TINJAUAN ATAS BUKU “KUDETA MEKKAH: SEJARAH YANG TAK TERKUAK”
Tanggal 2 Desember 2013 lalu, saya membeli beberapa buku di
Bandung Book Center, di kawasan Palasari. Salah satu buku yang saya beli berjudul “KUDETA
MEKKAH: Sejarah yang Tak Terkuak” karya Yaroslav Trofimov. Yang membuat saya
tertarik membeli buku ini adalah induk judulnya: Kudeta Mekkah. Awalnya saya
berpikir bahwa ini merupakan karya fiktif (semacam novel), namun ketika membaca
kometar-komentar atas buku ini, saya berkesimpulan bahwa ini adalah kisah nyata.
Ini juga yang menjadi daya tarik untuk membelinya.
Buku Kudeta Mekkah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
dari edisi Bahasa Inggris dengan judul “The
Siege of Mecca”. Edisi Indonesia ini diterbitkan oleh penerbit Pustaka
Alvabet. Buku yang saya beli ini, yang tebalnya 384 halaman, merupakan cetakan
kelima. Cetakan pertamanya adalah tahun 2007. Hal ini menunjukkan bahwa buku
ini lumayan laris. Mungkin kisahnya yang membuatnya laris.
Buku Kudeta Mekkah mengungkap kisah kaum “pemberontak” yang
muak dengan perilaku para penguasa Arab Saudi yang tidak mencerminkan nilai-nilai
islami. Kehidupan para anggota istana dilihat oleh kaum “pemberontak”, yang
umumnya berasal dari kalangan kaum Wahabi ini telah jauh dari ajaran agama
islam. Lebih parahnya lagi, penguasa Saudi ini justru memasukkan beberapa unsur
yang bertentangan dengan ajaran agama. Misalnya seperti, memberi kesempatan
kepada kaum perempuan untuk beraktivitas di publik, pendidikan bagi kaum
wanita, membolehkan televisi, gambar-gambar, tepuk tangan, dan yang parahnya
lagi memberi kesempatan kepada orang asing yang non muslim masuk ke tanah Saudi
(hlm. 31, 34, 41, 63, 95 – 96, 133 – 134).
Kami sengaja menulis “pemberontak” di dalam kurung, dengan
maksud tidak persis memaksudkan kelompok Juhaiman sebagai pemberontak. Memang
di mata pemerintah dan ulama istana, mereka adalah pemberontak. Namun di mata
kelompok lain yang muncul karena terinspirasi oleh aksi Juhaiman ini, yaitu Al
Qaeda pimpinan Osama bin Laden, mereka adalah pahlawan. Bahkan pada pertengahan
tahun 1980-an, Osama bin Laden mengatakan secara eksplisit bahwa orang-orang
yang menduduki Mekkah waktu itu (kelompoknya Juhaiman) adalah orang-orang
muslim sejati (hlm. 322).
Kaum “pemberontak” yang dipimpin oleh Juhaiman bin Saif
al-Utaibi, tidak berani mengadakan kontak langsung dengan istana. Keterbatasan
personal dan peralatan senjata menjadi satu alasannya. Pernah akan dibuat,
namun keburu diberantas oleh tentara. Beberapa di antara mereka dijatuhi
hukuman, namun dapat bebas berkat lobi ulama kharismatik yang berpengaruh, Syeikh
Abdul Aziz bin Baz (hlm. 60). Sejak saat itu, Juhaiman mulai berpikir cara lain
untuk melakukan pemberontakan.
Pemberontakan dilakukan bukan untuk merebut kekuasaan,
melainkan ingin menegakkan ajaran agama islam. Juhaiman tidak mempedulikan
siapa kelak yang akan memimpin Arab Saudi jika perjuangannya berhasil. Yang
penting nilai-nilai keislaman ditegakkan. Penguasa saat itu dinilai sudah
cacat, sehingga tidak ada peluang untuk menduduki kekuasaan istana Saudi.
Sampai akhirnya Juhaiman mendapat gagasan tentang “Imam
Mahdi”, sebuah gagasan mesianistik yang ada dalam ajaran islam. Juhaiman
menemukan sosok Mahdi dalam diri Muhammad Abdullah al-Qahtani, yang adalah
saudara iparnya. Berbagai usaha dilakukan untuk mencocok-cocokkan gambaran
Muhammad Abdullah dengan Mahdi (hlm. 69 – 75, 92 – 93). Misalnya soal tanda
lahir, nama dan juga keturunannya. Beberapa ayat Hadits pun diambil untuk
menguatkan idenya. Dari sinilah, Juhaiman kemudian mulai mengumpulkan
orang-orang yang sepaham dengannya. Untuk menyebarkan gagasannya, Juhaiman
menulis buku “7 Risalah” yang berisi kecaman terhadap kalangan istana Saud.
Buku ini menyebar di bawah tangan.
Akhirnya, pada 20 November 1979, bertepatan dengan awal
Muharram 1400 H, Juhaiman dan kelompoknya melancarkan aksinya. Sasaran mereka
adalah Masjid al-Haram. Mengapa di Masjid al-Haram? Alasannya adalah di sana
ada Ka’bah, pusat agama islam, di mana di sana nanti akan dimaklumkan
keberadaan Mahdi. Hal ini sesuai dengan yang tertulis dalam Hadits, bahwa Imam
Mahdi akan mendeklarasikan dirinya di Ka’bah.
Dari sinilah dimulai pertempuran. Yaroslav dengan sangat
piawai menggambarkan peristiwa itu. Gambaran yang disajikan oleh Yaroslav
sungguh sangat hidup. Hal ini dimungkinkan karena Yaroslav mendapat sumber
pertama, yaitu dari para pelaku sejarah. Hal ini patut diaprisiasikan mengingat
Pemerintah Saudi amat sangat merahasiakan peristiwa tersebut (hlm 327 – 332).
Bukan saja merahasiakan, pemerintah juga dikatakan tidak segan-segan menghukum
siapa saja yang mencoba membuka peristiwa tersebut. Karena itulah, Yaroslav
membutuhkan berbagai perjuangan (hlm. 1 – 5, 353 – 356).
Kudeta Mekkah sebenarnya merupakan perang antar umat islam
sendiri. Namun entah bagaimana, Amerika Serikat menjadi sasaran kemarahan.
Kedutaan Amerika di Pakistan diserang massa dengan mengatas-namakan agama (bab
13). Kedutaan Amerika di Bangladesh pun hendak diduduki (hlm. 188). Di India,
kunsulat Amerika diserang massa islam (hlm. 188 – 189). Kedutaan Amerika di
Libya juga tak luput dari serangan massa islam radikal (hlm. 265 – 271). Akibat
aksi-aksi ini kunjungan Paus Yohanes Paulus II ke Turki terpaksa dibatalkan
(hlm. 189 – 191). Rencananya kunjungan itu untuk menjembatani perpecahan Gereja Katolik dan Ortodoks.
Yang menarik adalah, sekalipun warganya diserang, bahkan ada
yang merengut korban nyawa, Amerika Serikat tidak menanamkan kebencian kepada
orang islam. Hal ini terlihat ketika Amerika berusaha menyelamatkan salah satu
warganya yang ikut terlibat dalam pemberontakan tersebut (hlm. 313 – 315). Berkaitan dengan pertikaian antara Amerika Serikat dan Dunia Islam, seperti yang dikatakan Khumaini (hlm. 185), kita dapat menemukan satu kesimpulan. Sekalipun Amerika dikatakan sebagai negara kafir dan Setan Besar, namun mereka masih menunjukkan nilai-nilai kemanusiaan. Berbeda dengan negara-negara islam, sekalipun dikenal sebagai negara agamis, namun sangat sadis dan tak berperikemanusiaan.
Membaca buku ini, kita dapat menemukan beberapa hal menarik berkaitan
dengan dunia keislaman.
1.
Ternyata
kebencian kepada kaum Syiah bukan hanya terjadi di Indonesia saja, melainkan
juga di jantung dunia islam. Kaum Syiah di Saudi diperlakukan secara
diskriminatif (hlm. 237 – 243). Ada pernyataan bahwa Syiah sebetulnya bukan
islam yang benar (hlm. 26, 98). Dikatakan bahwa adalah halal bila membunuh
orang syiah, sama halalnya dengan membunuh orang non muslim yang adalah kafir. Masalah
dengan kaum Syiah ini menjadi pertikaian politik antara Arab Saudi dan
rekan-rekannya dengan Iran.
2.
Ternyata
di antara negara-negara berpenduduk mayoritas islam, terjadi persaingan dalam
banyak hal; salah satunya adalah soal kewenangan atas Ka’bah (hlm. 159 – 160). Hal ini dikaitkan dengan kepentingan ekonomi. Selama ini hanya Arab Saudi saja yang menikmati keuntungan ekonomi dari adanya Ka'bah.
3.
Membaca
buku ini, kita semakin diyakinkan bahwa islam itu identik dengan kekerasan.
Kekerasan itu bukan saja karena karakter orangnya, melainkan karena diajarkan
oleh agamanya. Ada konsep takfir,
yaitu boleh membunuh orang islam yang murtad atau menyimpang (hlm. 62).
4.
Orang
islam masih mengidentikkan Barat dengan kekristenan. Amerika dimusuhi bukan
karena ideologinya atau lainnya, tetapi karena kristennya. Ini dikaitkan dengan
sejarah kelam Perang Salib (tentang Perang Salib, lihat catatan kritis saya disini). Padahal sudah lama terjadi pemisahan antara negara dan Gereja, namun
tetap saja orang islam memandangnya sama saja.
5.
Orang
islam berpandangan bahwa orang-orang non muslim adalah kafir. Pandangan ini
mendapat pendasarannya dari Quran dan Hadits. Karena itulah, wajar bila orang islam,
khususnya di Arab Saudi, bersikap sinis dan antipati kepada orang kristen dan
orang non muslim pada umumnya. Mereka menilai kehadiran orang-orang non muslim
di tanah Saudi dapat merusak nilai-nilai islam. Karena itulah, kelompok
Juhaiman mengutuk kehadiran kedutaan negara-negara kristen (hlm. 265). Ini
terjadi karena kelompok Juhaiman masih sama seperti orang islam lainnya yang
berpikiran bahwa Barat itu identik dengan kristen.
6.
Dalam
buku ini ada uraian singkat tapi menarik tentang kaum Wahabi (hlm. 21 – 29).
Dari sini kita bisa menemukan kemiripan dengan beberapa kelompok ormas islam di
Indonesia.
7.
Untuk
meredam aksi radikal kaum Wahabi di kemudian hari, Kerajaan Saudi
menggelontorkan dana segar kepada ulama Wahabi serta ke organisasi-organisasi
misionaris yang menyebarkan paham Wahabi ke seluruh dunia (hlm. 317).
8.
Aksi
heroik Juhaiman ini kemudian hari mempengaruhi Osama bin Laden, pemimpin
al-Qaeda, yang melahirkan aksi 11 September 2001 dan aksi teroris lainnya. Bukan
tidak mustahil teroris Indonesia pun terinspirasi dari sana.
Jakarta, 11 Feb 2014
by: adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar