FRANSISKUS ASISI: CINTA DAMAI & CINTA LINGKUNGAN
Dalam buku Fioretti, ada sebuah kisah tentang
Fransiskus Asisi yang memperdamaikan penduduk kota Gubbio dengan seekor
serigala yang ganas.
Pada waktu itu, di kota Gubbio hiduplah seekor
serigala yang amat besar, lagi mengerikan dan ganas. Ia bukan saja memakan
binatang-binatang, tetapi juga manusia. Semua penduduk kota itu hidup dalam
ketakutan dan tidak berani pergi sendirian. Melihat situasi yang demikian
Fransiskus merasa kasihan, sehingga ia ingin mendamaikan serigala itu dengan
penduduk kota Gubbio, sekalipun mereka melarangnya pergi.
Ketika Fransiskus memasuki daerah serigala itu
bersama-sama sahabatnya, ia membuat tanda salib dan menaruh kepercayaan
sepenuh-penuhnya pada Allah. Ketika saudara-saudara lain tidak mau pergi lebih
jauh lagi, Fransiskus berjalan terus menuju tempat serigala itu bersarang.
Ketika serigala itu melihat Fransiskus, maka ia pun menyerbu ke arahnya dengan
cakar-cakar yang terbuka. Ketika ia mendekat, Fransiskus membuat tanda salib di
atasnya dan menyapanya, “Kemarilah saudara Serigala. Demi nama Kristus aku
memerintahkan kepadamu jangan menyerang aku”. Dan aneh bin ajaib, begitu
Fransiskus membuat tanda salib, serigala yang ganas itu pun memasukkan
cakar-cakarnya kembali. Ia menaati perintah Fransiskus dan datang membaringkan
diri di kaki Fransiskus dengan lembut seperti seekor anak domba.
Kemudian Fransiskus mengajak serigala itu membuat
suatu perjanjian dengan penduduk kota Gubbio. Dari pihak serigala, ia harus
berjanji bahwa ia takkan mengganggu dan melakukan kejahatan dengan penduduk
kota Gubbio lagi. Dari pihak penduduk kota Gubbio, mereka berjanji, akan
menyediakan makanan yang dibutuhkan serigala itu setiap hari. Dan sebagai
jaminan bahwa perjanjian itu akan dilaksanakan dan ditepati, maka Fransiskus
mengulurkan tangannya, dan serigala itu mengangkat kaki depannya dan
menempatkannya dengan lembut dalam tangan Fransiskus, sebagai bukti
kesetiaannya.
Fransiskus Pencinta Damai dan Pelindung Kelestarian
Alam
Dari kisah di atas dapat diketahui, bahwa Fransiskus Asisi
memang sungguh-sungguh seorang yang mencintai kehidupan damai dan hidup
bersaudara dengan semua makhluk ciptaan.
Bahwa Fransiskus dikenal luas sebagai pencinta damai
dapat dibuktikan dalam pertemuan para pemimpin agama sedunia yang diadakan oleh
Paus Yohanes Paulus II pada 27 Oktober 1986. Pada waktu itu pertemuan tidak
diadakan di kota Roma ataupun kota besar yang lain, melainkan di kota Assisi.
Di sana pertama kalinya semua pemimpin agama sedunia bersatu dalam doa untuk
perdamaian dunia. Mengapa kota Assisi yang dipilih? Karena mereka tahu bahwa Fransiskus
Assisi adalah pelopor perdamaian bagi semua agama.
Fransiskus Assisi juga dikenal sebagai pelindung
kelestarian alam, terbukti dengan dikukuhkannya beliau oleh Paus Yohanes Paulus
II, sebagai “Pelindung Pemeliharaan Kelestarian Lingkungan Hidup”, pada 29
November 1979.
Melihat kehidupan Fransiskus yang dipenuhi dengan
damai dan cinta akan lingkungan hidup, mungkin timbul pertanyaan di hati kita.
Bagaimana Fransiskus sungguh dapat hidup damai dengan semua orang dan semua
makhluk? Sumber-sumber inspirasi manakah yang ia gali sehingga ia dapat hidup
harmonis dengan seluruh ciptaan?
Semua pertanyaan ini sumbernya hanya pada satu pribadi
yang agung dan karismatis, yakni Yesus Kristus, Tuhan kita yang kisah hidup dan
pandangan-pandangan-Nya dapat dikenal melalui Kitab Suci. Kalau Fransiskus dikenal sebagai pencinta damai,
maka ia belajar hidup dalam damai itu dari Yesus.
Pertama, Fransiskus tentu belajar dari ucapan yang penting
dan fundamental dari Yesus yang bangkit – seperti kita dengarkan dalam Injil
Yohanes – “Damai sejahtera bagi kamu!” (Yoh 20:19; 21). Jadi dari
teks ini Fransiskus tentu menyadari bahwa sumber kedamaian sejati itu datangnya
dari Tuhan.
Kedua, Fransiskus tentu memahami juga, bahwa di dalam
Yesus lah surga dan bumi diperdamaikan dan dipersatukan kembali dengan Allah
yang mahakuasa (SurOr 13; bdk. Kol 1:20).
Ketiga, Fransiskus tentunya dipengaruhi oleh Sabda
Bahagia yang berkata, “Berbahagialah orang yang membawa damai, karena
mereka akan disebut anak-anak Allah.” (Mat 5:9). Orang yang membawa damai
ini oleh Fransiskus ditafsirkan sebagai “orang yang dalam segala penderitaannya
di dunia ini tetap memelihara kedamaian dalam jiwa dan raganya demi cinta kasih
kepada Tuhan kita Yesus Kristus” (Pth XV).
Kalau Fransiskus dikenal sebagai pelindung kelestarian
lingkungan hidup, maka gelar ini dikenakan kepadanya karena selama hidupnya ia
sungguh-sungguh bersikap sebagai saudara terhadap seluruh alam ciptaan. Dan
puncak dari doa dan semua tulisan Fransiskus, tampak dalam “Kidung Saudara
Matahari”, di mana semua makhluk ciptaan, ia undang untuk bersyukur dan memuji
Allah. Bahwa Fransiskus dapat hidup bersaudara dengan seluruh alam ciptaan ini:
matahari, bulan. Bintang, angin, air, api dan ibu pertiwi (tanah), semua itu
karena Fransiskus dapat melihat kehadiran Kristus dalam seluruh ciptaan.
Kehadiran Kristus dalam ciptaan ini sudah ditegaskan oleh Paulus, “Sebab
dalam Kristus telah diciptakan segala sesuatu, baik di angkasa maupun di bumi:
baik yang kelihatan maupun yang tak kelihatan, singgasana, kerajaan, pemerintah
dan penguasa. Segala sesuatu diciptakan dengan perantaraan-Nya dan untuk Dia” (Kol
1:16).
Jika seluruh ciptaan bersaudara, maka itulah hasil
karya penyelamat yang memperdamaikan segala-galanya dalam diri-Nya. Kalau
makhluk-makhluk dilihat sebagai saudara-saudari yang disatukan secara akrab,
hal itu terjadi, karena Kristus menerima semua makhluk ke dalam cinta-Nya yang
tak kenal batas. Walaupun ciptaan amat besar dan luas, namun dalam pandangan
Fransiskus semua disatukan dalam cinta yang sama, “karena kasih karunia
Allah yang menyelamatkan semua manusia telah nyata.” (Tit 2:11).
Menuju Hidup dalam Damai dan Cinta akan Alam
Menjadi seorang pembawa damai dan seorang yang
memperjuangkan kelestarian alam seperti Fransiskus pada dunia dewasa ini masih
sangat relevan.
Coba saja faktanya kita lihat. Pilkada di beberapa
daerah di Indonesia menuai konflik: bentrokan antar pendukung dan perusakan
fasilitas-fasilitas umum. Di tingkat internasional konflik Israel dan Palestina
yang telah berlangsung bertahun-tahun sampai sekarang juga belum menemukan solusinya.
Di bidang lingkungan hidup, kita juga tahu, bahwa laju
kerusakan hutan periode 1985-1997 tercatat 1,6 juta hektar per tahun, sedangkan
pada periode 1997-2000 menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Ini menjadikan
Indonesia merupakan salah satu tempat dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi
di dunia. Di Indonesia berdasarkan hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 terdapat 101,73 juta hektar hutan dan lahan
rusak, diantaranya seluas 59,62 juta hektar berada dalam kawasan hutan. [Badan
Planologi Dephut, 2003].”
Di tengah situasi yang mengancam perdamaian dan kelestarian
lingkungan ini, baik dalam skala kecil dalam rumah tangga kita masing-masing,
di komunitas kita, maupun dalam lingkungan masyarakat kita, kita sebagai orang
beriman diundang menjadi pembawa damai dan pencipta kelestarian lingkungan.
Bagaimana tugas perutusan ini dapat kita wujudkan?
Pertama, kita sendiri harus mengalami diri kita didamaikan
dengan Tuhan. Artinya dalam kehidupan kerohanian kita, kita sendiri harus
mengalami bahwa aku dikasihi Tuhan; bahwa dosa-dosaku telah ditebus oleh-Nya di
kayu salib; bahwa Dia selalu menyertai aku dalam seluruh hidupku. Sehingga
dalam hidupku aku merasa aman dalam tangan Tuhan. Dan untuk dapat mencapai
pengalaman iman yang menyembuhkan, mengutuhkan dan mendamaikan ini, kita harus
sungguh berserah diri kepada Tuhan.
Kedua, kita harus mendengarkan apa yang dikatakan St.
Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma, “Sedapat-dapatnya, kalau hal
itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang.”
(Rm 12:18). Apa artinya kata-kata Paulus ? Artinya Paulus menyadari, bahwa
hidup dalam perdamaian bersama orang lain itu tidaklah mudah. Kita memang ingin
hidup dalam damai, tetapi selalu ada saja hal yang membuat kita kemudian
menjadi jengkel, marah, dan kemudian mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan hati,
dan kemudian kita menjadi menyesal lagi. Namun di tengah kesulitan untuk
menciptakan perdamaian ini kita tidak boleh menyerah. Dalam situasi apapun
sedapat-dapatnya kita diminta berjuang untuk hidup berdamai dengan orang lain.
Prinsip di sini yang dapat kita pegang – menurut Paulus adalah – “Janganlah
kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan!”
(Rm 12:21)
Ketiga, untuk bisa hidup menghargai sesama ciptaan, baik
binatang maupun tumbuhan, kita harus mampu seperti Fransiskus melihat
makhluk ciptaan dari sudut pandang Allah sendiri. Chesterton ketika
mengomentari “Kidung Saudara Matahari“ karya Fransiskus mengatakan kepada kita,
“Fransiskus dalam pengalaman mistik telah membuat “salto” dengan memandang
semua ciptaan dari pihak Allah, dan sesudahnya, ia kembali ke dunia ini dan
sejak saat itu, ia melihat dan mengalami semua makhluk dalam bentuk abadi dan
sempurna.”
Marilah bersama Fransiskus, kita ciptaan perdamaian di
rumah kita, tempat kita bekerja, dan di manapun kita berada; marilah kita
hormati juga segala makhluk ciptaan lain, kita pelihara lingkungan hidup kita,
sehingga dunia kita semakin menjadi harmonis dan indah, karena kita semua
memantulkan keindahan pencipta kita, yakni Yesus Kristus Tuhan kita.
Sumber: F. Cahyo Widiyanto, dlm http://pontianak.kapusin.org/?p=16
Tidak ada komentar:
Posting Komentar