Senin, 21 November 2016

MARI LIHAT MASALAH PENISTAAN AGAMA SECARA TOTAL

Penistaan agama menjadi berita panas di Indonesia jelang Pilkada serentak 2017. Aktornya adalah Basuki Tjahaya Purnama, atau yang biasa disapa Ahok. Kejadian ini terjadi pada 27 September 2016 di Kepulauan Seribu. Pada waktu itu, Ahok mengunjungi warga Kepualuan Seribu untuk menjelaskan program kerja sama Pemerintah Provinsi DKI dan Sekolah Tinggi Perikanan. Dalam pidato penjelasannya itu, keseliplah pernyataan yang dinilai oleh MUI sebagai bentuk penistaan agama.
Bunyi pernyataannya seperti ini, “Jadi, jangan percaya sama orang, kan bisa saja dalam hati kecil bapak ibu enggak pilih saya. Dibohongin pakai surat al Maaidah ayat 51, macam-macam itu. Itu hak bapak ibu.” Atas pernyataannya ini, MUI memfatwa Ahok melakukan penistaan agama dan ulama.
Untuk lebih jelasnya, kita akan kutip surat al Maidah yang dimaksud. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak member petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS al Maaidah: 51)
Teks Al Quran ini secara tegas melarang umat islam memilih orang non muslim sebagai pemimpin. Orang-orang yang beriman dalam teks tersebut merujuk pada umat islam, karena umat lain dilabeli sebagai kafir. Teks ini sering digunakan oleh tokoh-tokoh islam, baik tokoh politik maupun agama, untuk melawan calon pemimpin non muslim. Ahok sendiri sudah mengalaminya ketika pertama kali terjun dalam pilkada di Belitung Timur tahun 2003.
Kenapa pernyataan Ahok dinilai melecehkan agama islam dan ulama? Ketua MUI, Maruf Amin menjelaskan, penghinaan itu karena Ahok menyebut kandungan dari surah al Maaidah itu sebuah kebohongan. Karena yang menyebarkan surah tersebut adalah ulama, maka dapat juga dikatakan bahwa ulama juga melakukan pembohongan. Dengan kata lain, pernyataan Ahok ditafsirkan bahwa surah al Maaidah telah berbohong, atau surah tersebut adalah kebohongan.

Ziarah ke Tiga Goa Maria Oktober 2016

Minggu, 20 November 2016

PENISTAAN AGAMA DAN PESAN LAKUM DIINUKUM WALIYA DIIN

Satu bulan terakhir ini berita soal penistaan agama, yang tokoh utamanya adalah Basuki Tjahaya Purnama, alias Ahok, sungguh menjadi topik pembicaraan hangat di negeri kita. Topik ini malah menutupi hangatnya berita lainnya dari belahan dunia lain, yaitu kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden Amerika Serikat. Penistaan agama, yang dilakukan oleh Ahok saat kunjungan dinasnya di Kepuluan Seribu, dibingkai oleh fatwa MUI, demo umat islam, safari Presiden Jokowi, aksi saling lapor antara HMI dan Partai Demokrat terkait rusuh demo damai, dan penetapan Ahok sebagai tersangka.
Terkait dengan pernyataan Ahok di hadapan warga Kepulauan Seribu tersebut, Majelis Ulama Indonesia menjatuhi fatwa bahwa Ahok telah melakukan penistaan agama dan ulama. Fatwa ini menjadi salah satu legitimasi untuk umat islam melakukan aksi unjuk rasa. Beberapa ormas islam bahkan menyatakan siap mengawal fatwa ini, pasca penetapan Ahok sebagai tersangka.
Ada dua hal yang perlu disoroti dari fatwa itu. Pertama, penistaan ulama. Terus terang saya bingung pada titik mana Ahok telah melakukan penistaan ulama. Apakah tafsiran bahwa Ahok menyatakan kalau ulama telah melakukan pembohongan dengan memakai Surat al-Maidah ayat 51? Jika memang demikian, ada banyak pernyataan serupa, tapi kenapa tidak dipersoalkan. Sebagai satu contoh, sekitar tahun 2002, dalam bukunya The Corruption of Moslem Minds, DR Nader Pourhassan dengan tegas mengatakan bahwa selama ini ulama telah melakukan pembohongan kepada umat muslim. Namun tak ada satu otoritas islam di dunia ini yang menghakimi dia.
Pada satu titik, pernyataan Denny Siregar, dalam akun facebook-nya tertanggal 14 November 2016 pukul 22.06, juga bisa dinilai melecehkan ulama. Denny menulis, “Tidakkah kalian sadar bahwa agama kalian hanya dimanfaatkan untuk kepentingan politik mereka yang menamakan dirinya ULAMA?” Tetapi, kenapa MUI tidak merasa tersinggung dan mengeluarkan fatwa?
Sangat menarik juga kalau kita menyimak komentar Anggun C. Sasmi di akun twitter-nya. “Banyak yang bersuara atas ‘dugaan penistaan agama’. Tapi tak banyak suara atas ‘aksi terror yang membunuh atas nama agama’. Kenapa kemunafikan dibina?” Sungguh satu pernyataan anggun. Dibutuhkan kebesaran jiwa untuk bisa membaca dan menerimanya. Satu pertanyaan dasar: siapa yang telah membina kemunafikan itu?
Patut diduga, semua itu karena Ahok. Target utamanya bisa saja bukan mau menegakkan wibawa ulama, melainkan untuk menjatuhkan Ahok. Dapatlah dikatakan bahwa kebencian terhadap Ahok membuat orang lupa akan kebaikan dan kepentingan umum yang lebih besar.