Kebenaran adalah sesuatu yang paradoksal,
selalu dirindukan bahkan diperjuangkan siapa pun, kapan dan dimana pun. Orang
dapat mempertaruhkan segalanya asal menemukan kebenaran. Debat hukum di ruang
pengadilan, entah dengan argumentasi yang rasional maupun bukan, semuanya
bermuara ke upaya penemuan kebenaran.
Namun, ketika kebenaran tersingkap, apakah
semua pihak menyukainya? Di situlah paradoksnya! Kebenaran menyembuhkan, juga
melukai. Ia ibarat buah simalakama. Pihak yang yakin kebenaran akan
menyembuhkan tak akan pantang mundur berupaya menemukannya.
Pihak yang takut bahwa kebenaran akan
melukai akan berjuang dengan segala macam cara untuk mengurung kebenaran dalam
ruang gelap, agar tersembunyi dan tidak tersingkap.
Aletheia
Ada hal yang menarik dari analisis
semantik yang dilakukan Martin Heidegger tentang kebenaran. Ia menjelaskan,
kebenaran dalam bahasa Yunani adalah aletheia – a (tidak) dan
theia (tersembunyi). Kebenaran berarti tidak tersembunyi, apa adanya, tanpa
embel-embel. Sesuatu dalam dirinya sebagaimana adanya (das Ding an sich).
Sesuatu itu benar kalau tampil apa adanya, tanpa pemalsuan, rekayasa, embel-embel yang malah menutup atau menyembunyikan kesejatian (autensitas) dari sesuatu itu. Sesuatu dalam kesejatiannya menjadi sesuatu yang objektif. Siapa pun akan melihat dan menemukannya sebagaimana dalam keadaannya yang sebenarnya.
Karena itu bagi Heidegger, kebenaran
berarti tidak tersembunyi. Menyingkapkan kebenaran berarti berupaya membongkar
unsur-unsur palsu yang tidak autentik, yang menyebabkan tertutup atau
tersembunyinya kebenaran.
Kebenaran tak akan pernah sirna. Ia hanya
“ditutup” dan “disembunyikan”. Kebenaran itu abadi karena objektif dan
pengakuan akan keberadaan serta autentisitasnya tidak bergantung kepentingan
atau selera subjektif.
Kebenaran menyatakan dirinya. Kebenaran
tidak dapat dihilangkan. Kebenaran dapat dipalsukan menjadi kebenaran palsu,
tapi itu bukan kebenaran itu sendiri. Kebenaran tidak bisa ditiadakan.
Kebenaran dapat disembunyikan dalam kegelapan, namun tak akan sirna.
Sebaliknya, kebenaran akan ”diwartakan dari atas atap rumah”.
Ketika kebenaran tersingkap, ia dapat
melukai mereka yang tidak menyukainya. Tetapi, luka itu tersembuhkan ketika si
terluka menerima dan mengakuinya.
Kebenaran lantas membebaskan, sedangkan
kepalsuan membelenggu. Sebagai contoh, seseorang yang berbohong akan selalu
berusaha agar kebenaran tidak menyatakan diri. Ia berjuang dengan segala macam
cara agar “kebohongannya” dipercayai seolah-olah benar.
Selama berbohong, ia tidak mengalami
kebebasan karena selalu takut dan waswas, jangan-jangan ada yang mengetahui
bahwa ia sedang berbohong. Ia bisa menggunakan apa saja, trik dan manipulasi,
agar kebohongannya dipercayai sebagai kebenaran.
Sebaliknya, kalau seseorang jujur,
menyingkapkan apa adanya, ia terbebaskan dari rasa curiga dan waswas. Ia tidak
takut risiko karena menyatakan yang benar. Ia bebas dan tidak terbelenggu.
Baginya, kebebasan benar-benar membebaskan.
Gnothi Seauton
Adalah Socrates, yang memopulerkan
ungkapan gnothi seauton, yang dapat diterjemahkan “kenalilah
dirimu”. Pengembangan diri menuju pribadi autentik, matang, dan dewasa selalu
bermula dari pengenalan diri.
Pengenalan diri merupakan perjalanan
panjang menuju diri sendiri, tetapi perjalanan itu bukan individual semata,
lepas dari sesama. Sebaliknya, proses itu merupakan suatu dialektika antara aku
dan pribadi lain.
Contoh klasik tentang hal itu dapat
ditemukan dalam tulisan suci, Kitab Kejadian. Ketika berjumpa dengan pribadi
lain, manusia pertama itu berseru, “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging
dari dagingku (2:23),”.
Ia mengenal siapa dirinya dalam perjumpaan
(dialektika) dengan pribadi lain. Seseorang yang sungguh mengenal dirinya
sendiri atau terbuka berdialektika dengan orang lain adalah seseorang yang
mengakui dan menerima siapa dirinya, serta mengakui dan menerima sesamanya
sebagai diri yang lain.
Cikal bakal menjadi manusia bijak adalah
mengenal, menerima, dan mengakui diri serta sesama. Menerima dan mengakui
kebenaran tentang dirinya, serta menerima dan mengakui kebenaran tentang yang
lain merupakan karakter kuat dari pribadi yang bijaksana.
Mengenal diri bukan pertama-pertama
menyangkut pengetahuan biologis tentang diri, melainkan mengenal inti diri
terdalam, yakni jiwa.
Jiwa menjadi basis keberadaan yang paling
dalam dari setiap manusia. Kemurnian, kejujuran, dan ketulusan bertakhta dalam
jiwa. Karena itu, Socrates menyerukan setiap orang merawat jiwanya tetap suci,
murni, dan tidak bercela.
Kemurnian jiwa tersingkap dalam kejujuran,
ketulusan, penerimaan diri apa adanya, serta pencapaian dan kegagalannya. Orang
bijak tidak sibuk mempersalahkan orang lain ketika gagal.
Orang bijak merendahkan diri, rendah hati,
dan tidak arogan. Acuan sikap dan perilaku sosialnya bersumber kebenaran
tentang dirinya, maupun kebenaran objektif yang dihadapkan kepadanya.
Berbohong, angkuh, dan arogan adalah
sinyal kuat kegagalan mengenal, menerima, dan mengakui diri. Dari sikap seperti
itu, amat sulit muncul spirit kesatria untuk mengakui dan menghormati pribadi
lain dengan segala keunggulannya, yang melampaui dirinya.
Manusia bijak mencintai kebenaran kendati
itu melukainya. Itu karena ia percaya, ketika menerima kebenaran, jiwanya
tersembuhkan. Ia pun menjadi bebas. Bukankah kebenaran sungguh-sungguh
membebaskan, mengapa kita mengingkarinya?
diambil
dari tulisan 7 tahun lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar