Keputusan
Presiden AS, Donald Trump, yang akan memindahkan kedutaannya ke Yerusalem, membuat
dunia bergejolak. Pemindahan tersebut secara langsung berarti mengakui
Yerusalen sebagai ibukota Negara Israel. Kritikan dan kecaman mewarnai aksi
demo menentang keputusan tersebut. Umat islam se-dunia marah. Ada yang membakar
foto gambar Trump. Kedutaan-kedutaan besar Amerika di seluruh dunia dijaga
ketat.
Jika
dicermati pidato Trump (Rabu, 6 Desember) tentang pengakuan Yerusalem sebagai
ibukota Israel, terlihat jelas bahwa keputusan itu hanya sekedar memenuhi janji
politik yang sudah disuarakan pada waktu kampanye. Konon, janji itu sudah
pernah disuarakan oleh presiden-presiden lainnya, namun hanya Trump yang berani
merealisasikan janjinya. Memenuhi janji kampanye adalah lumrah dalam dunia
politik, sama seperti mengingkarnya. Hal ini tak jauh beda dengan apa yang
dilakukan oleh Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta, ketika menutup Alexis. Penutupan
itu merupakan bentuk pemenuhan atas janji kampanye Anies, yang dilontarkannya
pada waktu debat publik.
Menghadapi
keputusan Trump tersebut, Organisasi Kerjasama Islam (OKI) menggelar sidang darurat
di Turki. Dalam sidang itu dihasilkan keputusan, bukan hanya sekedar mengutuk
keputusan Trump, melainkan juga menetapkan Yerusalem sebagai ibukota Palestina.
Keputusan OKI yang mengakui Yerusalem sebagai ibukota Palestina, jelas membuat
OKI tak jauh beda dengan Trump, yang mereka kutuk. OKI sama buruknya dengan
Trump. Keputusan OKI seperti aksi balas dendam atas apa yang dilakukan oleh
Trump. Inilah hukum rimba: mata ganti mata, gigi ganti gigi.
Di
sela-sela aksi kecam terhadap keputusan Trump tersebut, muncul berita yang
menarik, yaitu sebuah buku pelajaran SD kelas VI, yang di dalamnya menyatakan
bahwa Yerusalem adalah ibukota Israel. Konon buku itu sudah ada sejak tahun
2008, nyaris satu dekade sebelum pernyataan Trump. Artinya, jauh sebelum
pengakuan Trump, sebagian pelajar Indonesia sudah mengetahui bahwa Yerusalem
adalah ibukota Israel. Dengan kata lain, Trump terlambat mengakui ibukota
Israel adalah Yerusalem.
Pengakuan
Yerusalem sebagai ibukota Israel, yang sudah ada sejak tahun 2008, sama sekali
tidak menimbulkan gejolak. Jangankan di dunia, publik islam Indonesia pun
tenang-tenang saja. Padahal, pusat penerbit Yudhistira itu ada di Ciawi, Bogor,
dimana islam merupakan mayoritas. Namun, pengakuan penerbit Yudhistira sama
sekali tidak dikecam atau dikutuk. Akankah ada penerbit islam yang akan
menerbitkan buku pelajaran dan mencantumkan bahwa Yerusalem itu ibukota
Palestina, seperti aksi OKI?
Tidak
ada aksi demo ke penerbit Yudhistira. Tidak ada aksi anarki. Semua hanya
menyayangkannya saja. Beda dengan yang dialami oleh Trump. Mungkin perbedaan
ini disebabkan karena Trump itu kafir, sedangkan Yudhistira bukan.
Akan
tetapi, dengan adanya pengakuan Trump (Rabu, 6/12), pelajar SD Indonesia,
khususnya yang menggunakan buku-buku terbitan Yudhistira, akhirnya tahu fakta
sebenarnya. Yerusalem bukan ibukota Israel. Dengan kata lain, Trump telah
membuka wawasan anak-anak SD dan juga pemerintah Indonesia. Jika tidak ada
Trump, dengan keputusannya mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel, anak-anak
kita selamanya tahu bahwa ibukota Israel adalah Yerusalem. Karena itu,
Indonesia harus berterima kasih kepada Trump.
Koba,
16 Desember 2017
by:
adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar