HARI ini Gereja Katolik merayakan Hari
Raya Santa Maria Bunda Allah. Setiap tanggal 1 Januari Gereja Katolik
merayakannya. Perayaan ini dapat dilihat sebagai bentuk penghormatan umat
katolik kepada Bunda Maria, yang adalah ibu Yesus Kristus. Banyak orang sinis
terhadap gelar ini. Bukankah Maria itu manusia biasa. Kenapa dia disebut Bunda
Allah? Orang menilai bahwa dengan gelar tersebut maka Maria dilihat sebagai
Allah. Hal ini identik dengan menyekutukan Allah, yang merupakan dosa besar. Dan
ada pula yang menyamakan Roh Kudus dengan Bunda Maria.
Memahami Maria sebagai Bunda Allah tak
bisa dipisahkan dari Yesus Kristus. Untuk mengerti gelar “Bunda Allah”,
pertama-tama kita harus mengerti dengan jelas siapa Yesus, yang dikandung dan
dilahirkan oleh Maria. Jadi, yang ada dalam rahim Maria selama kurang lebih 9
bulan adalah Yesus Kristus.
Injil sudah mengatakan bahwa Maria
mengandung dari kuasa Roh Kudus (lih. Luk 1: 26 – 38 dan Mat 1: 18 – 25). Dan
yang dikandung adalah Yesus Kristus. Dengan kata lain, Yesus Kristus, yang
dikandung dalam rahim Maria, berasal dari Roh Kudus. Dari sini pemahaman kita
akan beralih dari siapa Yesus kepada peran Maria sebagai Bunda Yesus Kristus.
Sebagai orang katolik, kita
sungguh-sungguh yakin bahwa Yesus adalah sungguh Allah dan sungguh manusia.
Melalui Maria, Yesus Kristus, yang adalah “pribadi” kedua dari Tritunggal
Mahakudus, memasuki dunia ini dengan mengenakan daging manusia dan jiwa
manusia. Jadi, dalam rahim Maria bersemayam Allah yang sekaligus juga manusia,
yang kelak akan diberi nama Yesus. Namun kehamilan itu tidak mengubah
kemanusiaan Maria menjadi ilahi. Maria tetaplah manusia biasa, tapi memiliki
keistimewaan.
Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi? Bukankah Allah itu mahakudus, sementara Maria sebagai manusia biasa? Bagi manusia hal ini tentulah tidak mungkin, namun tidak demikian bagi Allah. Bagi Allah tidak ada yang mustahil (Luk 1: 37; bdk. Yer 32: 17, 27).
Gelar “Bunda Allah” yang melekat pada Maria sudah menjadi keyakinan umat sejak Gereja Perdana. Santo Yohanes Krisostomus (wafat tahun 404), misalnya, mengubah dalam Doa Syukur Agung Misanya, suatu madah untuk menghormati Bunda Maria. “Sungguh, semata-mata guna memaklumkan bahwa engkau terberkati, ya Bunda Allah, yang paling terberkati, yang sepenuhnya murni dan Bunda Allah kami. Kami mengagungkan engkau yang lebih terhormat daripada kerubim dan lebih mulia secara tak bertara daripada seraphim. Engkau, yang tanpa kehilangan keperawananmu, melahirkan Sabda Tuhan. Engkau yang adalah sungguh Bunda Allah.”
Santo Gregorius Naziansa, yang hidup akhir abad IV, menyatakan bahwa barangsiapa tidak percaya bahwa Bunda Maria adalah Bunda Allah, maka ia adalah orang asing bagi Allah. Sebab Bunda Maria bukan semata-mata saluran, melainkan Kristus sungguh-sungguh terbentuk di dalam rahim Maria secara ilahi, namun juga manusiawi.
Namun demikian, gelar “Bunda Allah” ini mendapat tantangan yang cukup berat. Tantangan itu, yang muncul pada abad kelima, diprakarsai oleh Uskup Konstantinopel bernama Nestorius (428 – 431). Nestorius menyatakan bahwa Maria bukan Bunda Allah, melainkan sekedar Bunda Kristus, Yesus yang manusia. Di sini Nestorius memisahkan kodrat ilahi dan manusia Yesus. Dalam pemahaman Nestorius, yang ada dalam rahim Maria hanyalah Yesus yang manusia. Akar dari penolakan ini adalah penyangkalan akan misteri inkarnasi.
Pemikiran Nestorius langsung mendapat perlawanan. Santo Sirilus, Uskup Alexandria mengatakan, “Bunda Maria, Bunda Allah…, bait Allah yang kudus, yang di dalamnya Tuhan sendiri dikandung… Sebab jika Tuhan Yesus adalah Allah, bagaimanakah mungkin Bunda Maria yang mengandung-Nya tidak disebut sebagai Bunda Allah?” Di sini mau dikatakan bahwa gelar “Bunda Allah” merupakan konsekuensi logis dari perkandungan Yesus, yang adalah juga Allah.
Pada 22 Juni 431, Konsili Efesus bersidang untuk menyelesaikan persoalan ini. Konsili memaklumkan bahwa Yesus adalah satu pribadi ilahi dengan dua kodrat, yaitu manusia dan Allah. Hal ini seperti dicatat dalam Injil Yohanes, “Sabda itu telah menjadi manusia dan diam di antara kita.” (1: 14). Konsili juga menegaskan bahwa Bunda Maria dapat secara tepat digelari Bunda Allah; Maria bukanlah Bunda Allah Bapa atau Bunda Allah Roh Kudus, melainkan Bunda Allah Putra, yakni Yesus Kristus, yang sungguh Allah sejak kekekalan, yang masuk ke dalam dunia ini dengan menjadi sungguh manusia.
Karena Nestorius tetap pada pendiriannya, maka Konsili menetapkannya sebagai bidaah. Pemikiran Nestorius ini berkembang menjadi aliran sesat yang dikenal dengan sebutan Nestorianisme. Konon pengaruh ajaran Nestorian cukup berkembang di tanah Arab dan Timur Tengah pada abad V – VII, sebagai konsekuensi pengusiran Nestorius oleh Kaisar Theodosius.
Sekalipun Maria sebagai Bunda Allah sudah diyakini umat sejak Gereja Perdana, namun penetapannya sebagai Hari Raya baru dilakukan pada masa Paus Pius XI (1922 – 1939). Ini bertepatan dengan peringatan ulangtahun ke-1500 Konsili Efesus, yang membahas gelar Maria itu. Dengan merayakan Bunda Maria sebagai Bunda Allah, kita diajak untuk mengakui Yesus sebagai “sungguh-sungguh Allah dan sungguh-sungguh Manusia.” Kemuliaan Maria sebagai Bunda Allah adalah cermin kemuliaan anaknya, yaitu Yesus, Tuhan dan Penebus umat manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar