Senin, 09 April 2012

KARISMATIK : ANIMATOR KOMUNITAS BASIS GEREJAWI


Pendahuluan
                Judul yang diberikan panitia untuk menjadi pokok bahasan pada pertemuan konvenda karismatik Sumatera adalah, “PD Karismatik sebagai KBG”. Judul ini menjadi semakin menarik dan relevan justru karena KBG telah digulirkan sebagai suatu program nasional sejak pertemuan di Bogor tahun 2000 lalu. Sayangnya bahwa tanpa ada kejelasan dan pedoman yang jelas mengenai KBG orang kemudian sampai pada suatu kesimpulan bahwa setiap kelompok atau gerakan adalah KBG. Padahal tidak setiap kelompok atau gerakan dinamakan KBG. Atas dasar argumen pokok ini, saya akhirnya mengubah judul yang diberikan panitia menjadi “GPK/PD Karismatik: Animator KBG”.[*]
                Apa yang dipaparkan berikut ini adalah jawaban atas pertanyaan mengapa tidak semua kelompok atau gerakan – termasuk karismatik – dinamakan KBG? Untuk itu tulisan ini dibagi ke dalam 5 pokok bahasan, yaitu,
1.       * Siatuasi konkret Indonesia
2.       * Komunitas basis Gerejawi
3.       * Gerakan Pembaharuan Karismatik
4.       * Perbedaan antara KBG dan gerakan karismatik
5.       * Karismatik sebagai animator KBG

1. Situasi Konkret Indonesia: Citra Allah Telah Dirusakkan
                Sidang tahunan KWI 2001 yang lalu berbicara banyak tentang citra Allah yang telah dirusakkan. Pembicaraan ini didasari pada situasi aktual negeri kita yang karut marut akibat berbagai bencana dan kejahatan. Gambaran aktual ini saya angkat kembali untuk menggugat keterlibatan nyata kita dalam menyikapi malapetaka yang tengah terjadi demi memperbaiki citra Allah.

2. Komunitas Basis Gerejawi
2.1. Gereja dan KBG ibarat jantung lemah dan pacu jantung
           Dengan menanamkan pacu jantung, tidak serta merta orang yang menderita lemah jantung akan menjadi sehat, sebab hal ini juga menyangkut perubahan pola hidup seseorang (makanan, kerja, istirahat, dsb). Tanpa adanya perubahan pola hidup, alat pacu jantung tidak akan berguna dan bahkan tidak menolong.
                Demikian halnya Gereja kita saat ini bagaikan orang yang lemah jantung yang segera membutuhkan alat pacu jantung. Dan pacu jantung itu adalah Komunitas Basis Gerejawi. Namun tetap menuntut adanya perubahan perilaku dalam hidup menggereja. Hanya dengan demikian KBG yang ditanamkan di dalam tubuh Gereja sungguh berfungsi menghidupkan Gereja.
2.2. KBG menurut dokumen resmi Gereja
               Komunitas Basis Gerejawi sebagai a new way of being Church sudah diusulkan untuk diterapkan. Evangelii Nuntiandi sejak tahun 1975 sudah berbicara mengenai Komunitas Basis Gerejawi (cf. No. 58): “Sinode tahun 1974 memberikan perhatian yang cukup terhadap jemaat-jemaat kecil atau communautes de base,  sebab hal ini kerap dibicarakan dalam Gereja dewasa ini.” Di sini dibedakan antara komunitas yang timbul karena keinginan membuat Gereja lebih hidup dan tetap dalam struktur paroki (KBG) dan komunitas yang timbul karena ingin mengeritik Gereja yang sudah menjadi seperti “lembaga”. Kerap kecenderungan yang kedua ini menempatan diri sebagai kelompok oposisi terhadap Gereja. Komunitas demikian disebut komunitas sosiologis yang tidak dapat disebut sebagai communautes de base gerejawi.
Dalam dokumen Redemptoris Missio dikatakan bahwa “suatu fenomena yang sedang bertumbuh dengan cepat di Gereja-gereja muda, sesuatu yang kadang-kadang didorong oleh para uskup dan konferensinya sebagai prioritas pastoral, adalah apa yang dinamakan “komunitas-komunitas basis Gerejawi” (atau juga dikenal dengan nama lain), yang terbukti menjadi pusat yang baik bagi pembinaan iman Kristen dan penyebaran misioner. Komunitas tersebut merupakan sekelompok orang Kristen yang pada tingkat keluarga ataupun dalam lingkungan terbatas berkumpul bersama untuk berdoa, membaca Kitab Suci, mengadakan katekese dan berdiskusi tentang aneka masalah manusiawi dan gerejawi dengan maksud untuk melihat komitmen bersama. Komunitas-komunitas itulah yang menjadi tanda adanya kehidupan di dalam Gereja, suatu sarana pembinaan dan penginjillan dan suatu titik pangkal yang kokoh bagi masyarakat baru yang dilandaskan pada peradaban cinta.” (no 51).
Dalam dokumen Gereja di Asia yang dikeluarkan oleh Paus Yohanes Paulus II (1999), dikatakan juga mengenai KBG: “.... para Bapa Sinode menggaris-bawahi nilai jemaat-jemaat gerejawi basis sebagai cara memajukan persekutuan dan keikutsertaan dalam paroki-paroki dan dioses-dioses, lagi pula sebagai kekuatan sejati bagi pewartaan Injil”. Selanjutnya Paus membedakan KBG dari gerakan-gerakan pembaharuan yang juga baik karena “mengajak umat untuk hidup lebih mesrah dengan Allah melalui iman dan sakramen-sakramen dalam memupuk pertobatan hidup” (no. 25). Lebih lanjut Paus mengatakan, “Termasuk tanggung jawab para gembala untuk menuntun, mendampingi dan mendorong kelompok-kelompok itu, supaya mereka sungguh berintegrasi ke dalam hidup dan misi paroki dan dioses... jangan menyajikan diri sebagai alternatif-alternatif bagi struktur-struktur diosesan dan hidup paroki. Persekutuan makin kuat-mantap, bila para pemuka setempat dalam gerakan-gerakan itu bekerja sama dengan gembala-gembala dalam semangat cinta kasih demi kebaikan seluruh umat” (no 25). Terang bagi kita bahwa Komunitas Basis Gerejawi dan aneka gerakan pembaharuan itu berbeda. Dengan kata lain, gerakan pembaharuan bukan Komunitas Basis Gerejawi meski kelompok mereka dapat dikatakan sebagai sebuah “komunitas”.
Karena KBG merupakan bagian dari stasi, dan stasi adalah bagian dari paroki, dan dioses adalah bagian dari Gereja universal, maka KBG harus bersifat teritorial, bukan kategorial. Meski teritori bukan merupakan bagian esensial dari KBG tetapi perlu ada pembatasan yang tegas demi kesatuan semua anggota komunitas (determinasi dan unifikasi umat).
                Berangkat dari gagasan-gagasan di atas, secara singkat KBG dapat dijelaskan sebagai berikut:
$ Komunitas:
=>Ada relasi antara semua anggota, ada solidaritas antara anggota yang nyata dalam hal saling membantu
=>Partisipasi dalam kegiatan KBG karena sadar dan bertanggung jawab atas kepentingan bersama (common commitment and mission).
$ Basis dengan beberapa pengertian:
=>Sosiologis: merakyat, berhubungan dengan akar rumput atau dekat dengan masyarakat paling bawah/rendah
=>Teologis: prinsip dasar kristiani atau merupakan bagian esensial dari Gereja sebagai Umat Allah
=>Deskriptis: titik awal dari sesuatu, cara bekerja dari bottom up dan juga menggambarkan jaringan kerja (network).
=>Strategis: untuk mencapai cita-cita Gereja, KBG punya posisi yang sangat penting. Kalau KBG dikuatkan dan hubungan antara KBG – KBG juga dieratkan, maka akan terjadi suatu jaringan kerja yang dapat saling membantu dan saling memperkuat dalam usaha mencapai tujuan Gereja dan masyarakat pada umumnya
$ Gerejawi:
=>Kata sifat gerejawi menggambarkan unsur konstitutip (yang menentukan) dari KBG, sebab di dalam KBG sudah terkandung Yesus Kristus yang menjadi dasar dan sumber hidup KBG. Dalam dan melalui KBG inilah Gereja berkembang dan mungkin sampai pada suatu model Gereja yang baru berdasarkan refleksi teologis umat. Dengan demikian KBG adalah Gereja yang hidup. Di dalam KBG unsur manusiawi yang sudah ada dan hidup dapat dilanjutkan dan diwujudkan dalam kehidupan bersama dengan umat dari kelompok lain dalam masyarakat.
=>Jelas bahwa KBG mesti menjadi basis pemberdayaan umat, basis pembangunan Gereja dan masyarakat. Dari basis yang kuat inilah KBG akhirnya mesti bermuara pada pengembangan komunitas lintas suka-agama-ras-antargolongan.

3. Gerakan Pembaharuan Karismatik
Dalam Redemptoris Missio, Paus Yohanes Paulus II menegaskan: “Kami teringat lagi akan cepatnya pertumbuhan dari gerakan-gerakan yang penuh dengan dinamisme misioner, sebagai suatu perkembangan baru yang muncul dalam banyak Gereja pada waktu-waktu belakangan ini. Apabila gerakan-gerakan ini dengan rendah hati berusaha menjadi bagian dari Gereja-gereja setempat dan juga disambut oleh para Uskup dan para imam dalam dioses dan struktur-struktur paroki, maka mereka memperlihatkan suatu karunia pemberian sejati dari Allah untuk usaha penginjilan baru sekaligus juga untuk apa yang dengan sangat tepat disebut sebagai kegiatan misioner. Karena itu, kami menganjurkan supaya mereka disebarluaskan dan agar mereka digunakan untuk memberikan kekuatan baru, khususnya di antara kaum muda, kepada hidup Kristen dan penginjilan...” (no 72).
Dari segala gerakan yang muncul, rasanya yang paling kuat dan menyebar sampai juga di Indonesia adalah Gerakan Pembaharuan Karismatik (Charismatic Renewal Movement). Di Indonesia, Gerakan Pembaharuan Karismatik (GPK) diterima dan bekerja serta berkembang di banyak Keuskupan Indonesia, meski tidak semua keuskupan mau menerima kehadiran gerakan ini dengan berbagai alasan.
Tentang kriteria kegerejaan untuk kelompok-kelompok kaum awam, Paus Yohanes Paulus II menyampaikan himbauannya dalam surat apostoliknya. Beliau berkata, “Selalu dari perspektif persekutuan serta tugas Gereja, dan bukan karena menentang kebebasan berserikat bahwa orang mengerti perlunya memiliki kriteria yang jelas dan pasti untuk melihat dan mengakui kelompok-kelompok kaum awam semacam itu, yang juga disebut kriteria kegerejaan.” (CH.FL, no 30). Lebih lanjut Bapa Paus menyampaikan ciri-ciri dari kelompok kaum awam:
* Pengutamaan yang diberikan kepada panggilan setiap orang Kristen kepada kekudusan
* Tanggung jawab mengakui iman Katolik dengan memeluk dan mempermaklumkan kebenaran Kristus, Gereja dan umat manusia dalam ketaatan kepada Magisterium Gereja sebagaimana Gereja menafsirkannya.
* Kesaksian akan suatu persekutuan yang kuat lagi asli dalam hubungan sebagai anak dengan Paus dan Uskup setempat.
* Persesuaian dengan dan partisipasi di dalam sasaran-sasaran kerasulan Gereja, yakni evangelisasi dan pengudusan umat serta pembentukan hati nurani umat.
* Komitmen kepada kehadiran di dalam masyarakat manusia, yang di dalam cahaya Ajaran Sosial Gereja, mengabdikan kepada martabat pribadi yang utuh.
                Kelima persyaratan atau ciri khas di atas dapat dilihat pada buah-buahnya. Ada beberapa buah yang bisa dilihat, yaitu:
@     Pengertian yang diperbaharui mengenai doa.
@ Pembangkitan kembali panggilan kepada pernikahan Kristen, imamat pelayanan dan kehidupan yang dibaktikan.
@ Kesediaan berpartisipasi di dalam program-program dan kegiatan Gereja pada tingkat lokal, nasional dan internasional.
@ Komitmen kepada katekese dan kemampuan untuk mengajar dan membimbing umat Kristen.
@ Keinginan supaya hadir sebagai orang Kristen di dalam pelbagai kegiatan sosial serta membangkitkan karya-karya amal kasih, kebudayaan dan spiritual.
@ Pertobatan kepada kehidupan Kristen atau kembali kepada persekutuan Gereja.
                Hubungan KBG dan GPK dapat dibandingkan dengan hubungan tubuh dan vitamin. Tubuh yang sakit dan tidak kuat membutuhkan vitamin tambahan atau suplemen. Di sini vitamin ada untuk tubuh, bukan tubuh untuk vitamin. Karena itu, vitamin tidak pernah menjadi lebih besar dari tubuh. Demikian halnya KBG dan GPK. Gerakan Pembaharuan Karismatik harus menjadi vitamin penambah gairah hidup KBG. Dan seperti vitamin tidak lebih besar dari tubuh, GPK juga mesti tak pernah boleh menjadi lebih besar dari KBG yang ia abdi. GPK harus membantu agar KBG menjadi lebih bersemangat dalam menghayati ajaran Yesus sebagaimana yang tertuang di dalam Kitab Suci. Dan itulah yang ditegaskan oleh Sri Paus di atas.
                Jadi, dengan mengatakan bahwa GPK merupakan vitamin, saya mau menegaskan bahwa GPK bukan sebuah KBG. GPK adalah bagian dari KBG. Sama halnya satu keluarga yang terdiri dari bapa, ibu dan anak-anak. Mereka bisa saja memiliki dan sibuk dengan pekerjaan masing-masing, tetapi mereka selalu harus membagikan apa yang mereka peroleh dari pekerjaannya sebagai sumbangan demi kehidupan keluarga.

4. Perbedaan antara KBG dengan GPK
                Di atas kita sudah melihat bahwa KBG itu harus dibedakan dari GPK, mesti keduanya bisa menjadi satu kesatuan. Artinya, ada perbedaan antara keduanya. Beberapa perbedaan yang perlu ditonjolkan adalah sebagai berikut:
# Keanggotaan KBG bersifat tetap, sedangkan GPK bersifat transitoris (kalau tujuan sudah tercapai ia boleh berhenti). Seseorang bisa berhenti dari keanggotaan karismatik tetapi dia tidak bisa berhenti dari keanggotaan KBG.
# Yang penting dalam GPK adalah pengurusnya yang senantiasa memberikan kesegaran rohani kepada semua orang yang merindukan, tidak tergantung pada jumlah anggota (banyak atau sedikit). Karena itu GPK tidak mesti memiliki anggota yang banyak.
# KBG merupakan jawaban menyeluruh terhadap keseluruhan kehidupan, sedangkan GPK bersifat khusus; artinya tertuju pada memberikan kesegaran rohani kepada umat yang datang pada pertemuan mingguan. Jadi, GPK hanya melayani salah satu aspek tertentu dari kehidupan manusia.

5. GPK/PDK sebagai Animator KBG
                Sebagai vitamin dari KBG, apa yang dapat GPK perbuat? Sehubungan dengan ini, saya berpendapat bahwa adalah baik kalau hal ini menjadi bahan permenungan kita. Dari permenungan itu, kita diajak mencari dan menemukan hal-hal apa saja yang bisa disumbangkan oleh GPK demi perkembangan KBG. Sebab dinamisme GPK dan kemantapan KBG hendaknya dipadukan dalam usaha kita untuk mengembangkan iman di Asia, khususnya di Indonesia.
                Dalam kesempatan ini, saya ingin men-share-kan pengalaman pribadi saat berada di Keuskupan Pangkalpinang. Ada beberapa sumbangan pemikiran bagi GPK demi perkembangan KBG yang bisa diterapkan di tempat kita masing-masing.
* Menjadi fasilitator dalam pertemuan-pertemuan berkala. Hampir di semua keuskupan kebutuhan akan tenaga fasilitator kian mendesak dan penting, terutama yang secara profesional mendampingi KBG. Kekurangan ini sebenarnya tidak akan terjadi kalau para pengurus dan tenaga ini GPK/PDK siap menjadi fasilitator KBG.
* Karena KBG mendasarkan dirinya pada Kitab Suci, sementara para anggota karismatik sangat mencintai Kitab Suci, maka kursus Kitab Suci dapat diberikan oleh anggota karismatik kepada semua Komunitas Basis Gerejawi.
* Ketrampilan anggota karismatik dalam berevangelisasi semestinya juga ditularkan kepada semua Komunitas Basis Gerejawi melalui kursus dan pelatihan-pelatihan

Penutup
                Berhadapan dengan situasi negara kita yang kian karut marut akibat aneka konflik dan bencana, kita ditantang untuk segera menemukan jawaban dalam bentuk usaha nyata – sekalipun kecil, demi memulihkan citra Allah yang telah dirusakkan. Alam yang hancur, martabat manusia yang dihina, pelecehan hak-hak dasariah manusia Indonesia adalah locus di mana Allah berseru dengan nyaring memanggil kita untuk membuktikan jati diri kemuridan kita. Kita adalah animator karya keselamatan Allah di dalam dunia, khususnya di ranah kita masing-masing. Dan di dalam dan melalui communautes de base gerejawi komitmen kita untuk menjadi animator KBG mesti dibuktikan.

by: Mgr. Hilarius Moa Nurak, SVD
     Uskup Keuskupan Pangkalpinang

[*] Disampaikan pada pertemuan Konvenda Karismatik Sumatera di Sigi Sutera, Padang

Jumat, 30 Maret 2012

SINODE II KEUSKUPAN PANGKALPINANG: Mari Kita Bercermin untuk Berbenah


Harimau yang Berubah
Seekor anak harimau ditinggal mati induknya. Dia berjalan dalam kedukaan tanpa arah dan tiba di sebuah peternakan seorang petani. Di peternakan itu ada induk kambing. Melihat nasib anak harimau itu, timbullah naluri keibuan induk kambing itu. Maka, induk kambing itu mengadopsi anak harimau itu dan membesarkannya bersama anaknya yang lain.
Karena dibesarkan dan hidup dalam lingkungan kambing, anak harimau itu menyadari dirinya sebagai seekor kambing. Maka dia berjalan dan mengembik seperti kambing. Dia juga makan daun-daunan seperti kambing. Waktu demi waktu berlalu. Sang anak harimau itu pun tumbuh menjadi besar. Dan dia tetap menyadari kalau dirinya adalah kambing. Sekalipun saudara-saudaranya mengatakan bahwa dirinya adalah harimau, karena wajahnya lain dari mereka, dia tetap setia pada pendapatnya.
Pada suatu hari dia bersama saudara-saudaranya berjalan di padang yang luas. Mereka tidak menyadari bahaya yang mengancam. Tiba-tiba datang beberapa ekor harimau menyergap. Anak harimau yang telah menjadi besar berlari menyelamatkan diri bersama saudara-saudaranya. Seekor harimau besar merasa aneh ketika melihat hal itu. Bersama temannya, dia berusaha mengejar anak harimau yang telah besar.
Harimau besar itu berhasil menangkapnya. Dalam ketakutannya, anak harimau yang telah besar itu memohon belas kasihan.
Harimau besar, “Kami tidak akan memakanmu. Kami cuma mau bertanya kenapa kamu lari ketakutan sama seperti kambing-kambing itu?”
Anak harimau, “Aku kambing.”
Harimau besar, “Kamu harimau! Kamu sama seperti kami.”
Anak harimau, “Bukan! Aku kambing.”
Harimau besar itu, bersama temannya, mengajak anak harimau yang telah besar itu ke tepi danau. Air danau itu tenang dan sangat bening. Harimau besar itu menyuruh anak harimau yang telah besar itu untuk melihat wajahnya di permukaan danau.
Ketika anak harimau yang telah besar itu melihat dirinya di permukaan air danau yang bening dan tenang, dia langsung menyadari siapa dirinya. Spontan dia pun mengaum. Dan dia menjadi harimau.
Tiga Cermin
Tgl 2-8 Agustus Gereja Keuskupan Pangkalpinang menyelenggarakan sinodenya yang kedua. Dalam sinode ini peserta sinode mencoba untuk menemukan apa yang akan dilakukan bersama ke depan dalam kurun waktu satu dekade. Sinode mau mengajak kita untuk bergerak bersama dalam satu kata dan satu tindakan dengan tetap menghargai kekhasan paroki masing-masing.
Sinode sebenarnya bisa dijadikan ajang untuk berefleksi, melihat diri sendiri untuk memperbaiki diri. Berefleksi merupakan suatu tindakan seperti bercermin/berkaca untuk melihat diri sendiri, yang dengannya orang bisa membenahi dirinya (yang baik dipertahankan, yang kurang diperbaiki). Ibarat orang bercermin, orang akan melihat dirinya sendiri lalu membenahi dirinya. Pembenahan berdampak pada kesempurnaan. Untuk itu dibutuhkan kejujuran dan sikap rendah hati agar jangan sampai buruk rupa cermin dibelah.
Dalam sinode ini, peserta sinode banyak ditawarkan cermin. Dalam kesempatan ini saya mengambil tiga cermin yang menjadi tema pertemuan di hari kedua. Tiga cermin ini adalah Politik, Ekologi dan Hubungan Antar Agama. Saya mengambil 3 tema ini menjadi cermin untuk kita berefleksi karena waktu sinode kemarin ketiga tema tersebut tidak dijadikan cermin agar kita bisa melihat wajah Gereja Keuskupan Pangkalpinang. Tiga tema itu hanya sebatas resume. Dia cuma menjadi realitas di luar kita. Ada kesan bahwa menampilkan 3 tema itu sebagai resume membuat Gereja seakan-akan hanya bias mengadili realitas di luar dirinya. Padahal realitas itu tak jauh berbeda dengan realitas di dalam Gereja Keuskupan Pangkalpinang sendiri. Untuk itulah sebenarnya sinode ini seharusnya menjadi ajang bersih-bersih diri dengan refleksi diri. Kita perlu merefleksikan 3 tema itu untuk konteks keuskupan. Dalam hal ini refleksi berarti otokritik.
Cermin I: Tema Politik
Dalam dunia politik, khususnya gambaran perpolitikan di Indonesia, terungkap beberapa realitas. Pertama, uang menjadi dominan. Adanya transaksi kekuasaan dan jabatan, semua karena uang. Hal ini telah menghilangkan nilai-nilai kejujuran dan moralitas. Dan ini terjadi di tingkat elite. Kedua, pimpinan yang tidak tegas. Ketidaktegasan ini mengakibatkan banyaknya kebijaksanaan yang tidak berjalan dan memperparah situasi. Ketiga, ketidaktegasan pemimpin ini mungkin disebabkan oleh adanya politik saling sandera. Yang satu memegang kartu truf yang lain, demikian pula sebaliknya. Keempat, mental melodramatik. Mental ini terlihat dari sikap mudah lupa, cepat iba dan gampang sekali bosan.
Kelima, menghadapi realitas politik di atas, muncullah berbagai sikap dalam masyarakat. Ada masyarakat yang mengambil sikap apatis, tidak mau peduli dengan masalah yang terjadi: yang penting urusan pribadi saya aman-aman saja. Ada juga masyarakat yang bersikap pragmatis: selagi menguntungkan saya akan terlibat. Dan ada pula masyarakat yang memiliki sikap kritis demi tegaknya nilai-nilai keadilan, kebenaran dan kesejahteraan bersama.
Nah, uraian di atas merupakan gambaran realitas perpolitikan di negara kita. Realitas ini dipaparkan dalam sinode, sudah seharusnya gambaran ini menjadi cermin bagi kita untuk melihat wajah keuskupan. Dengan berani melihat wajah kita melalui cermin politik, kita tidak hanya bisa mengkritik/mengecam elite politik negara ini dan menuntut adanya perubahan, melainkan juga kita bisa mengkritik diri kita sendiri dan menuntut terjadinya perubahan di keuskupan kita. Dan kalau ini benar-benar dijadikan cermin, marilah kita sama-sama melihat:
1)      Apakah pengaruh uang sangat dominan dalam kehidupan kita, baik sebagai imam maupun sebagai awam? Apakah ambisi-ambisi jabatan kekuasaan, yang semuanya demi uang, sampai-sampai nilai-nilai moral dan kejujuran dilangkahi, ada dalam realitas kita?
2)      Apakah pemimpin kita sudah bertindak tegas?
3)      Kalau di negara ada politik saling sandera, apakah di keuskupan ada politik saling sandera antara hirarki gereja?
4)      Apakah ada mental melodramatik di kalangan umat dalam menyikapi persoalan di level hirarki?
5)      Bagaimana sikap umat dan kaum pinggiran? Apakah ada yang apatis, kritis atau pragmatis?
Inilah pertanyaan panduan untuk dapat melihat wajah keuskupan. Kita masih bisa menambah lagi dengan pertanyaan lain, misalnya soal kebohongan publik. Seperti dalam dunia politik kita saat ini dimana rakyat dibingungkan dengan kebohongan-kebohongan para elite. Kita bisa bertanya bagaimana dengan kita? Bukankah umat sempat dibingungkan dengan pernyataan para imam soal adanya imam yang bergaji? Ada yang berkata bahwa ada imam yang menerima gaji di atas uang saku dan tidak menyerahkan ke keuskupan, tapi ada imam yang mengelak dengan mengeluarkan argumen hukum (aturan). Umat bingung siapa yang benar dan siapa yang berbohong?
Dari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas, kita akhirnya bisa mengetahui wajah keuskupan kita. Jawaban membutuhkan sikap jujur dan rendah hati. Dan kalau kita sudah melihat wajah kita, kita terpanggil untuk menentukan apa yang harus dibuat. Ibarat kalau kita bercermin. Jika ternyata rambut belum tertata atau masih ada sisa bedak yang belum rata atau kancing baju yang kurang pas, maka kita segera menata rambut atau merapikan bedak atau mengatur kancingnya.
BERANIKAH KITA???
Tema II: Tema Ekologi
Dalam uraian tema ekologi ini terungkap beberapa realitas negatif yang terjadi di Indonesia atau secara khusus di provinsi Bangka-Belitung dan Kepulauan Riau, yang termasuk wilayah Keuskupan Pangkalpinang. Realitas itu adalah pertama, keserakahan segelintir orang yang menguasai sebagian besar lahan yang ada, yang mana lahan itu merupakan salah satu aset kekayaan negara yang semestinya digunakan untuk kesejahteraan seluruh rakyat. Keserakahan ini berdampak pada kerusakan alam.  Kedua, egoisme orang yang hanya memperhatikan kepentingan sesaat untuk diri sendiri (keluarga/kelompok) tanpa memperhitungkan anak cucu manusia.
Sikap serakah membuat orang mengeksploitasi alam dan lingkungan secara tak bertanggung jawab. Segala cara dilakukan, entah legal atau tidak legal, demi pemenuhan nafsunya. Demikian pula sikap egois. Sikap ini menyebabkan orang mencari keuntungan pribadi tanpa peduli akan nasib sesama baik di masa kini maupun di masa depan.
Di sini kita bisa bercermin untuk melihat diri kita, umat Allah Keuskupan Pangkalpinang. Dengan menjawab pertanyaan berikut ini, kita bisa melihat wajah itu:
1)      Apakah keserakahan ada pada diri imam dan/atau umat sehingga sebagian besar aset kekayaan keuskupan dikuasainya?
2)      Apakah keserakahan yang berdampak pada eksploitasi lingkungan ada dalam diri imam dan/atau umat?
3)      Apakah egoisme dalam semangat memanfaatkan aset kekayaan keuskupan, sama seperti egoisme memanfaatkan kekayaan alam di negara ini, untuk kepentingan pribadi dan keluarga ada pada diri imam dan/atau umat?
Dari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas (yang bisa ditambah lagi), kita akhirnya bisa mengetahui wajah keuskupan kita. Jawaban membutuhkan sikap jujur dan rendah hati. Dan kalau kita sudah melihat wajah kita, kita terpanggil untuk menentukan apa yang harus dibuat.
BERANIKAH  KITA??? 
Tema III: Tema Hubungan Antar Agama
Dalam penjelasan tentang tema hubungan antar agama, terlihat adanya beberapa realitas negatif yang terjadi di Indonesia. Realitas itu adalah pertama, adanya fanatisme agama yang berdampak mulai dari kebencian dan penolakan kelompok lain sampai kepada kekerasan yang mengatas-namakan agama. Kedua, adanya pemaksaan kehendak kepada orang lain. Pemaksaan ini bukan saja terarah kepada orang yang berbeda agama melainkan juga yang seagama dengan dirinya. Di sini seakan ada kesan bahwa sayalah yang benar sedangkan yang lain salah. Tiga, adanya politik pembiaran. Ini bisa terjadi karena tidak adanya ketegasan dari elite politik (pimpinan negara) dan juga elite agama sehingga agama sering dipolitisasi. Keempat, cara beragama hanya berhenti di tempat ibadah, bersifat ritual dan tidak memiliki dampak sosial yang membangun peradaban. Kelima, rusaknya pendidikan agama, bukan saja di tingkat formal (sekolah) tetapi juga pada tingkat informal (keluarga).
Dari sini kita diajak untuk bercermin sehingga bisa mengenal wajah keuskupan Pangkalpinang. Untuk itu mari kita lihat wajah keuskupan kita dengan berkaca pada tema hubungan antara agama:
1)      Apakah sifat fanatisme akan iman dan/atau Gereja Katolik ada pada diri umat dan/atau umat?
2)      Apakah sifat merasa diri benar ada pada diri imam dan/atau umat sehingga terjadinya pemaksaan kehendak? Imam memaksakan kehendaknya karena merasa dirinya benar dan pintar sementara umat salah dan bodoh.
3)      Apakah ada rasa benci dan sikap menolak orang dari kelompok lain dalam diri imam dan/atau umat?
4)      Apakah ada umat dan/atau imam yang melakukan kekerasan terhadap orang lain dengan menggunakan dasar agama?
5)      Apakah ada politik pembiaran di Gereja kita saat terjadi tindak kekerasan?
6)      Bagaimana cara beragama kita? Apakah masih bersifat ritual dan hanya mengejar kesalehan pribadi atau sudah memiliki dampak sosial yang membangun peradaban?
7)      Apakah imam dan/atau umat (keluarga) sudah menanamkan benih-benih cinta kasih, saling menghormati dan menghargai dalam diri anak-anak kita?
Dari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas (yang bisa ditambah lagi), kita akhirnya bisa mengetahui wajah keuskupan kita. Jawaban membutuhkan sikap jujur dan rendah hati. Dan kalau kita sudah melihat wajah kita, kita terpanggil untuk menentukan apa yang harus dibuat.
BERANIKAH KITA???
Akhir Kata
Seorang ibu peserta sinode mengungkapkan kerisihannya pada kemewahan para imamnya. Kemewahan yang dimaksudkannya adalah kalung emas dan kamera. Spontan saya teringat akan realitas politik negeri ini: Senayan menjadi showroom mobil. Jadi, kalau di senayan dijadikan ajang pamer kekayaan elite politik, sinode kemarin pun tak kurang menjadi ajang pameran kekayaan para imam.
Tulisan ini tidak memiliki maksud lain selain mau mengajak kita untuk bercermin, melihat kelemahan-kelemahan kita. Dan dari aksi bercermin ini akan muncullah perubahan. Akan tetapi perubahan mengandaikan adanya KEMAUAN dari SEMUA umat Keuskupan Pangkalpinang, baik dari kalangan hirarki (uskup dan para imam), kelompok hidup bakti serta kaum awam. Kalau hanya kaum awam atau kelompok hidup bakti saja yang bercermin dan mau melakukan perubahan, maka tidak akan ada perubahan yang sesungguhnya. Jadi, perubahan akan terjadi bila ada aksi bersama. Untuk itulah sangat bagus tema ini dijadikan cermin saat sinode. Bukankah sinode itu berarti berjalan bersama?
Perubahan adalah langkah akhir; atau buah dari refleksi. Langkah awal yang musti dilakukan adalah pertobatan dan rekonsiliasi. Pertobatan adalah aksi individu. Masing-masing kita melihat diri kita, apakah masih ada kekurangan dalam diri saya berkaitan dengan 3 cermin di atas. Setelah menemukan kekurangan itu, kita masing-masing segera berbenah diri. Pertobatan ini bukan hanya terjadi pada diri umat, melainkan juga, dan malahan yang utama, para imamnya. Sedangkan rekonsiliasi merupakan aksi kolektif. Kita harus menumbuhkan rekonsiliasi dimulai dari kelompok kaum religius, kelompok kaum lembaga hidup bakti, kelompok kaum awam dan antar kelompok.
Serrata Terrace Hotel, 8 Agustus 2011

by: adrian

Renungan Hari Jumat Prapaskah V-B


Renungan Hari Jumat Prapaskah V B/II
Bac I       : Yer 20: 10 – 13 ; Injil         : Yoh 10: 31 – 42

Dalam Injil Yohanes Yesus mau menegaskan kepada orang Yahudi bahwa perbuatan-perbuatannya itu menunjukkan jati diri-Nya. Yesus meminta mereka untuk dapat melihat sekaligus menerima kesatuan antara perbuatan dan jati diri. Kiranya inilah yang pernah dimaksudkan Yesus, dari buahnyalah kamu kenal pohon itu (bdk Mat 12: 33).

Akan tetapi orang Yahudi tidak bisa melihat hal itu. Mereka memisahkannya. Mereka menerima pekerjaan baik yang dilakukan oleh Yesus, tapi menolak pengakuan Yesus terkait jati diri-Nya sebagai Anak Allah. Bagi mereka itu adalah hojat. Dan hojat berarti harus mati.

Apa yang dialami Yesus, dialami juga oleh nabi Yeremia dalam kisahnya di Bacaan pertama. Yeremia adalah utusan Allah. Sebagai utusan Allah, dia menyuarakan suara Allah. Dan sebagai utusan Allah, tentulah Yeremia bukan hanya menyampaikan pesan Allah lewat perkataan, melainkan juga menampilkan pesan Allah lewat perbuatan. Tapi hal ini ditolak oleh orang Israel, bahkan oleh sahabat dan kerabatnya.

Sabda Tuhan hari ini mau menyadarkan kita bahwa di saat kita menampilkan kebaikan, pastilah akan ada orang yang tidak senang dengan diri kita. Apalagi jika lingkungan hidup kita sudah terbiasa dengan hal-hal negatif. Maka perbuatan positif kita akan dirasakan aneh dan menjadi sebuah batu sandungan sehingga harus disingkirkan.

Berhadapan dengan ini kita tak perlu cemas dan takut. Kita tetap terpanggil untuk selalu berbuat baik. Panggilan hidup kita adalah mencari dan melakukan kebaikan, sekalipun ada tantangan dan rintangan. Kita perlu meniru teladan nabi Yeremia, yang sekalipun dibenci dan diancam sahabat-sahabatnya namun ia tidak putus asa. Yeremia punya satu keyakinan bahwa Tuhan akan mendampingi dirinya. Keyakinan inilah yang hendaknya menjadi pegangan hidup kita.

by: adrian