimat-kalimat lainnya dalam ayat 187.
Sekalipun Allah sudah menyatakan bahwa wahyu-Nya itu jelas, bukan lantas berarti tanpa harus ada upaya tafsir-menafsir. Meski demikian, Allah sudah membuatnya mudah sehingga umat islam tak perlu pusing tujuh keliling. Demikian halnya kutipan ayat di atas. Ada satu kata yang mau tidak mau harus ditafsir sehingga umat islam memahami isi atau pesan dari kalimat tersebut. Kata itu adalah “bercampur”. Dapat dipastikan bahwa para ulama islam sepakat kata itu dimaknai dengan bersetubuh atau melakukan aktivitas suami istri (bersenggama). Karena itulah, kalimat pertama dalam wahyu Allah ini dipahami bahwa Allah membolehkan suami istri melakukan hubungan seksual pada malam hari puasa.
Wahyu Allah ini bisa dimaknai secara negatif: dilarang
melakukan hubungan seksual pada siang hari puasa. Dalam aturan islam,
ulama-ulama kemudian menambah pemahaman untuk menegaskan wahyu Allah ini.
Penambahan itu terkait dengan definisi “malam”. Umumnya para ulama
mengaitkannya dengan wahyu Allah dalam kalimat kelima pada ayat yang sama.
Secara sederhana kata “malam”, dimana suami istri boleh melakukan hubungan
seksual, dipahami dengan saat buka
hingga menjelang sahur.
Apa yang menarik dari wahyu Allah ini?
Yang menarik dari kutipan wahyu Allah di atas adalah
sikap kompromi Allah terhadap umat islam terkait urusan seksual. Dalam masalah
seksual sepertinya Allah mengalah kepada umat-Nya, sekalipun itu pada masa
puasa. Seharusnya Allah melarang melakukan hubungan seksual selama bulan puasa
sebagai bentuk pengekangan diri atau pengendalian hawa nafsu. Akan tetapi, di
sini ada toleransi.
Menjadi pertanyaan, kenapa Allah mengalah pada umat dalam
urusan seksual? Kenapa Allah tidak langsung menegaskan selama bulan puasa (30
hari) umat islam dilarang juga berhubungan seksual?
Jika membaca Al-Qur’an, banyak ditemui adanya sikap
kompromi Allah terkait urusan seksual. Ini mau menunjukkan bahwa masalah
seksual merupakan kebutuhan hidup setiap orang. Dan kebutuhan itu sangat besar
dialami oleh orang Arab. Dengan kata lain, kebutuhan seksual orang Arab sangat
tinggi sehingga sulit untuk dikekang. Karena itu, menjawab pertanyaan di atas
setidaknya ada satu kemungkinan, yaitu Allah takut umat meninggalkan-Nya dan
beralih ke Allah yang lain. Jadi, ketakutan ditinggalkan umat membuat Allah mengalah
dalam urusan seksual, sehingga sekalipun dalam masa puasa, dimana idealnya umat
mengekang hawa nafsu, Allah tetap mengizinkan perbuatan tersebut dilakukan.
Bagi orang waras dan masih punya akal sehat, tentulah
kemungkinan di atas sedikit meninggalkan persoalan. Memang logika
kemungkinannya masuk di akal, akan tetapi menjadi tidak masuk akal ketika
dikaitkan dengan Allah. Mereka akan bertanya, bagaimana mungkin Allah takut dan
tunduk pada umat-Nya? Bukankah seharusnya umat yang mesti tunduk pada Allah? Ketakutan
tersebut memberi isyarat bahwa Allah lemah.
Dari analisa kecil di atas, mereka yang waras dan punya
akal sehat pastilah akan mengatakan bahwa wahyu ini bukanlah dari Allah. Dengan
kata lain, kutipan ayat di atas bukan merupakan wahyu Allah. Haruslah dikatakan
bahwa kutipan tersebut merupakan kata-kata Muhammad. Bukankah banyak ditemui
dalam Al-Qur’an bahwa ayat-ayat Al-Qur’an merupakan karangan atau rekayasa
Muhammad? Itu adalah perkataan Muhammad, namun diletakkan pada mulut Allah
sehingga dikatakan wahyu Allah. Jadi, Muhammad-lah yang takut ditinggal pergi
pengikutnya. Dia sadar bahwa para pengikutnya mempunyai dorongan seksual yang
terbilang tinggi (bukan tidak mustahil ini merupakan penggambaran dirinya
sendiri), sehingga ada potensi pembangkangan jika dorongan tersebut dikekang.
Lingga, 8 Januari 2022
by: adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar