Pak Emanius adalah kepala sekolah SMK Fatamorgana. Sudah satu dekade ia memimpin sekolah itu. Ia mempunyai seorang asisten, namanya Atikus. Banyak orang bingung dengan peran sdr. Atikus ini. Dikatakan bendahara sekolah juga bukan, karena sekolah sudah punya dua orang bendahara. Tapi dia suka menyibukkan diri dengan urusan uang. Dikatakan sekretaris sekolah juga bukan, karena sekolah sudah punya sekretarisnya. Tapi, kalau mau tanya soal arsip-arsip sekolah atau hal-hal berkaitan dengan administrasi sekolah, orang selalu bertanya kepada dia. Sekalipun tidak jelas tugas dan perannya, setiap bulan ia menerima gaji.
Sdr. Atikus benar-benar memiliki kuasa
yang besar, bahkan lebih besar dari wakil kepala sekolah. Dia bisa saja
mengatur guru-guru. Bahkan wakil kepala sekolah pun diaturnya. Dia benar-benar
tangan kanan kepala sekolah. Karena itu, kemana saja kepala sekolah pergi, dia
pasti ikut. Entah sudah berapa kali dia ikut mendampingi kepala sekolah pergi
ke luar kota, malah ke luar negeri juga. Sekalipun kepergian itu sama sekali
tidak ada kaitan dengan tugasnya. Yah itu tadi, tugasnya
memang tidak jelas. Tapi dia digaji.
Selama satu dekade memimpin sekolah itu,
wakil kepala sekolah sudah berganti sebanyak empat kali. Jabatan wakil kepala
sekolah keempat diduduki oleh Ibu Julia, yang terkenal sebagai orang yang
disiplin dan sangat cerewet. Namun kalah juga di hadapan sdr. Atikus, karena
dengan mudah dan seenaknya ia mengatur wakil kepala sekolah. Sdr. Atikus selalu
berkelit bahwa ini mandat kepala sekolah. Tentulah tak ada yang berani melawan
pimpinan.
Ibu Julia adalah tipe orang yang agak perfeksionis. Ia selalu ingin memperbaiki ketidak-beresan. Orang yang ingin memperbaiki ketidak-beresan, langkah pertama yang harus dilakukan adalah menemukan ketidak-beresan. Jika sudah mendapatkan ketidak-beresan, maka tugas selanjutnya adalah membuatnya menjadi beres. Inilah prinsip Ibu Julia. Setiap ada masalah, selalu ia menanganinya: mencari solusi dan menyelesaikannya. Dia tidak mau membiarkan waktu yang menyelesaikan masalah.
Karena itu, sejak kedatangannya di sekolah
itu, ia memperhatikan kehidupan sekolah. Dia melihat ada begitu banyak
ketidakberesan di sekolah, dimulai dari soal aturan-aturan, kebijakan-kebijakan
hingga masalah keuangan sekolah. Awalnya ia menyampaikan masalah itu ke kepala
sekolah, namun tidak ada reaksi. Maka dari itu, di setiap rapat atau pertemuan,
ia menyuarakan ketidakberesan itu.
Aksi Ibu Julia ini membuat banyak guru dan
murid bingung. Mereka sudah terbiasa hidup “adem-tentrem”,
menerima saja apa yang dikatakan kepala sekolah. Karena itu, mereka sedikit
merasa heran kenapa setiap kali pertemuan, wakil kepala sekolah dan kepala
sekolah selalu berseberangan atau beda pendapat. Hal ini dilihat mereka sebagai
sesuatu di luar kebiasaan.
Kepada beberapa guru dan murid, Ibu Julia
menyampaikan pemikirannya soal ketidakberesan yang terjadi di sekolah. Salah
satunya soal keuangan. Dia merasa heran, kenapa soal keuangan hanya diketahui
oleh kepala sekolah dan sdr. Atikus. Kenapa ketika orang lain ingin
mengetahuinya selalu dihalangi? Kenapa kepala sekolah tidak mau mengadakan
transparansi keuangan? Padahal transparansi itu merupakan wujud
pertanggungjawaban kepada guru, murid dan orang tua murid. Harap diingat bahwa
uang sekolah itu berasal dari murid, dan dipergunakan untuk kesejahteraan guru
dan perkembangan murid.
Mereka membenarkan pendapat Ibu Julia.
Mereka juga mengakui merasa aneh dengan kebiasaan sdr. Atikus yang sering pergi
mendampingi kepala sekolah ke luar kota, padahal itu bukanlah tugasnya. Mereka
bertanya duit transportasi itu dari mana? Hanya mereka tidak mau
menyampaikannya demi kebiasaan “adem-tentrem” di sekolah. Dan
mereka meminta agar Ibu Julia juga tenang-tenang saja – mengikuti kebiasaan selama
ini – tidak usah selalu sering beda pendapat dengan kepala sekolah. Nanti akan
menggangu kebiasaan “adem-tentrem”.
Jelas, Ibu Julia protes. Saya melihat
adanya ketidak-benaran, maka saya terpanggil untuk memperbaikinya supaya
menjadi benar. Koq malah diajak bersekutu dengan ketidak-benaran,
hanya demi sebuah kebiasaan “adem-tentrem”?, demikian
ungkapnya. Ada penyalahgunaan wewenang; ada pemerasan terselubung; ada korupsi,
dan ketidak-beresan lainnya. Masak dibiarkan saja?
Suatu hari, Ibu Julia menerima surat
mutasi dari Ketua Yayasan Alibius. Ia ditarik ke yayasan untuk tugas yang baru.
Ibu Juli menerima surat itu dengan tenang, meski dia sedikit agak prihatin
dengan nasib para guru dan murid. Siapa lagi yang akan memperjuangkan nasib
mereka, keluhnya. Maklum, soal keuangan yang sungguh misterius di sekolah itu,
bermakna bahwa murid dan guru diperas demi kepentingan segelintir orang saja.
Karena itu, sebelum berangkat, Ibu Julia sempat berdiskusi dengan beberapa orang
guru dan murid hanya sekedar memberi pencerahan.
Beberapa bulan setelah kepergiannya, Ibu
Julia menerima email dari seorang guru, yang bercerita bahwa sdr. Atikus
mengatakan bahwa sikapnya yang selalu berseberangan dengan kepala sekolah dulu
merupakan cermin sikap iri hatinya. Ibu Juli iri hati karena tidak seperti
kepala sekolah.
Membaca email itu, Ibu Julia hanya
tersenyum saja. Dengan tenang ia membalas email itu, katanya:
“Ini hanya usaha untuk menutupi masalah utama, yaitu
ketidakberesan di sekolah, khususnya masalah keuangan. Saya dikatakan iri hari
kepada kepala sekolah? Ahk, lucu! Saya sendiri tidak punya ambisi
untuk menjadi kepala sekolah. Saya juga tidak punya ambisi untuk memiliki
kekayaan dan kemewahan seperti kepala sekolah, apalagi memperolehnya dengan
cara tidak benar. Sama sekali saya tidak punya hasrat untuk iri hati atau
cemburu. Jadi, jelas sekali apa yang dikatakan sdr. Atikus adalah usaha untuk
menutupi masalah utama.
Bagi saya, menjadi guru saja sudah hebat. Dan itulah
panggilanku. Saya hanya tidak tahan melihat ketidakberesan atau ketidak-benaran
dalam sekolah. Saya tidak suka kita memaksa murid untuk bayar uang sekolah, di
mana uang sekolah itu seharusnya untuk kesejahteraan guru dan perkembangan
murid, malah disalah-gunakan untuk kepentingan segelintir orang. Saya tidak
senang dengan kebijakan yang merugikan murid hanya demi kesenangan pribadi. Dan
saya terpanggil untuk membenahinya. Itu saja. Semuanya demi kebaikan bersama,
bukan demi diri saya sendiri. Saya tak peduli kepala sekolah mau berkuasa lebih
lama lagi; asalkan yang benar.
Karena itu, saya merasa lucu jika sdr. Atikus
mengatakan kalau saya iri hati. Satu hal lain yang perlu disadari adalah apa
yang dilakukan oleh sdr. Atikus terhadap saya, itu juga yang dilakukannya
kepada wakil-wakil kepala sekolah yang terdahulu. Saya pernah mendengar
bagaimana ia menjelek-jelekkan wakil kepala sekolah sebelum saya. Pak Yodi dan
Ibu Yosie. Tujuannya adalah menumbuhkan kebencian kepada yang dijelekkan dan
membangkitkan simpati kepada kepala sekolah.
Rekanku, tetaplah setia pada kebenaran. Terus terang
saya takut, kalau suatu saat kepala sekolah diganti, sdr. Atikus akan
dikemanakan? Yang jelas, kalau mengikuti struktur baru yayasan, dia sama sekali
tidak punya jabatan. Entah kenapa kepala sekolah masih mempertahankan dia.
Padahal untuk itu, sekolah harus mengeluarkan uang untuk gajinya. Tanpa ada dia
pun sebenarnya tidak ada gangguan. Sebenarnya tugas dia itu bisa ditangani oleh
wakil kepala sekolah. Tapi persoalannya, apakah kepala sekolah mau dan siap
berbagi peran? Karena selama ini, semua tugas-tugas ditangani sendiri oleh
kepala sekolah. Single fighter. Serakah akan peran, sekalipun
banyak tugas yang terbengkelai. Yang menanggung resikonya adalah murid.
Semoga, kalian tetap setia memperjuangkan kebenaran.
Salam,
Ibu Julia”
Diambil dari tulisan 7 tahun lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar