Abid Ghoffar bin Aboe Dja'far, atau yang lebih dikenal dengan nama Ebiet G Ade, pernah menulis syair lagu dengan judul “Dengarkanlah Kata-Kataku”. Penggalan bait refreinnya, yang cukup menyentuh hati, berbunyi:
“Dengarkanlah dengan hatimu
Jangan engkau dengar dengan jiwa buta
Dengarkanlah kata-kataku
Jangan engkau melihat siapa aku”
Di sini Ebiet mau mengajak kita, para
pendengar, untuk mengubah pola pikir dalam melihat sesuatu yang ada di luar
diri kita. Misalnya soal kebenaran atau juga kebaikan. Bagi Ebiet, kebenaran
atau kebaikan itu bukan soal rasa: saya suka dan/atau tidak suka; bukan juga
soal kepentingan: di pihak saya dan/atau musuh saya.
Ebiet G Ade menghendaki agar kita menilai
sesuatu itu bukan dengan jiwa buta. Artinya, menilai sesuatu itu bukan didasari
pada diri sendiri: saya suka maka itu benar, baik dan bagus, sedangkan jika
saya tidak suka maka sesuatu itu tidak benar, tidak baik dan tidak bagus; jika
sesuatu itu ada di pihak saya maka ia itu benar, baik dan bagus, sedangkan jika
sesuatu itu “anti” saya maka ia itu tidak benar, tidak baik dan tidak bagus.
Ebiet G Ade menghendaki agar kita melihat
isinya, bukan pada kulitnya. “Dengarkanlah kata-kataku, jangan engkau melihat
siapa aku.” Dengan kata lain Ebiet G Ade ingin agar kita “jangan menilai buku
itu dari kulitnya.” Sekalipun kulit buku atau sampul buku itu tidak bagus dan
tidak menarik, belum tentu isinya juga tidak bagus dan tidak menarik.
Sebaliknya, belum menjadi jaminan bahwa sampul atau kulit yang menarik
menentukan isi buku yang menarik juga.
Legenda Rawa Pening
Ada seorang ada kecil bernama Baru
Klinting. Ia seorang bocah yang buruk rupa dan kudisan, akan tetapi ia memiliki
kesaktian. Suatu ketika ia memasuki sebuah perkampungan untuk meminta sedekah.
Melihat rupa dan tubuhnya, orang merasa jijik dan langsung mengusirnya.
Tak ada keluarga yang mau menerima dirinya
dan memberinya makan. Ia sampai pada rumah seorang janda sederhana bernama Mbok
Randa. Janda itu menerimanya dan memberinya makan. Beberapa hari ia tinggal di
rumah janda itu. Selama tinggal di rumah janda itu, ia coba bersosialisasi
dengan anak-anak lainnya. Namun penolakanlah yang selalu didapatinya, baik dari
anak-anak itu sendiri maupun dari orang tua anak-anak itu.
Suatu hari ia pergi ke pusat kampung untuk
menyaksikan pertunjukan. Di sana ia mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan.
Semuanya hanya karena rupanya yang buruk dan penuh kudisan pada tubuhnya.
Kepada penduduk itu ia memperingati bahwa
mala petaka akan terjadi di kampung ini. wujudnya banjir besar. Namun penduduk
tidak percaya. Ketidak-percayaan mereka tentulah dikaitkan juga dengan keadaan
fisiknya, apalagi dia itu seorang bocah kecil. Hanya janda miskin itu saja yang
percaya. Ia mempersiapkan perlengkapan yang dibutuhkan.
Baru Klinting membuat sayembara. Ia
menancapkan sebatang lidi di tanah, lalu menantang siapa saja yang bisa
mencabutnya. Awalnya anak-anak sebayanya maju mencoba. Namun tak satu pun dari
mereka yang berhasil. Kemudian muncullah yang dewasa dan para orang tua. Dan
mereka juga tidak berhasil. Akhirnya Baru Klinting maju dan mencabut lidi itu.
Dari lubang bekas tancapan lidi itu keluarlah air yang sangat deras. Air itu
tak mau berhenti sampai seluruh kampung tertutup oleh air. Semua penduduk
kampung itu mati tenggelap, karena mereka tidak mendengarkan peringatan Baru
Klinting. Hanya Mbok Randa saja yang selamat.
Jadilah Orang Arif nan Bijaksana
Nasehat Ebiet G Ade di atas bisa dipahami
sebagai ajakan untuk menjadi arif dan bijaksana. Orang yang arif dan bijaksana
adalah orang yang melihat suatu masalah tanpa berat sebelah atau memihak. Orang
yang bijaksana dapat mengambil sumber kebijaksanaannya dari mana dan dari siapa
saja, tanpa melihat latar belakang agama, ras, suku, status sosial dan status
lainnya.
Bagi orang yang arif dan bijaksana,
kebenaran dan kebaikan itu bisa datang dari mana saja dan dari siapa saja.
Kebenaran dan kebaikan itu dapat datang dari seorang tua nan bijak, bisa juga
dari seorang bocah ingusan; dari pejabat tinggi juga dari pengemis jalanan;
dari ulama juga dari penjahat atau bahkan pelacur; dari sahabat dan juga dari
yang bukan sahabat, bahkan musuh sekalipun.
Berkaitan dengan anak kecil, cerita di
atas mau menegaskan akan hal itu. Penduduk kampung itu tidak mau melihat
kebenaran atau nasehat baik dari Baru Klinting hanya karena dia itu seorang
bocah dan juga mukanya yang buruk serta kudisan. Orang-orang pada
menyepelekannya. Oleh karena itu, Yesus pernah menasehati para muridnya,
“Ingatlah, jangan menganggap rendah seorang dari anak-anak kecil ini.” (Matius
18: 10). Karena, bisa saja kebenaran dan kebaikan itu lahir dari mulut seorang
anak kecil.
Untuk itulah, dibutuhkan sikap dan
kemampuan menilai isi, bukan kulit. Kita diajak untuk lebih memprioritaskan
pada isinya dulu. Apakah isinya benar, baik dan berguna buat saya. Jika isinya
baik, benar dan berguna, maka sesuatu itu baik, sekalipun itu berasal dari
seorang anak kecil, kelompok musuh kita atau orang pendosa.
Suatu keprihatinan
Masih ada banyak manusia di dunia ini yang
memiliki sikap lebih mementingkan sampul-kulit daripada isinya. Ketika ada
suatu pernyataan, sekalipun pernyataan itu baik dan benar, orang akan
menyelidiki sumbernya atau orang yang mengeluarkan pernyataan itu. Jika
sumbernya itu berasal dari orang atau kelompok yang anti dengan kelompok saya,
maka saya menolak pernyataannya itu.
Ada orang yang memang mengutamakan sampul.
Berkaitan dengan suatu pernyataan, yang dimaksudkan dengan sampul di sini
adalah siapa orangnya, apa pangkat dan statusnya, apakah orang itu sealiran
dengan saya atau tidak (jika tidak, sudah pasti ditolak), dll. Orang-orang yang
lebih mengutamakan sampul akan berusaha melacak sumber dari pernyataan itu.
Mereka tidak melihat nilai kebenaran dan kebaikan dari pernyataan itu. Dan jika
dari hasil pelacakan terbukti bahwa pernyataan itu berasal dari orang yang
tidak sealiran dengannya dan sumbernya juga berasal dari kelompok yang tidak
sepaham dengan saya, maka pernyataan itu ditolak, sekalipun ada kebanaran dan
kebaikan di sana.
Jika kita perhatikan baik-baik, sebenarnya
yang ditolak adalah sumber atau orang yang mengeluarkan pernyataan itu. Dan
karena pernyataan itu melekat pada sumber atau orangnya, maka pernyataan itu
juga ditolak. Artinya, orang-orang ini menilai buku dari sampulnya. Jika sampulnya
bagus dan menarik maka kesimpulannya isi buku itu bagus dan menarik.
Berkaitan dengan sikap seperti ini, Yesus
menasehati para muridnya untuk tidak seperti itu. Artinya, jangan melihat dan
menilai segala sesuatu itu dari sampulnyanya. Injil Lukas menceritakan kisah
itu: “Yohanes berkata: ‘Guru, kami lihat seorang mengusir setan demi nama-Mu,
lalu kami cegah orang itu, karena ia bukan pengikut kita.’ Yesus berkata
kepadanya: ‘Jangan kamu cegah, sebab barangsiapa tidak melawan kamu, ia ada di
pihak kamu.’"
Nasehat Bijak
Menutup tulisan sederhana ini, saya mau
menyampaikan sebuah pernyataan bijak: “Emas adalah tetap emas sekalipun keluar
dari mulut babi.”
diambil dari tulisan 8 tahun lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar