MENJAWAB PANGGILAN TUHAN
Saya dilahirkan di Pangkalpinang luar kota, persisnya di
kampung khiat Fo atau kampung Mangkol atau Pedindang, pada 28 Juni 1958 dari
sebuah keluarga Chinese Kong Hu Cu, generasi keempat yang lahir di Indonesia.
Pada waktu saya lahir, orang tua saya memiliki sebuah toko yang cukup maju di
samping bioskop garuda Pangkalpinang, tetapi semua itu dijual karena orang tua
mempunyai rencana kembali ke Tiongkok, sehingga kami tetap menjadi Warga Negara
Asing. Tetapi rencana itu batal dan keluarga kami termasuk kelompok yang masih
tinggal di Indonesia.
Sampai dengan kelas 3 SD saya bersekolah di SR, jalan
mangkol, sebuah sekolah kampung waktu itu, yang mutunya menurut Papa saya tidak
baik. Karena itu, ketika saya naik ke kelas 4, Papa memindahkan saya ke SD
Rinjung di Kampung Kong Hin, yang menjadi cikal bakal SD Robert di bawah
Yayasan Tunas Karya. Di sekolah ini saya mulai mengenal agama Katolik, mulai
mengenal Yesus dan cerita dari Kitab Suci.
Lulus SD saya melanjutkan ke SMP Budi Mulia di Pangkalpinang.
Selesai SMP saya berkeinginan masuk ke SPG. Saya datang mendaftar di SPG
Theresia. Namun karena saat itu saya belum katolik, suster minta saya kembali lagi
2 hari kemudian, karena SPG diprioritaskan untuk yang katolik. Dalam perjalanan
pulang saya mampir di rumah AKhiu Kang Fo (Lukman Tirtajasa) dan saya
menceritakan masalah ini. Kemudian beliau menyuruh saya mendaftar di SMA Yosef
(Januari 1974). Sebulan di sana terjadi pembauran pribumi dan non pibumi, saya
termasuk nonpribumi non katolik dipindahkan ke SMA Negeri Kacang Pedang.
Lulus SMA Desember 1976 saya ingin melanjutkan kuliah di IKIP
Sanata Dharma, tetapi Ajie saya dari Salatiga datang ke Bangka dan mengajak
saya ke Salatiga untuk kuliah di Universitas Kristen Satyawacana. Tetapi karena
saya masih WNA, saya tidak dapat masuk kuliah. Saya mengisi waktu dengan
mengikuti kursus-kursus, mula-mula kursus Tata buku kemudian kursus elektronik
di Semarang selama 4 bulan. Kemudian saya bekerja sebagai teknisi elektronik di
salah satu agen National Gobel dan Philips di Salatiga. Sementara itu saya ikut
aktif ke gereja mengikuti keluarga Ajie dan Jie chong yang sudah lama menjadi
katolik. Kemudian saya ikut katekumen di Paroki St. Paulus Miki Salatiga.
Pada waktu katekumenat ini saya melihat foto-foto aksi panggilan
dari para frater MSF di paroki dan dari dalam hati saya seakan-akan tercetus: “Nah
ini yang saya cari.” Saya langsung menyampaikn ini kepada AJie saya di rumah,
dan beliau langsung menangis dan berkata, “kamu kecewa tidak dapat kuliah.” Rupanya
beliau meragukan panggilan saya dan mengira saya putus asa, tetapi saya tidak
peduli. Saya langsung bertemu romo paroki untuk menyampaikan keinginan saya.
Romo paroki hanya tertawa dengan mengatakan, “ya kamu harus dibaptis dulu,
sesudah baptis pun harus menunggu satu dua tahun untuk melihat motivasi kamu…”
Saya jalani semuanya itu. Saya mendapat pekerjaan yang baik
dengan bayaran yang semakin tinggi. Mendapat uang itu sesuatu yang menyenangkan.
Tidak terasa satu tahun, dua tahun lewat… sampai lima tahun. Pada tahun ke 5
(1982), Tini Lukman (ACen) datang ke Semarang untuk melanjutkan kuliah di IKIP
Sanata Dharma. Kedatangan ACen ini membuat saya mendengar lagi suara Tuhan yang
berkata: ”Sekarang tahun ajaran baru mulai lagi, saya harus masuk sekarang atau
tidak sama sekali.” Sesudah saya renungkan dengan serius, saya putuskan untuk
masuk. Saya bertemu Romo Paroki Atmodirono Semarang untuk menyampaikan keinginan
saya masuk biara menjadi calon bruder. Saya langsung dibawa ke Propinsialat MSF
di Jln. Guntur 20 Semarang dan langsung ditest dengan mengisi questioner. Saya diminta menunggu
beberapa hari untuk mendapat jawabannya. Akhirnya saya diterima dan diminta masuk
ke Postulat MSF, Seminari Berthinianum di Yogya pada tanggal 28 Juli 1982. Saya
pamitan dari pekerjaan saya dan menyampaikannya kepada Ajie saya. Kali ini
beliau tidak menangis lagi. Mungkin karena beliau melihat saya sudah mantap
saat itu. Pada harinya saya diantar keluarga Ajie ini ke Yogya.
Mengapa calon bruder??? Karena bruder mengajar, sejak dulu
saya mau masuk SPG kemudian IKIP dan sekarang Bruder. Tetapi Tuhan mempunyai
rencana lain. Dari 13 postulan waktu itu saya sendiri calon bruder dan 12 yang
lain calon frater. Tetapi setiap kali ulangan bahasa latin dan bahasa Inggris,
nilai saya selalu yang tertinggi. Kemudian sesudah 4 bulan di Postulat, saya
dipanggil Romo Direktur. Beliau mempertanyakan mengapa saya mau menjadi calon
bruder. Saya menjawab bahwa sesudah 5 tahun kerja tidak pernah belajar lagi,
saya mengira saya sudah tidak mampu belajar lagi. Beliau menjawab bahwa dari
nilai pelajaran terbukti nilai-nilai saya terbaik. Saya berkelit dengan alasan
tidak bisa berbicara atau berkotbah. Dengan cepat beliau menjawab “O… itu bisa
dilatih.” Selanjutnya beliau menjelaskan bahwa menjadi seorang imam akan lebih
banyak digunakan. Kemudian saya disuruh berfikir untuk melihat hal ini.
Akhirnya saya memutuskan untuk ikut menjadi calon imam.
Pendidikan di novisiat dan skolastikat (Seminari Tinggi) berjalan lancar dan
tanpa kesulitan akademis, kecuali dalam hidup bersama. Terkadang saya suka
emosi. Tetapi dengan terbuka untuk dibimbing saya pun bisa bertumbuh. Saya yakin
betul bahwa inilah jalan hidup saya. Saya bahagia. Saya bertumbuh dan
berkembang. Walau menjelang tahap akhir
saya hampir putus asa, karena permohonan kaul kekal saya ditunda setahun. Rupanya
ini bagian dari proses pembentukan saya. Akhirnya pada tanggal 28 Agustus 1992
saya menerima tahbisan imam di Gereja Banteng, Yogyakarta.
Tugas pertama saya sebagai imam muda ditempatkan di paroki
Boyolali. Setahun kemudian pindah ke paroki Salatiga, sambil mengikuti Kursus
Pembimbing Rohani di Institute Roncalli selama 6 bulan, sebagai persiapan untuk
tugas sebagai formator di Madagascar. Satu tahun di Salatiga kemudian saya
dikirim ke Lyon untuk belajar bahasa Perancis selama setahun sebagai persiapan
untuk masuk Madagascar.
Sesudah paskah 1997 saya masuk paroki Manja di keuskupan
Morombe, sebuah paroki di pedalaman. Di sana tidak ada listrik apalagi telepon.
Transportasi lewat darat yang berat, 60 km ditempuh dalam 3 jam mobil. Dua
tahun di paroki ini, kemudian saya dikirim ke katedral Banjarmasin. Tiga bulan
di sana, suatu hari Pater Administrator Diosesan Palangkaraya lewat dan mampir
di katedral. Beliau sedang bingung karena ekonom keuskupan sudah akan kembali
ke Pontianak. Spontan saya menawarkan diri. Jadilah saya resmi berkarya di
Kalimantan menjadi anggota MSF Kalimantan.
Pada “Tahun Sabat”, saya menjalaninya di San Antonio Texas,
di rumah MSF Propinsi Amerika Utara. Pada waktu saya di sini, Papa saya meninggal
dunia, sesudah sekitar 5 tahun
sebelumnya sempat ikut katekumenat dan dibaptis. Kembali dari tahun sabat saya
masuk Kalimantan Timur, Keuskupan Samarinda, dan bertugas di paroki Mangkupalas.
Setelah satu tahun, lalu pindah ke Paroki Tering Kutai Barat, di pedalaman hulu
sungai Mahakam, selama 2,5 tahun kemudian pindah lagi ke Banjarmasin di Paroki
Kelayan, selama hampir 4 tahun.
Ketika saya mendengar bahwa MSF Jawa mempunyai paroki di
Keuskupan Pangkalpinang, hati saya tergerak untuk dapat bekarya di kampung
halaman sendiri. Karena itu saya minta pindah ke Jawa lagi dan ditempatkan di
Biara induk sebagai sekretaris Propinsial selama 1,5 tahun. Kemudian
dipindahkan lagi ke Sunter, Jakarta, sebagai procurator misi MSF Jawa. Di Jakarta
ini saya terlibat secara intens dalam gerakan Marriage Encounter yang
sebelumnya sudah saya geluti sejak saya bertugas di Palangkaraya.
Satu tahun di Sunter, Pater Provinsial yang baru mendengarkan
kerinduan saya untuk dapat berkarya di Pangkalpinang, dan terjadi pembicaraan dengan
Bapa Uskup Pangkalpinang dan mimpi saya menjadi kenyataan.
by: Rm. Fut Khin Lioe, MSF
Baca juga:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar