Senin, 16 Februari 2015

Orang Kudus 16 Februari: St. Simon Cascia

BEATO SIMON CASCIA, PENGAKU IMAN
Simeone Fidati lahir pada sekitar tahun 1295 di Cascia, Italia. Pada awalnya ia tidak terlalu tertarik pada kehidupan religious dengan memilih belajar pengetahuan alam. Akan tetapi kemudian hari ia tertarik pada hal religious. Ia bergabung dengan Ordo St. Agustinus ketika berusia duapuluh tahun. Ia kemudian dikenal sebagai seorang pengkotbah yang hebat, dan juga seorang ahli kehidupan spiritual di Italia.

Simon menulis beberapa buku, surat dan tulisan lainnya yang banyak dibaca oleh umat pada masa itu. Melalui tulisan-tulisannya itu ia dianggap sebagai seorang ahli dalam bimbingan rohani. Karyanya yang paling dikenal adalah De Gestis Domini Salvatoris. Simon dari Cascia, OSA meninggal dunia pada 2 Februari 1348 di Florence, Italia. Pada tahun 1833 ia dibeatifikasi oleh Paus Gregorius XVI.

Baca juga orang kudus hari ini:

Renungan Hari Senin Biasa VI - Thn I

Renungan Hari Senin Biasa VI, Thn B/I
Bac I    Kej 4: 1 – 15, 25; Injil                       Mrk 8: 11 – 13;

Hari ini bacaan pertama diambil dari Kitab Kejadian, yang menampilkan kisah Kain dan Habel. Mereka adalah anak-anak Adam dan Hawa. Kain memiliki profesi sebagai petani, sedangkan Habel sebagai peternak. Dikisahkan bahwa Kain akhirnya membunuh adiknya itu lantaran iri hati. Ini berawal ketika mereka sama-sama mempersembahkan kepada Tuhan korban bakaran dari hasil usaha mereka. Ternyata persembahan Kain ditolak Tuhan Allah. Tuhan lebih berkenan pada persembahan Habel. Kain tidak mau mencari alasannya pada dirinya sendiri, melainkan langsung menyalahkan adiknya.

Sikap Habel di atas sedikit mirip dengan sikap orang-orang Farisi dalam Injil hari ini. Dikatakan bahwa orang Farisi sedang bersoal jawab dengan Tuhan Yesus. Ada niat buruk di balik aksi tersebut. Mereka meminta Tuhan Yesus untuk menghadirkan tanda dari sorga. Di sini ada kesan bahwa orang Farisi baru mau percaya jika Tuhan Yesus menghadirkan tanda yang sesuai dengan keinginan mereka. Padahal, sudah begitu banyak tanda yang ditampilkan Yesus. Ketidakpuasan kaum Farisi ini seperti ketidakpuasan Habel sehingga melahirkan iri hati.

Iri hati merupakan penyakit kita manusia. Iri hati selalu berawal dari sikap tidak puas atas apa yang ada pada diri kita. Orang selalu menuntut lebih atau sama seperti orang lain. Tolok ukurnya adalah diri sendiri. Habel ingin agar persembahannya berkenan juga pada Tuhan, tanpa pernah mencari tahu kenapa Tuhan menolak persembahannya. Kaum Farisi tak puas dengan tanda-tanda yang sudah ditampilkan Yesus, dan ingin tanda yang sesuai dengan keinginannya. Sabda Tuhan hari ini mengajak kita untuk menanamkan sikap puas diri. Ini merupakan sikap syukur. Orang yang selalu hidup syukur akan terbebas dari dosa iri hati.

by: adrian

Minggu, 15 Februari 2015

(CERPEN) Harimau Peliharaan

HARIMAU PELIHARAAN
Aku kaget sekaligus heran dengan kebiasaan baru temanku. Agus namanya. Sejak masih kuliah dia memang punya hobi yang aneh-aneh. Dan ternyata hobi anehnya itu berlanjut hingga kini. Sampai ia sudah berkeluarga.

Yah, kemarin ketika aku berkunjung ke rumahnya, aku dibuat kaget dengan hewan peliharaannya yang menyambut aku. Seekor anak harimau remaja.

“Apa kau nggak takut?” Tanyaku setelah merasa aman di dalam rumah. Aku melirik ke isterinya, yang juga memiliki perasaan sama sepertiku. Namun, sebagai isteri, dia hanya bisa diam mengikuti kemauan suami.

“Takut?! Bro, dia itu hewan peliharaan. Tak beda dengan peliharaan lainnya.” Ujar Agus sambil sedikit tersenyum. “Anggap saja dia itu kucing yang besar. Lihat saja tongkah polanya. Lucu dan menggemaskan.”

“Sejinak-jinaknya harimau, dia tetap binatang buas. Dan sejahat-jahatnya kucing, dia tetaplah binatang peliharaan.”

Tapi Agus, bukanlah Agus kalau memang tidak memiliki keanehan. Ia tetap tak terpengaruh dengan omonganku. Dan ternyata hobi anehnya ini sempat mendapat protes dari sang isteri. Tapi ia mampu meyakinkan isterinya. Entahlah, apakah karena keyakinan atau karena takut.

Agus mau memelihara harimau dalam rumahnya karena dia punya keyakinan bahwa setiap hewan punya perasaan. Jika hewan itu dibaiki, ia juga akan baik kepada kita. Naluri jahat binatang muncul sebagai salah satu mekanisme pertahanan diri. Hewan menjadi buas kalau ia lapar atau disakiti. Jadi, selama kita berbuat baik kepadanya, merawat, memberi makan dan bermain bersama, kebuasan itu akan hilang. Ia akan bersikap jinak kepada kita.

“Tahu film Hachiko, kan? Karena tuannya senantiasa berbuat baik, anjing itu benar-benar menunjukkan kesetiaannya kepada sang tuan. Kesetiaan yang tidak mudah didapat pada manusia,” jelasnya dengan semangat. “Karena itu, sebuas apapun binatang, dia masih punya balas budi. Dia punya rasa hormat dengan tuannya.”

Aku tak bisa membantahnya. Sekalipun aku takut dengan hewan peliharaannya, namun otakku masih menerima penjelasannya. Hewan bisa membalas budi kepada siapa yang telah berbuat baik kepadanya. Dalam satu sisi, sikap ini diturunkan kepada manusia. Bukankah manusia itu hewan yang berakal budi. Animal rationale. Manusia adalah animal, tapi mempunya ratio. Mungkin karena ratio itulah maka kesetiaan manusia tidak buta seperti hewan. Meski ada juga manusia yang buta dalam kesetiaan membalas budi.

Ada manusia yang tak jauh beda dengan binatang dalam kesetiaan membalas budi. Ia buta akan kebenaran dan kebaikan. Yang ada dalam benaknya adalah membalas budi. Apakah balas budi itu baik dan benar, tidak jadi pertimbangannya.

Apakah Agus sudah mempertimbangkan sisi buta ini?
***
Dua tahun setelah kunjunganku ke rumah Agus, aku mendapat email dari isterinya. Ia bercerita tentang harimau peliharaan suaminya.

“Mas ingatkan anak anjing yang di rumah itu hari. Sekarang udah mati. Dibantai harimau itu. Selama ini anjing itu hanya bermain di dalam. Tak pernah keluar, apalagi bermain bersama harimau itu.

Kemarin, waktu Doni pulang dari sekolah, ia lupa menutup pintu. Anjing itu keluar. Karena bawaannya suka bermain, maka ketika ketemu harimau dia juga bermain-main. Tapi apa yang terjadi. Harimau itu langsung menyergapnya. Sekali sergapan saja. harimau itu memakan anjing itu di depan mata saya.

Tapi anehnya, Mas Agus malah membelanya. Dia bilang bahwa tak ubahnya seperti manusia. ada juga perasaan kesal dan jengkel. Harimau itu tidak mau bermain, diajak bermain. Ya kesal lah.

Yah, mungkin juga salah saya yang tak mau dari awal mengajak anjing itu bermain dengan harimau itu. Memang Mas Agus sudah meminta saya untuk diberi kesempatan keduanya bermain bersama. Tapi saya kan takut.

Wah, saya jadi banyak cerita ya. Kapan mas main ke sini lagi?

Salam,
Molly”