Selibat Rohaniwan Katolik adalah aturan di beberapa gereja partikular yang
membentuk Gereja Katolik yang hanya memperbolehkan pria yang tidak menikah saja yang dapat
ditahbiskan menjadi imam.
Aturan yang sama juga dijunjung oleh beberapa gereja lainnya dalam hal
pentahbisan menjadi gembala (uskup, pendeta, rasul) gereja tersebut.
Pemimpin gereja-gereja partikular Katolik yang
mentaati aturan ini adalah Ritus Latin, namun, di antara Gereja-gereja Katolik Timur,
setidaknya Gereja Katolik Ethiopia menerapkannya juga.
Dalam konteks ini, "selibat" mempertahankan
arti sesungguhnya dari "tidak menikah", dan tidak merujuk pada
penahanan nafsu atau puasa dari hubungan seksual yang bisa juga dilakukan oleh
pihak-pihak yang telah menikah.
Di seluruh Gereja Katolik, baik di Timur maupun di Barat, sebagaimana juga di
Gereja Ortodoks Timur dan di Gereja Ortodoks Oriental, seorang imam tidak boleh menikah. Untuk bisa menjadi
seorang imam yang menikah, dalam beberapa gereja dan kasus, maka seseorang
harus menikah dahulu sebelum ditahbiskan. Gereja
Katolik, Gereja Ortodoks Timur dan Gereja Ortodoks Oriental,
tanpa pengecualilan, menutup kemungkinan pentahbisan bagi pria yang telah
menikah untuk menjadi imam.
Hukum selibat klerik dianggap bukan sebuah doktrin, namun sebuah aturan.
Beberapa pengecualian kadang-kadang dibuat, terutama dalam kasus
rohaniwan Protestan yang pindah ke dalam Gereja Katolik, dan
aturan ini, secara teori, bisa diubah bagi semua macam pentahbisan imam. Namun,
selibat klerik ini dinilai sebagai sebuah kesaksian yang berharga bagi iman
Kristiani dan sebagai sebuah jalan untuk mengikuti
teladan Kristus dan kehidupan selibat-Nya.
Sejarah
Penelitian oleh para cendekiawan Katolik, salah satunya tersedia di
situs Vatikan, berargumen bahwa, dalam
praktik-praktik umat Kristiani awal, pria yang telah menikah yang menjadi imam
- seringkali mereka adalah orang-orang berusia baya, "orang tua" -
dianggap akan hidup dengan menahan nafsu sepenuhnya, menahan diri seterusnya
dari hubungan seksual dengan istri mereka. Ketika nantinya jelas terungkap
bahwa tidak semuanya bisa menahan nafsu, Gereja Barat membatasi pentahbisan
imam hanya untuk pria yang tidak menikah dan mewajibkan adanya komitmen menjadi
selibat seumur hidup, sementara di Gereja-gereja Timur aturan ini lebih lunak,
yakni Gereja Ortodoks Timur dan Gereja Katolik Timur sekarang
mewajibkan rohaniwan mereka yang telah menikah untuk tidak melakukan hubungan
seksual selama masa tertentu sebelum merayakan Ekaristi.
Gereja di Persia, yang di abad ke-5 memisahkan diri dari gereja yang
bernama Ortodoks maupun Katolik, memutuskan pada akhir abad itu untuk
menghapuskan aturan penahanan nafsu dan memperbolehkan para imam mereka untuk
menikah, namun tetap mengakui bahwa hal tersebut menghilangkan sebuah tradisi
lama. Gereja Ortodoks Tewahedo Ethiopia, yang pemisahan dirinya, bersama dengan
Gereja Ortodoks Koptik Aleksandria, terjadi belakangan, memperbolehkan para
diakon (yang ditahbiskan ketika mereka masih anak-anak) untuk menikah, namun
bukan imam: setiap orang yang akan menjadi imam dan ingin menikah harus
melaksanakan pernikahannya sebelum menjadi imam. Gereja Apostolik Armenia, yang
termasuk di dalam kelompok Gereja Ortodoks Oriental, walau secara teknis
melarang pernikahan setelah ditahbiskan menjadi sub-diakon, seperti juga Gereja Ortodoks Timur,
secara umum membiarkan aturan ini tidak digunakan dan memperbolehkan para
diakon untuk menikah hingga pada saat pentahbisan mereka menjadi imam, sehingga
tetap meneruskan tradisi tidak boleh menikah bagi para imam. Teori ini
menjelaskan mengapa semua gereja-gereja tua baik di Timur maupun di Barat,
dengan satu pengecualian di atas, melarang pernikahan setelah pentahbisan imam,
dan mengapa semuanya mengharuskan pejabat kerasulan (yang dilihat sebagai
sebuah bentuk imam yang lebih sempurna daripada presbyterate atau
ketua agama) untuk selibat.
Bukti tertulis paling awal mengenai pelarangan untuk menikah bagi para
klerik dan kewajiban mereka yang telah menikah untuk tidak melakukan hubungan
seksual dengan istri-istri mereka adalah dekrit Konsili
Elvira pada abad ke-4 dan kemudian Konsili
Kartago. Menurut beberapa penulis, dekrit ini mengambil dari norma
yang ada sebelumnya yang sedang dipandang rendah saat itu.
- Konsili
Elvira (sekitar tahun 305)
(Kanon 33): Diputuskan bahwa semua pernikahan dilarang bagi para
uskup, imam dan diakon, atau bagi semua rohaniwan yang memegang jabatan
gerejawi, dan bahwa mereka tidak berhubungan badan dengan istri-istri mereka
dan tidak menghasilkan anak; siapa saja yang melanggar hal ini akan dicabut
jabatan kehormatan kleriknya.
- Konsili
Kartago (tahun 390)
(Kanon 3): Adalah pantas bahwa para uskup dan imam Tuhan yang suci
termasuk juga kaum Levi, yakni mereka yang memberikan pelayanan pada sakramen
ilahi, mentaati penahanan nafsu yang sempurna, supaya mereka bisa meraih semua
kesederhanaan yang mereka minta dari Tuhan; apa yang diajarkan oleh Para Rasul
dan apa yang telah lama ditaati, biarlah kita juga berusaha keras untuk
menjaganya. Sungguh menggembirakan kita semua bahwa uskup, imam dan diakon -
para penjaga kesucian - menahan diri dari hubungan badan dengan istri-istri
mereka, supaya mereka yang melayani di Altar bisa menjada sebuah kesucian yang
sempurna.
Di antara pernyataan-pernyataan Gereja pertama mengenai topik penahanan
nafsu seksual dan selibat adalah Directa Decretal dan Cum
in unum yang merupakan dekrit dari Paus
Sirisius (sekitar tahun 385), yang menegaskan bahwa penahanan
nafsu seksual kaum klerik adalah sebuah praktik apostolik yang harus diikuti
oleh para pelayan gereja.
Tulisan-tulisan Santo Ambrosius (wafat tahun 397) juga menunjukkan
bahwa persyaratan mengenai para imam, baik yang telah menikah maupun yang
selibat, untuk selalu menahan hawa nafsu adalah sebuah aturan yang tidak dapat
dipungkiri. Bagi rohaniwan yang telah menikah yang, "di beberapa tempat
yang diluar jalur", merujuk, dengan mengambil contoh imam dari Perjanjian lama, pada hak untuk memiliki
keturunan, Ambrosius mengingatkan bahwa di masa
Perjanjian Lama kaum awam pun berkewajiban untuk mentaati aturan penahanan
nafsu di hari-hari menjelang perayaan kurban, dan berkomentar: "Apabila
memang benar perhatian akan penahanan nafsu ini diberikan kepada apa yang
diminta, betapa banyaknya sikap penahanan nafsu ini yang harus ditunjukkan di
dalam realitas!" Lebih kerasnya lagi ia menulis: "Santo Paulus berkata mengenai seseorang
yang punya anak, dan bukan mengenai seseorang yang menghasilkan anak."
Dasar-dasar Teologi
Secara teologis, Gereja mengajarkan bahwa imamat adalah sebuah perangkat
gereja yang mengikuti hidup dan karya Yesus Kristus. Para imam sebagai pelayan sakramen bekerja in persona Christi, yaitu dalam diri
manusia Kristus. Oleh sebab itu kehidupan para imam mengikuti kesucian Kristus
sendiri. Pengorbanan untuk tidak menikah demi Kerajaan Allah (Lukas 18: 28-30, Matius 19: 27-30, Markus 10: 20-21), dan untuk mengikuti teladan Yesus Kristus yang
"menikah" dengan Gereja - yang dipandang oleh paham Katolik dan
banyak tradisi Kristiani lainnya sebagai "Mempelai Kristus".
Dasar-dasar Kitab Suci
Kardinal Joseph Ratzinger (sekarang Paus Benediktus XVI) dalam Garam Dunia juga menjelaskan
bahwa praktik selibat ini adalah berdasarkan pada khotbah Yesus kepada para
kasim atau kaum selibat "demi Kerajaan Surga" yang menghubungkan
keputusan Tuhan dalam Perjanjian Lama untuk menganugerahkan imamat kepada satu
suku saja, yaitu suku Levi, dan yang tidak seperti suku-suku lain tidak
menerima tanah sejengkal pun dari Tuhan - sebuah kebutuhan mendasar bagi
penerusan keturunan seseorang senilai dengan seorang istri dan anak-anak zaman
sekarang - namun mendapatkan "Tuhan sendiri sebagai harta warisannya" (Bilangan1: 48-53).
Juga dasar lain yang diambil adalah ajaran-ajaran
Santo Paulus dari Tarsus yang menyatakan bahwa selibat merupakan tahapan
kehidupan yang tinggi, dan keinginannya ini dinyatakan dalam 1 Korintus 7: 7-8, 32-35:
Aku ingin, supaya
kamu hidup tanpa kekuatiran. Orang yang tidak beristeri memusatkan perhatiannya
pada perkara Tuhan, bagaimana Tuhan berkenan kepadanya. Orang yang beristeri
memusatkan perhatiannya pada perkara duniawi, bagaimana ia dapat menyenangkan
isterinya, dan dengan demikian perhatiannya terbagi-bagi. Perempuan yang tidak
bersuami dan anak-anak gadis memusatkan perhatian mereka pada perkara Tuhan,
supaya tubuh dan jiwa mereka kudus. Tetapi perempuan yang bersuami memusatkan
perhatiannya pada perkara duniawi, bagaimana ia dapat menyenangkan suaminya.
Semuanya ini kukatakan untuk kepentingan kamu sendiri, bukan untuk
menghalang-halangi kamu dalam kebebasan kamu, tetapi sebaliknya supaya kamu
melakukan apa yang benar dan baik, dan melayani Tuhan tanpa gangguan.
Perkembangan di Abad ke-11
Terkadang dikatakan bahwa selibat menjadi keharusan bagi para imam Ritus
Latin baru mulai pada abad ke-11; sementara beberapa pihak lain mengatakan,
misalnya: "Adalah adil bila dikatakan bahwa pada era Paus Leo
I (440-461) hukum selibat dikenal secara umum di dunia Barat," dan
bahwa aturan-aturan pada abad ke-11 mengenai hal ini, seperti juga pada
kasus simoni atau kegiatan ilegal jual-beli posisi gerejawi,
harus secara jelas tidak diartikan sebagai suatu makna bahwa baik non-selibat
maupun simoni sebelumnya diperbolehkan.
Gereja-gereja Katolik Timur
Secara umum, Gereja Katolik Timur memperbolehkan pentahbisan pria
yang telah menikah sebagai imam. Di Amerika Utara, atas dasar ketakutan
bahwa para imam yang menikah akan membuat skandal di tengah-tengah umat
Katolik Ritus Latin, para uskup Katolik Timur biasanya hanya mentahbiskan
pria-pria yang lajang; namun semenjak Konsili Vatikan II mengajak
restorasi akan tradisi-tradisi Katolik Timur, beberapa gereja kembali ke
praktik tradisional Timur yang lama dengan mentahbiskan pria yang telah menikah
ke dalam jajaran perangkat gerejawi.
Sebuah syarat untuk menjadi seorang uskup Katolik Timur adalah harus lajang
atau sudah menjadi duda.
Kontroversi
Aturan Ritus Latin terus diperdebatkan atas dasar berbagai
alasan. Pertama, banyak orang percaya bahwa selibat bukanlah keharusan bagi
para rasul. Santo Petrus sendiri memiliki seorang istri semasa
kerasulan Yesus, yang ibunya Yesus sembuhkan dari sakit demam tinggi. Namun
beberapa pihak lainnya berargumen bahwa para rasul benar-benar meninggalkan
istri-istri mereka. Kedua, persyaratan ini menyisihkan banyak pria yang
seharusnya memenuhi syarat untuk menjadi imam, persyaratn yang menurut pembela
aturan selibat seharusnya ditentukan bukan hanya pada kemampuan pengertian
manusia akan naskah kitab suci tapi juga pada kemampuan pengertian hal-hal
ilahi.
Ketiga, beberpa pihak mengatakan bahwa menolak dorongan seksual alami
dengan cara ini adalah tidak masuk akal dan berbahaya bagi hidup yang sehat.
Skandal seksual di antara para imam, para pembela aturan selibat berargumen,
adalah sebuah pelanggaran terhadap aturan Gereja, bukan hasil dari pelanggaran
tersebut, terutama semenjak hanya sebagian kecil dari para imam yang terlibat.
Keempat, dikatakan bahwa keharusan untuk selibat menjauhkan para imam dari
pengalaman hidup, menghilangkan kekuasaan moral diri mereka sendiri di dalam
lingkungan pastoral, walaupun para pembelanya berargumen bahwa kekuasaan moral
Gereja justru dikembangkan oleh sebuah kehidupan yang sepenuhnya menyerahkan
diri ke dalam imitasi Kristus - sebuah pelaksanaan praktis ajaran Konsili
Vatikan II yang menyebutkan bahwa "manusia tidak bisa secara penuh
menemukan dirinya sendiri kecuali melalui persembahan dirinya sendiri yang
tulus".
Penentangan terhadap Selibat Klerik selama masa Reformasi
Selibat sebagai sebuah persyaratan bagi pentahbisan menjadi imam (dalam
Gereja Barat) dan menjadi rasul (baik di Gereja Timur maupun di Barat) serta
menyatakan bahwa pernikahan bagi para imam adalah tidak sah (baik di Timur
maupun di Barat) adalah hal-hal penting dari perselisihan selama
masa Reformasi Protestan, dengan para kaum Reformer berargumen bahwa
persyaratan-persyaratan ini bertentangan dengan ajaran Kitab Suci di
dalam 1 Timotius 4: 1-5, Ibrani 13: 4, dan 1 Korintus 9: 5, yang secara
tidak langsung merupakan sebuah degradasi terhadap pernikahan, dan merupakan
satu alasan bagi "banyaknya rasa kebencian" dan bagi semaraknya
perilaku seksual yang buruk di dalam lingkungan klergi di masa Reformasi. Pandangan
doktrin para kaum Reformer mengenai hal ini tercermin di dalam
pernikahan Huldrych Zwingli pada tahun 1522, Martin
Luther di tahun 1525, dan John Calvin di tahun 1539; Di Inggris,
Thomas Cranmer yang telah menikah ditahbiskan menjadi Uskup Agung Canterbury
pada tahun 1533. Tindakan-tindakan ini, pernikahan setelah pentahbisan menjadi
imam dan mentahbiskan pria yang telah menikah menjadi seorang uskup, melawan
tradisi lama Gereja baik di Timur maupun di Barat.
Semenjak Konsili Vatikan II
Tahta Suci secara resmi
menegaskan kembali aturan mengenai selibat klerik di dalam Gereja Katolik Ritus Latin. Paus Yohanes Paulus II dalam Pastores Dabo Vobis menyatakan
bahwa "tidak berubahnya' intisari dari pentahbisan "membentuk imam
menjadi seperti Yesus Kristus Sang Kepala dan Mempelai Gereja." Oleh sebab
itu, ia mengatakan, "Gereja, sebagai Mempelai Yesus Kristus, berharap
untuk dicintai oleh para imam sepenuhnya dan secara khusus seperti Yesus
Kristus Sang Kepala dan Mempelai Gereja mencintainya."
Gereka Latin sekarang memperbolehkan para pria yang telah menikah dan telah
berusia baya untuk ditahbiskan menjadi diakon, dengan syarat bahwa mereka
berkehendak untuk tetap menjadi diakon dan tidak berkehendak untuk melangkah
maju mendapatkan pentahbisan imamat (pentahbisan ke dalam tahapan diakon
merupajkan bagian dari proses perjalanan calon imam menuju pentahbisan imam).
Pentahbisan, bahkan yang bagi diakon, adalah sebuah hal yang tidak mengijinkan
pernikahan nantinya, walaupun dispensasi khusus bisa diterima untuk pernikahan
kembali di dalam situasi yang sangat luar biasa.
Pengecualian
Pengecualian kadang-kadang dibuat (termasuk di dalam aliran Katolik Ritus
Latin), dianugerahkan berdasarkan kekuasaan Sri Paus, ketika
rohaniwan Protestan yang telah menikah menjadi Katolik. Karena aturan
selibat adalah sebuah hukum gerejawi dan bukanlah sebuah doktrin, aturan ini
bisa, secara prinsip, diubah setiap saat oleh Sri Paus. Doktrin-doktrin, di
sisi lain, tidak bisa diubah. Walaupun demikian, baik Sri Paus saat
ini, Paus Benediktus XVI dan para pendahulunya, telah membahas dengan
jelas mengenai pengertian mereka bahwa praktik tradisional ini tidak mungkin
akan berubah.
diambil dari tulisan 7 tahun lalu
(catatan kaki ada di sana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar