Sebagaimana biasanya, menyambut hari raya keagamaan, pemerintah, melalui
Kementerian Hukum dan HAM, memberikan remisi kepada para narapidana yang
merayakan hari raya itu. Remisi adalah pengurangan masa hukuman yang
berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Bisa dikatakan bahwa
remisi itu diberikan kepada narapidana yang telah memenuhi persyaratan yang
berlaku.
Remisi adalah HAK para narapidana yang sudah memenuhi ketentuan
perundang-undangan. Hak itu didapat karena ia sudah memenuhi atau menjalani
kewajibannya. Jadi, jika seorang terpidana telah menjalani kewajibannya, maka
pihak yang bertanggung jawab atas remisi mutlak harus memberinya. Menahan
remisi seseorang terpidana merupakan sebuah kejahatan dan pelanggaran.
Akan tetapi, di satu sisi pemberian remisi dinilai oleh sebagian orang
sebagai tindakan yang melukai rasa keadilan publik. Hal inilah yang sedang
hangat-hangatnya diberitakan. Menyambut hari raya Natal, Menteri Hukum dan HAM
memberikan remisi kepada para narapidana. Di antaranya ada beberapa terpidana
kasus korupsi. Sontak publik merasa gerah.
Sebenarnya tindakan memberi remisi ini, termasuk kepada terpidana korupsi,
bukan baru kali ini saja. Awal Agustus lalu Kemenkum dan HAM juga memberi
remisi kepada ratusan napi korupsi sebagai hadiah Idul Fitri.
Banyak orang melihat bahwa pemberian remisi tidak akan menimbulkan efek
jera dalam melakukan tindak kejahatan, termasuk korupsi. Di samping itu,
pengurangan masa hukuman telah melukai rasa keadilan masyarakat. Para terpidana
telah melakukan kejahatannya dengan niat dan kesadaran, dan kejahatan mereka
tentulah berdampak buruk bagi masyarakat. Semestinya mereka mendapat hukuman
yang berat sehingga mereka bertobat.
Namun di sisi lain pemberian remisi adalah sebuah kewajiban karena remisi itu merupakan hak setiap narapidana yang dilindungi undang-undang. Tentu kemenkum dan HAM sadar akan hal ini. Sebagai orang hukum, ia musti taat pada ketentuan undang-undang. Adalah ironis jika ia menindak orang yang melanggar undang-undang sementara ia sendiri melanggar undang-undang.
Inilah dilema remisi. Ada pertentangan dan pertempuran antara HAK dan rasa
keadilan. Dilema ini terjadi karena masing-masing pihak hanya melihat dari
sudut pandangnya saja, dan melupakan titik temunya. Saya melihat bahwa titik
temunya ada pada produk hukum yang berkaitan dengan sanksi hukum. Inilah yang
mempertemukan antara HAK dan rasa keadilan. Pertemuan ini bisa menimbulkan
gesekan sehingga terjadinya dilema, bisa juga menimbulkan kerukunan.
Produk hukum yang mengatur sanksi bagi terpidana yang berlaku saat ini
masih sangat lemah atau ringan. Para koruptor hanya diganjar dengan hukuman
ringan, biasanya kisaran 6 – 15 tahun; kecuali jika dikenakan pasal berlapis
ada kemungkinan jumlah hukumannya bisa mencapai 30 tahun. Namun semua itu masih
terasa ringan. Sekalipun terpidana korupsi diganjar hukuman maksimal,
hukumannya masih terasa ringan. Ringannya hukuman ini tentu berdampak pada rasa
keadilan andai terpidana menerima remisi.
Akan berbeda jika jumlah hukumannya terperberat. Misalnya, minimal 100 tahun
dan maksimal 250 tahun. Dan pengurangan masa hukuman hanya bisa 1 atau 2 minggu
dalam satu tahun. Saya yakin tidak akan ada muncul problematika seputar remisi.
Para terpidana tetap mendapat haknya, masyarakat pun tak akan terlukai rasa
keadilannya.
Yang menjadi persoalan, siapa yang mau membuat produk hukum sanksi seperti
ini? Dan lagi-lagi, seperti masalah-masalah yang ada di negeri ini, semuanya
tergantung pada kemauan politik para elite negeri ini.
diambil dari tulisan 7 tahun lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar