Kaul kemiskinan merupakan
satu dari tiga kaul yang diucapkan oleh mereka yang ditahbiskan menjadi imam
serta mereka yang mengikatkan dirinya pada suatu Lembaga Hidup Bakti. Istilah
kaul lebih sering digunakan untuk biarawan dan biarawati, yang masuk dalam Lembaga
Hidup Bakti, sedangkan istilah janji dipakai untuk imam non Lembaga Hidup Bakti
atau imam diosesan. Dalam tulisan permenungan ini istilah yang dipakai cuma
“kaul” saja, namun bukan lantas berarti tulisan ini hanya ditujukan pada
anggota Hidup Bakti. Dengan penyebutan atau penulisan kata “kaul” berarti
termaksud juga istilah “janji”.
Di atas sudah dikatakan
bahwa kaul kemiskinan ini merupakan salah satu dari tiga kaul. Ketiga kaul itu
adalah kemiskinan, kemurnian (selibat) dan ketaatan. Ketiga kaul ini termasuk
tiga nasehat Injil, dengan catatan dilakukan demi kerajaan Allah. Tiga nasehat
Injil ini didasarkan pada sabda dan teladan Tuhan dan dianjurkan oleh para
Rasul, para Bapa-bapa Gereja. Maka nasehat-nasehat itu merupakan kurnia ilahi,
yang oleh Gereja diterima dari Tuhan dan selalu dipelihara dengan bantuan
rahmat-Nya demi tercapainya cinta kasih sempurna. (Lumen Gentium no
43, Perfectae
Caritatis no 1).
Memang dewasa ini tiga
nasehat Injil ini identik dengan kaum religius dan para imam (klerikus). Namun
bukan berarti bahwa ketiga nasehat Injil ini hanya khusus untuk mereka. Umat beriman
kristiani juga wajib menghayatinya (bdk. LG, no 44). Malah
bisa dikatakan bahwa penghayatan nasehat-nasehat Injil sebagai wujud mengikuti
Kristus muncul pertama kali dalam diri kaum awam (bdk. PC no 1).
Namun, baik awam maupun bukan, Lumen Gentium menasehati
agar “setiap orang yang dipanggil untuk mengikrarkan nasehat-nasehat Injil
sungguh-sungguh berusaha, supaya ia bertahan dan semakin maju dalam panggilan
yang diterimanya dari Allah, demi makin suburnya kesucian Gereja, supaya makin
dimuliakanlah Tritunggal yang satu tak terbagi, yang dalam Kristus dan dengan
perantaraan Kristus menjadi sumber dan asal segala kesucian.” (no. 47).
Dalam permenungan ini kita
hanya fokus melihat kaul kemiskinan. Di sini saya ingin membagikan sedikit
permenungan tentang “perjalanan” kaul kemiskinan itu. Dikatakan “perjalanan”
karena ada perubahan dalam penghayatan kaul tersebut dulu dan kini. Uraian ini
murni sebuah permenungan, bukan ulasan sejarah. Bukanlah maksud saya untuk
mencela atau menyalahkan penghayatan kaul kemiskinan dewasa ini. Dan bukan juga
tujuan saya untuk mencari pembenaran atas penghayatan kaul kemiskinan ini.
Benar salahnya penghayatan kaul ini berpulang pada masing-masing individu.
Kaul
Kemiskinan: Dulu dan Kini
Dulu, ketika pertama kali
diterapkan, orang yang mengucapkan atau menghayati kaul kemiskinan benar-benar
miskin. Kita bisa lihat dalam sosok Petrus Valdus, Fransiskus Asisi yang
diikuti kelompok Fraticelli, salah
satu cabang Ordo Fransiskan (lih. Eddy Kristiyanto, OFM, Selilit Sang Nabi,
2007: 12, 109). Mereka menggantungkan hidupnya pada belas kasih Allah, baik
langsung maupun dalam diri sesamanya. Karena itu, mereka yang berkaul
kemiskinan umumnya tidak memiliki apa-apa.
Dalam perkembangan
berikutnya, kaul kemiskinan ini berubah makna menjadi kaul kesederhanaan. Kaul
yang diucapkan atau diikrarkan adalah kemiskinan, namun penghayatannya adalah
kesederhanaan. Orang yang mengikrarkan kaul kemiskinan ini masih diperkenankan
memiliki barang atau harta kekayaan asal jangan sampai menyamai atau melebihi
umat awam yang dilayaninya. Misalnya,
kalau umat di wilayah paroki banyak yang mempunyai mobil, maka imam atau
biarawan dan biarawati yang ada di wilayah paroki itu cukuplah dengan memiliki
motor dengan nilai yang tidak mengalahkan nilai nominal mobil umat. Kalau umat
umumnya punya parabola, maka kaum klerikus dan biarawan/wati cukup dengan
antena biasa saja. Di situlah letak penghayatan kaul kemiskinannnya.
Dalam perjalanan sejarah
kemudian kaul kemiskinan (kesederhanaan) ini mengalami pergeseran nilai. Orang
yang mengucapkan kaul kemiskinan ini tidak lagi menekankan “miskin” atau
“sederhana”-nya, melainkan pada “ketidakbergantungan”. Artinya, orang boleh
saja punya mobil, HP super canggih dan barang-barang elektronik lainnya yang
super canggih dan super mahal, yang penting hatinya tidak bergantung pada
benda/materi itu. Tak peduli apakah umat sudah memilikinya atau belum. Jadi,
pada titik ini seorang imam, bruder dan suster sah-sah saja memiliki smartphone canggih
dan mahal meski umatnya masih pakai HP biasa; wajar-wajar saja kalau melihat
seorang imam memegang sebuah tablet meski
umatnya masih memakai komputer PC. Kalau
ditanya kenapa punya barang-barang itu padahal mengikrarkan kaul kemiskinan,
dengan santai pasti dijawab, “Yang penting tidak bergantung dan tergantung pada
barang tersebut.” Dan inilah yang terjadi dewasa kini.
Penutup
Dalam dokumen resmi Gereja
dikatakan bahwa sejak awal mula Gereja mengamalkan nasehat-nasehat Injil dengan
maksud mengikuti Kristus secara lebih bebas, dan meneladan-Nya dengan lebih
setia. Dengan cara mereka masing-masing mereka menghayati hidup yang dibaktikan
kepada Allah. Di antara mereka banyaklah yang atas dorongan Roh Kudus hidup
menyendiri atau mendirikan biara (bdk PC no 1).
Artinya, tiga nasehat Injil itu merupakan bagian dari hidup Yesus yang mempesona
orang sehingga mereka pun menerapkannya dalam hidupnya.
Dalam perjalanan sejarah
manusia muncullah manusia-manusia dengan tingkat peniruan yang nyaris sempurna.
Mereka benar-benar menghayati nasehat Injil itu. Dan waktu itu giliran mereka
yang menjadi contoh. Pada mereka orang menemukan teladan Kristus. Karena itu
banyak orang menjadi tertarik dengan gaya hidup mereka. Kita kenal Santo
Norbertus. Hidupnya yang miskin, saleh dan bersemangat rasul itu menarik banyak
murid kepadanya (Mgr. Nicolaas M Schneiders, CICM, Orang Kudus Sepanjang
Tahun, 2008: 282).
Bagaimana dengan masa kini?
Apakah anak-anak muda merasa tertarik menjadi imam, suster dan bruder karena
“kemiskinan”-nya atau “gaya” hidup miskinnya?
diambil dari tulisan 8 tahun lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar