Jumat, 01 Januari 2021

AYAT-AYAT KAFIR DALAM ALQURAN

 


Sudah menjadi rahasia umum kalau agama islam dikenal sebagai agama yang mengkafir-kafirkan umat agama lain. Kita dapat bertanya, darimana spirit itu datang? Berhubung umat islam meyakini bahwa Al-Qur’an merupakan petunjuk, tuntunan dan juga pedoman hidup, maka patutlah dinilai bahwa spirit mengkafir-kafirkan umat agama lain itu berasal dari sana. Bagaimana dan sejauh mana kata “kafir” ini ada dalam Al-Qur’an?

Tulisan ini mencoba memaparkan sebaran kata “kafir” dalam Al-Qur’an. Di sini kami mengacu pada “Al-Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI, Edisi Terkini Revisi Tahun 2006”, yang diterbitkan CV Pustaka Agung Harapan. Sebagaimana yang telah diketahui, khususnya oleh umat islam, surah-surah dalam Al-Qur’an dibagi ke dalam 2 kelompok, yaitu surah makkiyyah dan surah madaniyyah. Surah Makkiyyah terdiri dari 86 surah, sedangkan Surah Madaniyyah hanya terdiri dari 28 surah. Berikut ini adalah sebaran kata “kafir” (termasuk juga kata “kekafiran”) berdasarkan 2 kelompok surah tersebut.

ORANG KUDUS DENGAN NAMA AGNES / MARGARETA

Setiap orang tentulah mempunyai nama. Bagi orang kristen katolik, nama tidak hanya sekedar kumpulan huruf yang membentuk kata, tapi harus memiliki makna. Karena dari makna itulah akan terbentuk identitas dan kepribadian seseorang. Setidaknya makna yang terkandung pada sebuah nama mempunyai 2 jenis atau kategori, yaitu makna dari kata yang terkandung pada nama itu, dan makna yang terkandung dalam nama itu. Untuk jenis yang pertama dapat ditemui pada nama GRACE. Kata itu mempunyai makna rahmat atau berkat. Dengan memberi nama itu, maka orang yang menyandangnya diharapkan dapat menjadi berkat bagi orang lain. Hal inilah yang akan membentuk kepribadiannya di kemudian hari. Untuk jenis kedua dapat ditemui pada nama ADRIANUS. Kata ini merujuk pada nama orang kudus, sehingga orang yang menyandang nama ini diharapkan akan menghidupi teladan hidup orang kudus tersebut. Hal inilah yang akan membentuk kepribadiannya di kemudian hari.

Rabu, 30 Desember 2020

BEGINILAH UANG PAROKI DIKORUPSI


Korupsi sudah merajalela merasuk ke dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat. Ia menjadi budaya, yang tak bisa lepas dari kehidupan manusia. Ketika masalah korupsi Al-Qur’an muncul, seakan tak ada lagi bagian hidup manusia yang luput dari korupsi. Agama yang mengurus moral dan akhlak manusia pun sudah dirasuki budaya korupsi. Kesucian agama telah hancur karena korupsi.

Bagaimana dengan Gereja? Apakah Gereja sebagai lembaga suci bebas dari korupsi? Apakah budaya korupsi sudah merasuki para pejabat Gereja, seperti uskup dan imam? Mungkin sebagian orang mengatakan bahwa itu mustahil, karena uskup dan imam sudah mengikrarkan janji (kaul) kemiskinan yang menjauhkan mereka dari kemewahan harta kekayaan. Janji kemiskinan membuat mereka dapat melawan godaan korupsi.

Bukan maksud saya untuk menuduh, tapi saya berangkat dari asumsi dasar bahwa setiap manusia rentan terhadap godaan uang; uskup dan imam itu adalah manusia. Dari asumsi ini dapatlah disimpulkan bahwa korupsi bisa juga dilakukan oleh para pejabat Gereja itu. Artinya, budaya korupsi dapat juga merasuki Gereja.

Bagaimana praktek korupsi dilakukan di Gereja? Inilah yang hendak dipaparkan dalam tulisan ini. Dalam tulisan ini, Gereja yang dimaksud adalah paroki, dan saya, sebagai pastor paroki, adalah pelakunya. Karena itu, pertanyaannya adalah bagaimana saya mengorupsi uang paroki?

Yang pertama sekali saya lakukan adalah membuat sistem keuangan tertutup dan tunggal. Artinya, keuangan paroki hanya diatur dan diketahui oleh saya. Bendahara paroki hanya membuatkan pembukuaannya. Dewan Pastoral Paroki (DPP) dan pastor pembantu pun tidak tahu. Mereka baru diberitahu pada laporan akhir tahun dalam rapat DPP pleno yang waktu pertemuan itu saya batasi. Tentulah mereka tidak akan mengetahui secara detail data-data keuangan selama satu tahun, karena yang saya berikan hanyalah laporan rekapitulasinya.

Untuk menguatkan sistem ini saya akan mengatakan kepada umat kutipan Injil, “Janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu.” (Matius 6: 3). Dengan pernyataan ini umat pun tidak akan berusaha untuk mencari-cari tahu soal keuangan. Selain itu mereka sudah PERCAYA bahwa semua pastor itu BAIK, karena itu tak mungkin pastor akan mencuri uang Gereja.

Dengan sistem ini, saya akan dengan leluasa mengambil uang paroki. Uang kolekte hari Minggu (misa Sabtu sore dan Minggu pagi) sesekali saya catut. Sekalipun diumumkan minggu berikutnya, saya yakin tak ada umat yang tahu kalau uang kolekte sudah dicatut. Misalnya, uang kolekte misa Sabtu sore tercatat Rp 1.525.000. Saya ambil Rp 300.000, sehingga minggu depan diumumkan bahwa kolekte misa Sabtu sore sebesar Rp 1.225.000. Pasti tidak ada umat yang tahu, bahkan petugas penghitung dan pencatat kolekte, karena mereka tidak memiliki pegangan dan sudah percaya bahwa pastor itu baik dan jujur.