Hari
Rabu lalu kami sudah menurunkan sebuah tulisan terkait masalah Ustadz Abdul
Somad (UAS) lewat judul tulisan “Siapa yang Dihina dalam Kasus Ustadz Abdul Somad”. Sejak itu, persoalan UAS tidak
berhenti. Malah semakin menjadi. Memang UAS sudah memberikan klarifikasi. Dengan klarifikasi itu, UAS merasa dirinya tak bersalah sehingga juga merasa tak perlu minta maaf. Setidaknya
ada 3 poin penting dalam klarifikasi, yang seakan mendapat dukungan dari MUI,
yaitu:
1.
Konteks ceramahnya saat itu sedang menjawab
pertanyaan salah seorang pendengar;
2.
Ceramahnya diberikan kepada kalangan
tertutup (artinya, tidak bersifat publik);
3.
Ceramahnya sudah terjadi 3 tahun lalu.
Sepertinya
penjelasan UAS ini masuk akal MUI dan terasa menyejukkan, sehingga MUI pun
berharap semoga klarifikasi tersebut dapat menyejukkan suasana. Menjadi
persoalan, 3 poin yang disampaikan UAS itu sama sekali tidak menyentuh inti
persoalan, yaitu penghinaan agama. Hal inilah yang dipersoalkan oleh mereka
yang masih punya otak (akal budi). Bagi mereka, bukan persoalan dimana
disampaikan ceramah itu, bukan pula kepada siapa ceramah itu disampaikan atau
bukan juga soal cerahmah itu dalam konteks menjawab pertanyaan, tetapi
PERSOALANNYA ADALAH APA YANG DISAMPAIKAN. Mungkin UAS dan juga MUI tidak sadar
dan tidak tahu soal apa yang disampaikan.
Kita
dapat mengajukan sebuah perbandingan untuk memahami logika piker argumen UAS,
yang seolah diamini MUI. Di Bangka, salah satu durian paling enak adalah durian
tai babi. Dapat dikatakan orang
Bangka pencinta durian pasti tahu akan hal itu dan sepakat. Suatu hari ada orang luar
Bangka melihat durian tai babi, lantas
berkomentar bahwa durian itu tidak enak. Alasan argumennya adalah karena
melihat duri durian itu, bentuknya dan juga warnanya. Jadi, enaknya durian
bukan dilihat dari rasa setelah mencicipi, tapi dari tampilan luar. Tentulah,
terhadap argumen ini orang Bangka akan bilang, “Dasar buduh!”
Demikian pula halnya dengan argumen UAS. Pernyataannya sama sekali tidak menyentuh inti persoalan, yaitu apa yang diucapkannya. Dia hanya berargumen di level permukaan, yaitu ceramah yang bersifat tertutup, menjawab pertanyaan pendengar dan terjadi 3 tahun lalu. Dari argumen permukaan ini, UAS lantas berpendapat tidak salah dan tidak ada penghinaan. Akan tetapi, terlepas dari persoalan itu, permasalahan ceramah keagamaan UAS ini justru membawa situasi dilematik, bukan saja bagi polisi tetapi juga bagi umat islam. Tentulah semua ini mengandainya orang paham dan sadar akan apa yang dihadapinya.
Dilema dihadapi pihak kepolisian jika kasus UAS ini sampai diangkat ke jalur hukum (artinya, ada pihak yang merasa dirugikan lantas melaporkannya ke polisi). Jika memperhatikan surat edaran Kapolri no. SE/06/X/2015, pada poin 2 huruf g dan h, kasus UAS ini menjadi sangat gamplang. Namun, apakah penanganannya juga akan sangat gampang? Tentu tidak. Di sinilah pihak kepolisian akan menghadapi problem dilematik. UAS sudah menegaskan bahwa ceramahnya sudah sesuai dengan akidah islam. Karena itu, mempermasalahkannya sama saja dengan menghina agama islam. Bukan tidak mungkin akan ada Aksi Bela Islam, seperti dalam kasus Basuki Tjahaya Purnama. Maklum, dalam islam agama wajib dibela jika dihina. Jika diam, lebih baik mati saja. Dan gejala ini sepertinya sudah terlihat. Akan tetapi, jika tidak ditangani hal ini akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di masa yang akan datang. Penceramah islam akan seenaknya saja menghina agama lain dengan dasar akidah. Dan ini selalu memungkinkan. Hal ini akan menjadi semacam antitese Pancasila.
Persoalan UAS, jika dicermati dengan nalar dan hati yang bening, sebenarnya terkait juga dengan umat islam. Pernyataan UAS dalam ceramah dan juga klarifikasinya, yang sepintas mendapat dukungan dari MUI, justru dapat merusak citra islam sendiri. Slogan islam rahmatan lil alamin, islam itu indah, atau islam itu damai ternyata hanyalah slogan belaka; semua itu hanya BOHONG semata. Islam yang sebenarnya adalah yang kebalikannya. Bukankah ini justru mencederai islam sendiri? Bukankah ini malah menghina islam sendiri?
Aksi membela UAS seolah-olah aksi membela islam, tetapi malah justru merendahkan islam. Orang seakan mendapatkan pembenaran (dan pembenaran itu justru dilakukan oleh umat islam sendiri) bahwa ISLAM BUKANLAH AGAMA TOLERAN. Selain itu juga, orang seakan mendapat pembenaran bahwa islam hanya boleh dihina oleh umat islam sendiri. Jika yang menghina islam itu orang non islam, maka reaksi umat islam akan langsung terlihat. Tapi jika yang menghina islam itu orang islam sendiri, apalagi termasuk tokoh, maka aksi yang muncul malah membela.
Demikianlah dilema yang muncul dari kasus Ustadz Abdul Somad. Dilema ini tidak hanya dialami oleh kepolisian, tetapi juga sebenarnya oleh umat islam sendiri. Namun sayangnya, dilema ini hanya membutuhkan ketajaman budi dan kejernihan hati sehingga benar-benar mampu menangkapnya. Dengan menangkap situasi dilema ini, tentulah phak-pihak yang menghadapinya dapat mengambil sikap yang bijaksana dalam menyikapi kasus UAS.
Tanjung Pinang, 22 Agustus 2019
by: adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar