Seorang
anak kecil (8 tahun) ingin memberikan hadiah ulang tahun untuk ayahnya. Dia
tahu kalau ayahnya suka topi. Maka si anak ini, sepulang sekolah, mampir ke
toko yang menjual aneka jenis topi. Dia coba pasang ke kepalanya dari satu topi
ke topi lain sambil melihat diri di cermin. Akhirnya ia menemukan topi yang
pas. Dia minta penjual untuk membungkusnya dengan kertas kado.
Pada
saat ulang tahun ayahnya, dia menyerahkan kado itu. Ia meminta ayahnya untuk
segera membukanya. Ayahnya tersenyum setelah mengetahui kado itu. Si bocah
meminta ayahnya untuk memakainya, karena ia ingin melihatnya. Ternyata topi itu
kecil. Tidak pas dengan kepala ayahnya.
“Ah,
tak mungkin!” Ujar anak kecil itu. “Kemarin aku coba pas koq.”
“Itu
kepalamu,” jelas mamanya.
“Berarti
kepala ayah yang salah.”
Demikian
sekilas cerita. Si anak memaksakan ukurannya kepada orang lain, sehingga jika
ukurannya tidak pas dengan orang lain, maka kesalahan ada pada orang lain.
Berawal
dari Sebuah Komentar
Suatu
hari, tanpa sengaja saya membuka sebuah situs internet. Ketika melihat isi
situs tersebut, saya langsung berkata dalam hati bahwa isi situs itu banyak
kebohongannya. Namun bukan isi situs itu yang menarik perhatian saya sehingga
melahirkan tulisan ini, melainkan pada sebuah komentar.
Ada
sebuah komentar, yang ditulis oleh Otori Mitsuke. Mungkin ini nama samaran, dan
saya sama sekali tidak tertarik membahas siapa komentatornya. Saya tertarik
pada komentarnya, karena saya penganut azas “Don’t judge the book
by its cover.” Saya juga pengagum Ebiet G Ade, yang pernah berkata
lewat syair lagunya, “Dengarkanlah
kata-kataku. Jangan engkau melihat, siapa aku." Karena itulah,
saya tidak tertarik membahas siapa itu Otori Mitsuke, melainkan pernyataannya.
Komentar
itu memang ditulis oleh satu orang atas nama Otori Mitsuke. Namun saya dapat
memastikan bahwa itu bukan hanya pendapat Mitsuke semata, melainkan pendapat
umum umat muslim. Karena sering juga saya menemukan pendapat senada dengan
komentar Mitsuke, baik itu dari kalangan awam biasa maupun ulama.
Agar
jelasnya, saya akan kutip komentar itu. Dan demi Bahasa Indonesia yang baik dan
benar, saya mengedit tulisan tersebut tanpa menghilangkan pesannya sedikitpun.
Pesan komentator itu adalah sebagai berikut:
“Al-Qur’an
terjaga keasliannya, sebagaimana janji Allah. Kalau tidak percaya, coba kalian:
1.
Palsukan Al-qur’an dan kalian terbitkan Al-Qur’an itu ke seluruh Indonesia dan
semua toko buku.
2.
Kalian palsukan Injil dan kalian terbitkan Injil itu ke seluruh Indonesia dan
semua toko buku.
Dan
kalian bakal mendapatkan efek yang teramat sangat jauh berbeda dari kedua hal
yang kalian lakukan, yaitu:
1.
Kalau kalian palsukan Al-Qur’an, kalian pasti akan diprotes besar-besaran,
didemo, diburu polisi dan masuk tv…..masuk penjara
2. Kalau
kalian palsukan Injil, kalian pasti tidak kenapa-napa, tak ada protes
besar-besaran, karena Injil sekarang memang sudah dipalsui…. Injil
sekarang berbeda dengan jamannya nabi Isa a.s…. masih original.” (lih: http://kesalahanquran.wordpress.com/2011/11/11/kumpulan-kesaksian-para-murtadin-islam/)
Sebuah
Kebenaran
Saya
harus jujur mengatakan bahwa apa yang dikatakan Otori Mitsuke tidak sepenuhnya
salah. Ada kebenaran di dalam pernyataannya. Kebenarannya adalah bahwa jika
Al-Quran dipalsukan lalu disebarluaskan, maka akan timbul reaksi besar pada
umat islam: marah, protes dan (bahkan) melakukan tindakan anarkis lainnya. Ini
adalah fakta. Jadi, kebenaran pernyataan Mitsuke itu didasarkan pada fakta.
Bisa
dikatakan bahwa pendapat Misuke ini mewakili pendapat umum umat islam, karena
ada banyak ditemui orang islam yang berpikiran demikian. Bukan hanya kalangan
awam saja, tetapi juga orang yang dapat dikatakan ahli dalam agama pun
menyatakan demikian. Dan dengan cara pandang seperti itu maka mereka
berkesimpulan bahwa Kitab Suci orang kristen sudah dipalsukan.
Jadi,
tolok ukur kebenaran dan keaslian sebuah naskah Kitab Suci ditentukan pada ada
tidaknya amarah, demo dan pemenjaraan pelaku pemalsuan. Semakin kuat amarahnya,
semakin besar demonya, sehingga benar-benar menimbulkan ketakutan pada orang
yang memalsukannya, maka semakin benar dan aslilah naskah itu. Singkatnya,
kebenaran dan keaslian itu adalah urusan selera.
Injil
Dipalsukan?
Terlihat
jelas bahwa sdr. Mitsuke, atau umat muslim pada umumnya, memaksakan cara
pandang mereka kepada keaslian Injil. Pola pikir ini sama seperti cara pandang
anak kecil dalam cerita kita di atas. Karena tidak pas, ia berkata bahwa kepala
ayahnya yang salah. Maka pertanyaan kita sekarang, apa yang menjadi tolok ukur
keaslian Injil?
Untuk
menguji keaslian sesuatu, kita membutuhkan pembanding yang juga sama dengan
sesuatu itu. Pembanding inilah yang menjadi tolok ukurnya, bukan soal selera.
Misalnya, untuk menguji keaslian emas, kita harus punya pembandingnya. Emas
yang kita uji itu kita bandingkan dengan emas murni sebagai pembandingnya; jika
sama maka emas yang diuji itu asli. Jadi, bukan karena saya suka, maka emas itu
asli.
Sekedar
contoh, saya ambil dari masalah eksorsis. Ada
film yang mengisahkan tentang eksorsis dengan judul “The Rite”.
Dikatakan bahwa film ini didasarkan dari kisah nyata yang ditulis dalam buku
dengan judul “Ritual Pengusiran Setan: Pencarian keyakinan seorang eksorsis di
zaman modern” karya Matt Baglio. Dari sini satu kesimpulan adalah buku lebih
dahulu dibuat daripada film. Jika kita sudah membaca bukunya, lalu
membandingkan filmya, kita akan menemukan perbedaan kontras. Pertanyaan: mana
kisah yang asli?
Kalau
hanya berdasarkan selera, mungkin orang mengatakan filmlah yang asli. Tapi
kalau dibuat pembandingan, kita akan menemukan bahwa film itu telah berbohong.
Buku mendekati kebenaran karena ia langsung dari sumber utama, sedangkan film
yang dibuat jauh setelah buku diterbitkan, sangat jauh dari sumber utama. Film
hanya mendasarkan kisahnya pada buku, sementara kisah di film sama sekali tidak
sesuai dengan apa yang ada di buku.
Demikianlah
dengan Injil. Sebenarnya ada banyak kitab yang disebut ‘injil’. Umumnya
diketahui ada sekitar 20 injil. Dari ke-20 kita injil itu, Gereja hanya
mengakui 4, yaitu Matius, Markus, Lukas dan Yohanes. Alasannya, penulisnya
tidak jauh dari sumbernya. Misalnya, Injil Matius dan Yohanes diyakini ditulis
oleh Rasul Matius dan Yohanes; sedangkan Injil Markus dan Lukas ditulis oleh
murid rasul Yesus (Markus, murid rasul Petrus; dan Lukas, murid rasul Paulus).
Jika membandingkan keempat tulisan Injil itu terdapat kesamaan pesan.
Hal
ini berbeda dengan injil-injil lainnya. Sekalipun memakai nama rasul (misalnya,
injil Petrus, injil Thomas, injil Filipus, injil Yudas dan injil Keduabelas
rasul), sangat diragukan keasliannya. Ini dapat dilihat dari tahun penulisan
serta bahasa dan gaya penulisan. Misalnya, injil Petrus. Memang ia memakai nama
Petrus, salah satu rasul Yesus. Namun, jika ditelaah, terdapat perbedaan
mencolok soal gaya penulisan antara surat-surat Petrus dengan injil Petrus itu;
pesannya juga bertolak belakang. Isi surat Petrus masih sejalan dengan keempat
Injil yang diakui Gereja, juga dengan surat-surat lain yang diakui Gereja. Dari
sinilah akhirnya Gereja berkesimpulan bahwa injil Petrus, sekalipun memakai
nama Rasul Petrus, adalah palsu.
Selain
itu, keberadaan keempat Injil itu sudah diakui oleh Bapa-bapa Gereja yang hidup
di abad-abad awal, seperti Papias, St. Hieronimus, St. Irenaeus, Origenes dan
Eusabeus. Mereka hidup antara tahun 150 – 250. Kesaksian mereka memberi
peneguhan atas keaslian keempat Injil, yang berbeda dengan injil lainnya. Ini
bisa terjadi karena Gereja tidak memusnahkan karya-karya lainnya yang
bertentangan dengan keempat Injil. Dengan ini orang bisa menguji keasliannya
dengan cara membandingkan dan dengan cara lainnya.
Jadi,
keaslian Injil tidak ditentukan oleh selera atau ada-tidaknya aksi demo yang
bisa berujung pada tindak anarkis. Keaslian Injil ditentukan oleh naskah lain
sebagai pembanding. Ada banyak syarat yang harus dipenuhi. Salah satunya adalah
tahun penulisan. Seorang sejarahwan, ketika hendak menulis sebuah naskah
sejarah, ia akan mencari sumber buku yang tahun penulisannya mendekati
peristiwa sejarah yang akan ditulisnya.
Kenapa
umat kristen diam saja? Mungkin orang kristen sudah bisa membedakan mana yang
asli dan tidak. Atau mungkin karena tidak ada pendasaran dalam Injil untuk
marah atau melakukan tindak kekerasan demi membela kebenaran. Bukankah Injil
memerintahkan pengikut Kristus untuk berlaku kasih, bahkan kepada mereka yang
menghina, mencela, memfitnah atau memusuhi?
Kesimpulan
Dari
uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa cara pandang orang islam dan kristen
tentang keotentikan Kitab Sucinya berbeda. Bagi orang islam pembuktian
kebenaran dan keaslian ditentukan dari tingkat kemarahan, demo dan tindak
kekerasan. Sedangkan bagi orang kristen, keotentikan itu ditentukan dengan cara
ilmiah. Hendaknya masing-masing pihak tidak boleh memaksakan cara pandangnya
kepada pihak lain. Hal itu ibarat jika sang ayah membeli topi dengan ukuran
kepalanya, lalu memaksakan ke kepala anaknya. Jelas sangat tidak pas. Dan bukan
lantas berarti kepala anak yang salah.
Jadi,
jika umat islam memaksakan cara pandangnya soal Kitab Suci orang kristen, sudah
tentu ia akan berkata bahwa Kitab Suci orang kristen sudah dipalsukan. Hal yang
sama juga terjadi, jika umat kristen menggunakan cara pandangnya. Namun, belum
pernah terdengar orang kristen menyatakan hal itu. Orang kristen hanya bisa
memahami cara pandang orang islam, yaitu bahwa soal keotentikan Al-Quran
ditentukan oleh kemarahan, demo dan tuntutan penjara. Karena itulah, demi
amannya, orang lebih memilih diam saja.
Oleh
karena itu, janganlah memaksakan cara pandang kita tentang keaslian Kitab Suci
kita kepada Kitab Suci orang lain. Janganlah kita berkesimpulan bahwa Kitab
Suci orang lain itu salah atau palsu jika ia tidak sesuai dengan cara pandang
kita.
Standar menyembah berhala:
BalasHapusOrang kristen dituduh menyembah salib,
tetapi apabila salib/gereja dipenggal, dibakar atau dihancurkan. Orang kristen santai-santai saja karena tau mereka bukan menyembah salib, mereka menyembah Tuhan.
Coba kalau tempat ibadah atau kotak hitam atau bukunya kenapa-napa, anjing numpang lewat saja sudah marah-marah.
Jadi yang disembah orang muslim itu apa? Tuhan, buku, bangunan atau nabinya?
Terima kasih tanggapannya. Logika Anda sangat dalam. Saya yakin sulit untuk dicerna kebanyakan orang.
Hapus