Jumat, 30 Juli 2021

ADA JEJAK GNOSTISISME DALAM AL-QUR’AN

 


Al-Qur’an diyakini oleh umat islam sebagai wahyu Allah yang langsung disampaikan kepada nabi Muhammad. Apa yang tertulis dalam Al-Qur’an sekarang merupakan kata-kata Allah sendiri. Karena itulah, umat islam menilai Al-Qur’an itu suci sehingga harus dihormati. Pelecehan terhadap Al-Qur’an dinilai sebagai pelecehan terhadap Allah. Umat islam sudah diperintahkan untuk membunuh orang yang melakukan hal tersebut.

Benarkah apa yang tertulis dalam Al-Qur’an itu sungguh perkataan Allah, tanpa campur tangan atau pengaruh luar? Tentulah umat islam tidak akan mau menerima klaim adanya pengaruh luar dalam kitab sucinya. Karena itulah, dalam islam tidak ada studi terhadap Al-Qur’an. Kitab tersebut diterima begitu saja.

Padahal, bila dilakukan tinjauan dan perbandingan ilmu-ilmu lain, maka dapat terlihat adanya pengaruh asing dalam Al-Qur’an. Ketika mengkritisi Al-Qur’an, Ibn Warraq menemukan ada banyak sumber yang menjadi rujukan Al-Qur’an. Dengan demikian, ia tidak murni dari Allah. Warraq menyebut sumber Al-Qur’an 10% dari Kitab Talmud Babilonia, 5% dari potongan Injil yang diselewengkan, 25% dari Hindu, 10% dari kepercayaan animisme Arab dan 40% khayalan Muhammad. Temuan Warraq ini dituangkannya dalam buku yang berjudul “Membedah Asal Usul Al-Qur’an”.

Kami sendiri menemukan adanya jejak ajaran Nestorianisme dalam Al-Qur’an. Kebetulan, kaum nasrani yang ada di Mekkah dan Madinah pada masa Muhammad adalah kaum nasrani yang beraliran Nestorian. Mereka sudah dinyatakan sesat oleh Konsili Efesus pada 431 Masehi. Lebih lanjut mengenai jejak nestorianisme ini, siahkan baca di “Menemukan Jejak Nestorianisme dalamIslam”.

Akan tetapi, ternyata bukan hanya ajaran nestorianisme saja yang ada dalam Al-Qur’an, melainkan juga ajaran Gnostisisme turut memberi pengaruh. Kebetulan ajaran nestorianisme tak bisa juga dipisahkan dari ajaran gnostisisme. Pada abad pertama, aliran ini menjadi ancaman bagi keyakinan iman kaum kristiani. Pengaruh aliran gnostisisme dalam Al-Qur’an tampak dalam pandangannya terhadap Yesus atau Isa Almasih.

Kamis, 29 Juli 2021

JIKA BERADA DALAM GENGGAMAN PENGUASA

 


Di dunia ini penguasa itu identik dengan pemegang kuasa. Ada banyak kuasa di dalam genggaman tangannya, yang dapat menentukan nasib orang lain. Memang tetap harus diakui bahwa hidup mati ada dalam kuasa Tuhan, meski dalam arti tertentu dapat juga dipindahkan ke tangan manusia yang memiliki kuasa tadi.

Kalau penguasa alam semesta itu hanya ada satu, yaitu Tuhan Allah, maka penguasa di dunia ini ada banyak, tergantung bidangnya. Untuk sebuah negara, penguasanya adalah kepala pemerintah, meski teorinya mengatakan bahwa rakyatlah pemilik kuasa itu. Di bidang hukum, hakimlah penguasanya. Dialah pemegang keputusan bersalah atau tidaknya seseorang.

Untuk lingkup Gereja, misalnya di keuskupan, pemegang kuasa itu adalah uskup. Inipun masih ada catatannya, yaitu bahwa menurut teorinya kekuasaan dalam Gereja itu berarti pelayanan dan pengabdian. Tapi, itu lebih pada teori. Karena, sebagaimana lazim terjadi, tidak banyak teori sejalan dengan prakteknya.

Karena dengan kuasa yang dimiliki itu, sang penguasa dapat menentukan nasib orang lain, maka wajar bila banyak orang berusaha dan berjuang agar bisa dekat dengan penguasa. Kedekatan ini tentulah akan berdampak positip baginya. Dan supaya bisa dekat dengan sang penguasa itu, berbagai cara pun dilakukan. Salah satunya adalah menjilat. Dari sinilah muncul istilah ABS (Asal Bapak Senang).

Ada banyak manfaat yang diperoleh dari kedekatan relasi dengan penguasa ini. Salah satunya adalah perlindungan. Dengan adanya perlindungan, orang akan merasa aman dan nyaman. Apapun tindakannya, bahkan salah sekalipun, orang tetap dilindungi berkat perlindungan tadi. Karena itu, orang salah bisa jadi tidak disalahkan. Jika melakukan hal yang benar, maka pujian akan melambung tinggi melampaui langit, meski sebenarnya biasa-biasa saja. Ada banyak orang lain melakukan hal yang serupa, bahkan mungkin lebih lagi, namun tidak mendapat apresiasi karena tidak adanya kedekatan relasi dengan penguasa. Sekali lagi, ini semua karena kedekatan dengan penguasa.

Rabu, 28 Juli 2021

BOLEH MEMBANGUN RELASI, TAPI .......

 


No man is an island. Manusia adalah makhluk sosial. Kesosialan membuat manusia hidup bersama dan berdampingan dengan orang lain. Agak susah menemukan manusia yang hidup seorang diri dalam lingkungan manusia, karena ketika lahir pun ia sudah berada dalam lingkungan sosial. Agar dapat terhubung dengan orang lain, setiap manusia membangun sebuah relasi personal. Di mana pun manusia berada, ia akan membangun relasi.

Waktu masih kuliah, beberapa rekan dari Flores sangat giat menjalin relasi dengan beberapa keluarga di mana dia berada. Sekalipun ada perbedaan latar belakang budaya, karena sifat sosial tadi, membuat relasi yang dijalin terbangun. Dari jalinan itu banyak yang akhirnya menjadi erat sehingga rekan itu dianggap sebagai anggota keluarga. Karena itu, sangat terkenal istilah papi dan mami bagi rekan-rekan dari Flores. Dan umumnya, dari rekan-rekan Flores saja yang memiliki mami dan papi ini.

Dengan adanya jalinan relasi ini, tentulah rekan-rekan ini mendapatkan sesuatu yang agak sulit diperoleh dari keluarganya yang nun jauh di seberang. Ia mendapat perhatian, dan tak jarang kebutuhannya pun terpenuhi.

Selesai kuliah dan akhirnya menjadi imam, beberapa rekan juga masih meneruskan “tradisi” membangun relasi. Di mana ia berkarya, ia berusaha menjalin relasi dengan umat. Dan kebanyakan relasi yang dibangun ditujukan kepada orang-orang berada atau berpunya. Tentulah pengalaman kuliah memberi pelajaran: relasi memberi perhatian dan terpenuhinya kebutuhan.

Karena itu, tak heran jika menemukan imam yang baru satu dua tahun imamat sudah hidup bergelimang harta kekayaan. Kalau ditanya, selalu jawabannya klasik, “Diberi umat.” Tentulah bukan umat sembarangan yang mau memberi. Umat yang dimaksud adalah umat kalangan tertentu yang sudah sedari awal dibina relasinya.