Dialah yang
menghidupkan dan mematikan, dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan. (QS 10:
56)
Al-Qur’an
diyakini oleh umat islam merupakan wahyu Allah yang secara langsung disampaikan
kepada nabi Muhammad SAW. Hal ini bisa dipahami sebagai berikut: Allah
berbicara kepada Muhammad, dan Muhammad mendengarnya. Umat islam percaya hanya
Muhammad sebagai penerima wahyu Allah. Dengan demikian, ia adalah lawan bicara
Allah. Apa yang didengar Muhammad itulah yang kemudian ditulis dan akhirnya
menjadi sebuah kitab yang diberi nama Al-Qur’an. Dengan perkataan lain, umat
islam percaya dan meyakini bahwa apa yang tertulis dalam Al-Qur’an adalah
merupakan kata-kata Allah SWT sendiri. Karena itu, umat islam menaruh hormat
yang tinggi kepada Al-Qur’an. Pelecehan terhadap Al-Qur’an sama artinya
pelecehan kepada Allah SWT. Dan orang yang melakukan hal itu, berdasarkan
perintah Allah dalam Al-Qur’an, wajib dibunuh (QS al-Maidah: 33).
Umat
islam menganggap dan menilai Al-Quran sebagai keterangan dan pelajaran
yang jelas, karena memang demikianlah yang dikatakan Allah sendiri. Allah telah memudahkan wahyu-Nya sehingga umat bisa
dengan mudah pula memahaminya. Sebagai pedoman dan penuntun
jalan hidup, Allah memberikan keterangan dan pelajaran yang jelas sehingga
mudah dipahami oleh umat islam. Umumnya
para ulama menafsirkan kata “jelas” di sini
dengan sesuatu yang telah terang benderang sehingga tak perlu susah-susah
menafsirkan lagi pesan Allah itu. Dengan kata lain, perkataan Allah itu sudah
jelas makna dan pesannya, tak perlu lagi ditafsirkan. Sekalipun ditafsirkan,
tetap saja tafsiran itu tak jauh dari apa yang tertulis. Maksud dan pesan Allah
sesuai dengan apa yang tertulis dalam Al-Quran.
Penafsiran atas wahyu Allah yang tidak sesuai dengan apa yang tertulis bisa
berdampak pada ketidak-sesuaian dengan kehendak Allah sendiri.
Berangkat
dari pemahaman ini, maka apa yang tertulis dalam surah Yunus
ayat 56 di
atas merupakan perkataan langsung dan asli dari Allah SWT. Allah berbicara dan
Muhammad mendengarnya. Apa yang tertulis di sana seperti itu juga yang didengar
oleh nabi Muhammad SAW. Dan apa yang disampaikan Allah ini sudah jelas maknanya. Dengan sangat mudah dan sederhana ulama islam
menafsirkan kutipan kalimat Allah di atas sebagai wujud kekuasaan Allah, yaitu
Allah berkuasa atas hidup dan matinya manusia. Dari sini lahirlah pernyataan
“hidup mati di tangan Tuhan.” Allah merupakan tujuan akhir perjalanan hidup
manusia.
Pada titik ini terlihat jelas betapa indahnya tafsiran wahyu Allah ini. Dan biasanya umat agama lain langsung terpesona dan kagum dengan penjelasan dan kata-kata manis yang keluar dari para ulama, sekalipun tafsiran seperti itu terdapat juga pada ajaran agama lain. Keterpesonaan dan kekaguman atas tafsiran wahyu Allah di atas terjadi ketika kutipan kalimat Allah itu ditafsir lepas dari konteksnya. Perlu diketahui konteks wahyu Allah yang ada dalam Al-Qur’an adalah Allah berbicara dan Muhammad mendengarkan. Umat islam percaya Muhammad adalah lawan bicara Allah. Karena itu, kutipan ayat di atas diyakini sebagai kata-kata Allah yang diucapkan-Nya kepada Muhammad. Berdasarkan konteks keindahan tafsiran atas wahyu Allah ini, bagi orang yang berpikiran waras, akan langsung terlihat seperti “tong kosong nyaring bunyinya”. Artinya ada masalah dalam wahyu Allah ini.
Kembali
diingatkan bahwa kutipan ayat di atas merupakan perkataan Allah yang
disampaikan kepada Muhammad. Jadi, logikanya waktu itu Allah berkata kepada
Muhammad, “Dialah yang menghidupkan dan mematikan, dan hanya kepada-Nyalah kamu
dikembalikan.” Bagi yang memiliki nalar akal sehat tentu langsung menemukan
akar persoalannya, yaitu kata “DIA”. Kata ini ditafsir sebagai Allah; sementara
itu kata tersebut diucapkan oleh Allah. Artinya, Allah yang disebut dalam kata
“Dia” bukanlah Allah yang sedang berbicara. Sebagai perbandingan, saya berkata,
“Dia pergi ke Medan.” Tentulah “dia” ini bukan “saya”; dia adalah entitas lain
dari saya. Demikian pula dengan wahyu Allah ini. Dia, yang ditafsirkan sebagai
Allah, bukanlah Allah yang sedang berbicara. Hal ini menunjukkan ada DUA Allah,
yaitu Allah yang berbicara dan Allah yang menghidupkan dan mematikan. Terlihat
jelas ulama islam hanya menafsirkan apa yang tertulis dalam Al-Qur’an tanpa
menganalisa dengan logika apa yang tertulis itu. Atau dengan kata lain,
tafsiran ulama ini terlepas dari konteks wahyu. Keindahan tafsiran kalimat
Allah di atas harus dibarengi dengan penerimaan dan pengakuan bahwa Allah islam
ada DUA.
Menghadapi
kritikan ini tak jarang ulama islam melontarkan rasionalisasi untuk membenarkan
Al-Qur’an. Mereka mengatakan bahwa kalimat tersebut diucapkan Jibril kepada
Muhammad. Sebagaimana diketahui umat islam percaya bahwa Jibril merupakan
utusan Allah. Salah satu tugasnya adalah menyampaikan pesan Allah. Jadi, dengan
demikian kutipan kalimat di atas tetap merupakan kata-kata Allah yang
disampaikan Jibril kepada Muhammad. Logika seperti ini memang mengatasi
persoalan kata ganti “Dia”, akan tetapi tanpa disadari justru menimbulkan
problem baru. Dengan mengatakan kutipan kalimat di atas diucapkan Jibril kepada
Muhammad, maka runtuhlah klaim bahwa Al-Qur’an langsung dari Allah, karena
terbukti Allah menggunakan perantara. Selain itu, secara logika dan juga linguistik
kutipan ayat di atas merupakan kata-kata Jibril, bukan kata-kata Allah yang
disampaikan Jibril. Karena jika itu perkataan Allah yang disampaikan Jibril,
seharusnya Jibril mengawalinya dengan “Allah berfirman: ….” atau bisa juga
“Beginilah firman Allah: ….” Dua argumen ini sudah cukup mematahkan
rasionalisasi ulama tersebut. Karena itu, tetaplah harus dikatakan Allah islam
ada DUA.
Kerap
muncul juga rasionalisasi lainnya, yaitu bahwa kutipan ayat di atas merupakan
hasil diktean Allah kepada Muhammad. Artinya, waktu itu Allah sedang meminta
Muhammad mengulangi lagi apa yang dikatakan-Nya; dan apa yang diulangi itulah
yang kemudian ditulis. Lewat diktean ini Allah hendak menyampaikan satu
pengajaran. Logika seperti ini seakan masuk akal dan memang mengatasi persoalan
kata ganti “Dia”. Namun benarkah logika tersebut? Jika konteksnya adalah
mendikte, seharusnya Allah mengawali wahyu-Nya dengan berkata, “Katakanlah: ……”
Wahyu dengan rumusan seperti ini banyak dijumpai dalam Al-Qur’an. Apakah kali
ini Allah lupa? Sekali lagi terbukti rasionalisasi ulama tidak bisa dibenarnya,
dan ini tetap membuktikan Allah islam ada DUA.
DEMIKIANLAH
kajian logis atas surah Yunus ayat 56. Kajian logis ini melahirkan kesimpulan
besar yaitu, Allah islam ternyata tidak hanya ada satu tetapi dua. Jelas
kalau ini bertentangan dengan pernyataan Allah sendiri bahwa Allah itu esa,
yang berarti hanya ada satu. Pernyataan ini membuat islam dikenal sebagai agama
tauhid. Akan tetapi, klaim tauhid itu hanyalah isapan jempol belaka, karena
Allah islam ternyata ada dua. Kesimpulan ini memperlihatkan kalau keindahan
tafsiran ulama atas wahyu Allah ini hanya isapan jempol belaka, karena tafsiran
tersebut terlepas dari konteks wahyu. Ulama islam hanya sekedar menafsirkan apa
yang tertulis dalam Al-Qur’an tanpa menyadari ada perbedaan antara Allah yang
menyampaikan wahyu tersebut dengan Allah yang ditafsir. Bisa juga dikatakan
kalau tafsiran itu hanya berdasarkan selera saja, bukan berdasarkan kajian akal
sehat.
Lingga,
27 Agustus 2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar