Umat islam umumnya percaya kalau Injil
(kitab suci orang kristen) tidak asli lagi, alias telah dipalsukan. Salah satu
alasan atau dasar dari tudingan mereka ini adalah keyakinan bahwa Injil dapat
dengan mudah diubah-ubah. Dasar ini dipakai umat islam dengan mengacu pada
Al-Qur’an. Mereka mengatakan bahwa keaslian Al-Qur’an terjaga sehingga tak
mungkin dipalsukan. Pernah seorang muslim, dengan gagahnya membuat perbandingan
antara Al-Qur’an dan Injil dengan mengaitkan aksi demo mana yang terbesar
sebagai reaksi dari pemalsuan. Artinya, silahkan memalsukan Al-Qur’an dan
Injil, lalu lihat reaksi mana yang paling heboh. Kehebohan paling besar
menunjukkan keaslian kitab suci tersebut.
Namun sayang, link tulisan tersebut
sekarang sudah diblokir. Kurang lebih isinya sebagai berikut:
Al-Qur’an terjaga keasliannya, sebagaimana janji
Allah. Kalau tidak percaya, coba kalian:
1. Palsukan Al-qur’an dan kalian terbitkan Al-Qur’an
itu ke seluruh Indonesia dan semua toko buku.
2. Kalian palsukan Injil dan kalian terbitkan Injil
itu ke seluruh Indonesia dan semua toko buku.
Dan kalian bakal mendapatkan efek yang teramat sangat
jauh berbeda dari kedua hal yang kalian lakukan, yaitu:
1. Kalau kalian palsukan Al-Qur’an, kalian pasti akan
diprotes besar-besaran, didemo, diburu polisi dan masuk tv…..masuk penjara
2. Kalau kalian palsukan Injil, kalian pasti tidak
kenapa-napa, tak ada protes besar-besaran, karena Injil sekarang
memang sudah dipalsui…. Injil sekarang berbeda dengan jamannya nabi Isa a.s….
masih original.
Sepertinya demikianlah umumnya cara pandang umat islam. Sungguh amat menyedihkan.
Sebuah Kebenaran
Harus jujur dikatakan bahwa cara pikir di
atas tidak sepenuhnya salah. Ada kebenaran di dalamnya. Kebenaran itu adalah
bahwa jika Al-Qur’an dipalsukan akan menimbulkan reaksi besar, bukan saja di
Indonesia melainkan seluruh dunia. Berbeda dengan Injil atau Kitab Suci orang
kristen.
Jadi, adalah benar apa yang dikatakan bahwa
umat islam akan marah, protes dan melakukan tindakan anarki lainnya bila ada
orang yang memalsukan Al-Qur’an. Ini adalah fakta. Jadi kebenarannya
berdasarkan fakta. Kita bisa katakan bahwa pendapat tersebut mewakili pendapat
umum umat islam, karena ada banyak ditemui orang islam yang berpikiran
demikian.
Akan tetapi, apakah kemarahan, protes dan
tindakan anarki merupakan tolok ukur keaslian Al-Qur’an? Harus disadari juga
bahwa reaksi marah, kekerasan bahkan sikap anarki umat islam ini bukan hanya
muncul bila terjadi sesuatu pada Al-Qur’an yang tidak benar, melainkan juga
pada atribut agama. Misalnya, jika ada “pelecehan” atau informasi yang tidak
disukai berkaitan dengan Nabi Muhammad, maka umat islam seluruh dunia akan
demo, protes, marah bahkan bertindak brutal. Tentu kita masih ingat akan kasus
pembakaran buku “5 Kota Paling Berpengaruh di Dunia” oleh Toko Buku Gramedia
pada 14 Juni 2012. Gramedia takut menghadapi ancaman umat islam (baca
ulasannya di sini). Atau ketika ada video dengan nabi
Muhammad, umat islam sedunia marah.
Jadi, sifat suka marah yang dapat berujung
pada tindakan anarkis sepertinya menjadi ciri khas umat islam, bukan merupakan
tolok ukur keaslian sebuah naskah. Mungkin sifat ini mendapat pendasarannya
dalam Al-Qur’an sendiri. Demi membela (atribut) agama, apapun boleh dilakukan.
Karena itu wajar bila bulan September lalu Pemerintahan Rusia memerintahkan
untuk memusnahkan Al-Qur’an, karena dinilai menciptakan ekstremisme. Lebih
lanjut baca di Tempo.
Amat sangat menyedihkan jika keaslian
sebuah naskah ditentukan oleh selera. Dan yang terjadi selama ini adalah
demikian. Semua tulisan atau karya apapun yang bersinggungan dengan keislaman,
harus sesuai dengan selera umat islam. Jika tidak maka akan muncul kemarahan.
Dalam buku “5 Kota Paling Berpengaruh di
Dunia” di sana hanya ditulis bahwa untuk menghidupi kelompoknya Muhammad
merampok. Umat islam tidak suka dengan kata “merampok”. Hal itu seakan
mengurangi citra luhur sang nabi. Padahal, fakta sejarah memang demikian.
Injil Dipalsukan?
Dengan pola pikir di atas, maka wajar bila
orang islam berkesimpulan bahwa Injil sudah dipalsukan. Karena sama sekali
tidak ada kemarahan apalagi tindakan anarki dari orang kristen bila terjadi
sesuatu pada Injil. Jangankan pada Injil, pada atribut keagamaan lainnya,
jarang sekali terdengar. Kalaupun terjadi, itu pasti di tingkat lokal saja.
Misalnya, ketika terjadi pelecehan Yesus oleh Neymar, hanya umat Brasil yang
protes. Itupun tidak seluruhnya. Protes itu disuarakan oleh Konferensi
Waligereja Brasil. Tidak ada kesuruhan, tidak ada demo atau penutupan majalah
yang memuat gambar pelecehan tersebut.
Lalu, apakah itu berarti bahwa Injil
benar-benar sudah dipalsukan? Apakah Injil sekarang berbeda dengan Injil waktu
jaman Yesus?
Harus diingat bahwa pada waktu Yesus hidup
belum ada Injil seperti yang ada sekarang ini. Hanya umat islam yang menyakini
bahwa Injil itu sudah ada pada masa Yesus. Pada waktu itu hidup, perkataan dan
perbuatan Yesus itulah Injilnya. Setelah Yesus naik ke surga, kisah hidup Yesus
ini berkembang dari mulut ke mulut dalam tradisi lisan. Dan setelah puluhan
tahun ada usaha beberapa orang untuk menuliskan kembali kisah hidup Yesus
(perbuatan dan perkataan-Nya).
Jadi, tidak benar bila dikatakan bahwa
Injil sudah dipalsukan hanya dilihat dari tidak adanya reaksi protes pada umat
kristen. Kenapa umat kristen diam saja? Mungkin orang kristen sudah bisa
membedakan mana yang asli dan tidak. Atau mungkin karena tidak ada pendasaran
dalam Injil untuk marah atau melakukan tindak kekerasan demi membela kebenaran.
Bukankah Injil memerintahkan umat kristen untuk berlaku kasih, bahkan kepada
mereka yang menghina, mencela, memfitnah atau memusuhi.
Tolok Ukur Keaslian
Pertanyaan kita sekarang, apa yang
seharusnya menjadi tolok ukur keaslian tulisan (Al-Qur’an dan Injil)?
Untuk menguji keaslian sesuatu, kita
membutuhkan pembanding yang juga sama dengan sesuatu itu. Pembanding inilah
yang menjadi tolok ukurnya, bukan soal selera. Misalnya, untuk menguji keaslian
emas, kita harus punya pembandingnya. Emas yang kita uji itu kita bandingkan
dengan emas murni sebagai pembandingnya; jika sama maka emas yang diuji itu
asli. Jadi bukan karena saya suka, maka emas itu asli.
Atau sebuah keaslian berita dapat
diketahui bila kita punya pembanding. Misalnya, tentang peristiwa Perang Padri
(1803 – 1838). Kita tidak bisa mengandalkan informasi Perang Padri ini dari
buku yang ditulis tahun 1900-an, tanpa sumber-sumber pendukung yang mendekati
tahun kejadian. Kita tidak bisa mengandalkan selera untuk menyatakan bahwa
informasi dalam buku itulah yang benar. Kita harus membutuhkan pembanding untuk
mengetahui fakta yang terjadi pada Perang Padri. Pembanding itu dapat kita
temukan pada buku atau manuskrip-manuskrip yang ditulis sekitar tahun kejadian.
Buku atau manuskrip yang ditulis sekitar tahun kejadian inilah yang harus
diakui kebenaran peristiwanya.
Contoh lain tentang eksorsis. Ada film
yang mengisahkan tentang eksorsis dengan judul “The Rite”.
Dikatakan bahwa film ini didasarkan dari kisah nyata yang ditulis dalam buku
dengan judul “Ritual Pengusiran Setan: Pencariankeyakinan seorang
eksorsis di zaman modern” karya Matt Baglio. Jika kita
hanya berdasarkan selera, maka kita akan mengatakan bahwa informasi dalam film
itulah yang benar, meski ada perbedaan jauh antara film dan buku. Buku
mendekati kebenaran karena ia langsung dari sumber utama, sedangkan film yang
dibuat jauh setelah buku diterbitkan, sangat jauh dari sumber utama.
Demikianlah dengan Injil. Sebenarnya ada
banyak kitab yang disebut ‘injil’. Umumnya diketahui ada sekitar 20 injil. Dari
ke-20 kita injil itu, Gereja hanya mengakui 4, yaitu Matius, Markus, Lukas dan
Yohanes. Alasannya, pertama penulisnya tidak jauh dari sumbernya. Misalnya,
Injil Matius dan Yohanes diyakini ditulis oleh Rasul Matius dan Yohanes;
sedangkan Injil Markus dan Lukas ditulis oleh murid rasul Yesus (Markus, murid
rasul Petrus; dan Lukas, murid rasul Paulus). Jika membandingkan keempat
tulisan Injil itu terdapat kesamaan pesan.
Hal ini berbeda dengan injil-injil
lainnya. Sekalipun memakai nama rasul (misalnya, injil Petrus, injil Thomas,
injil Filipus, injil Yudas dan injil Keduabelas rasul), sangat diragukan
keasliannya. Ini dapat dilihat dari tahun penulisan serta bahasa dan gaya
penulisan. Selain itu, keberadaan keempat Injil itu sudah diakui oleh Bapa-bapa
Gereja yang hidup di abad-abad awal, seperti Papias, St. Hieronimus, St.
Irenaeus, Origenes dan Eusabeus. Mereka hidup antara tahun 150 – 250. Kesaksian
mereka memberi peneguhan atas keaslian keempat Injil, yang berbeda dengan injil
lainnya. Ini bisa terjadi karena Gereja tidak memusnahkan karya-karya lainnya
yang bertentangan dengan keempat Injil. Dengan ini orang bisa menguji
keasliannya dengan cara membandingkan dan dengan cara lainnya.
Berbeda dengan Al-Qur’an. Kita sama sekali
tidak punya naskah pembanding, karena naskah-naskah yang dinilai tidak
menyenangkan dimusnahkan. Karena itu, yang ada dalam Al-Qur’an hanyalah yang
baik-baik saja menurut ukuran umat islam. Karena semuanya menjawab selera. Dan
orang pun “dipaksa” untuk menulis yang baik-baik saja (sesuai selera umat)
tentang keislaman. Tulisan yang tidak sesuai dengan selera umat, tentulah akan
segera dimusnahkan (contoh buki lima kota atau ayat-ayat setan). Orang tidak
diperkenankan untuk beda pendapat, sekalipun untuk berbeda itu ada dasarnya.
Misalnya penulis buku lima kota punya data yang bukan sembarangan.
Hal ini berdampak pada penerbit dan toko
buku. Penerbit dan toko buku tidak berani menerbitkan atau memajang buku
bernuansa islam yang tidak sesuai selera umat islam. Resikonya sangat besar.
Jadi, keaslian sebuah naskah tidak
ditentukan oleh selera atau ada tidaknya aksi demo yang bisa berujung pada
tindak anarkis. Keaslian sebuah naskah ditentukan oleh naskah lain sebagai
pembanding. Ada banyak syarat yang harus dipenuhi. Salah satunya adalah tahun
penulisan. Seorang sejarahwan, ketika hendak menulis sebuah naskah sejarah, ia
akan mencari sumber buku yang tahun penulisannya mendekati peristiwa sejarah
yang akan ditulisnya.
diolah dari tulisan 7 tahun lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar