Korupsi sudah merajalela
merasuki sendi-sendi kehidupan masyarakat. Ia menjadi budaya, yang tak bisa
lepas dari kehidupan manusia. Karena itu, tak heran ketika mendengar pengakuan
Paus Fransiskus bahwa ada korupsi di Vatikan. Saat jumpa pers dalam penerbangan
pulangnya dari kunjungan ke Jepang menuju Roma pada 26 November 2019, Paus
Fransiskus menegaskan hal tersebut.
Mungkin sebagian umat
mengatakan bahwa mustahil ada korupsi di Vatikan atau Gereja, karena uskup dan
imam sudah mengikrarkan janji kemiskinan yang menjauhkan mereka dari kemewahan harta
kekayaan. Janji kemiskinan membuat mereka dapat melawan godaan korupsi.
Namun pernyataan Paus Fransiskus tersebut bisa menjadi bahan refleksi umat
untuk menyadari bahwa tak ada yang kebal terhadap godaan uang. Bukan bermaksud menuduh,
tapi kita harus berangkat dari asumsi dasar bahwa uskup dan imam itu adalah
manusia; dan setiap manusia rentan terhadap godaan uang. Dari asumsi ini dapatlah
disimpulkan bahwa korupsi bisa juga dilakukan oleh para pejabat Gereja itu.
Artinya, budaya korupsi dapat juga merasuki Gereja.
Bagaimana praktek korupsi
dilakukan di Gereja? Inilah yang hendak dipaparkan dalam tulisan ini. Dalam
tulisan ini, Gereja yang dimaksud adalah paroki, dan saya, sebagai pastor
paroki, adalah pelakunya. Karena itu, pertanyaannya adalah bagaimana saya
mengorupsi uang paroki?
Yang pertama sekali
saya lakukan adalah membuat sistem keuangan tertutup dan tunggal. Artinya,
keuangan paroki hanya diatur dan diketahui oleh saya. Bendahara paroki hanya
membuatkan pembukuaannya. Dewan Pengelola Harta Benda Paroki (DPHBP) dan pastor
pembantu pun tidak tahu. Mereka baru diberitahu pada laporan akhir tahun dalam
rapat DPHBP pleno. Tentulah mereka tidak akan mengetahui secara detail
data-data keuangan selama satu tahun, karena yang saya berikan hanyalah laporan
rekapitulasinya.
Untuk menguatkan sistem ini
saya akan mengatakan kepada umat kutipan Injil, “Janganlah diketahui tangan
kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu.” (Matius 6: 3). Dengan pernyataan ini
umat pun tidak akan berusaha untuk mencari-cari tahu soal keuangan. Selain itu
mereka sudah PERCAYA bahwa semua pastor itu BAIK, karena itu tak mungkin pastor
akan mencuri uang Gereja.
Dengan sistem ini, saya akan
dengan leluasa mengambil uang paroki. Uang kolekte hari Minggu (misa Sabtu sore
dan Minggu pagi) sesekali saya catut. Sekalipun diumumkan minggu berikutnya,
saya yakin tak ada umat yang tahu kalau uang kolekte sudah dicatut. Misalnya, uang
kolekte misa Sabtu sore tercatat Rp 1.525.000. Saya ambil Rp 300.000, sehingga
minggu depan diumumkan bahwa kolekte misa Sabtu sore sebesar Rp 1.225.000.
Pasti tidak ada umat yang tahu, bahkan termasuk petugas penghitung dan pencatat
kolekte, karena mereka tidak memiliki pegangan.
Demikian pula dengan kolekte
misa harian. Uang kolekte misa harian di kelompok-kelompok saya ambil sekian
persen. Umat dan pastor pembantu yang pimpin misa tidak akan tahu, karena
setelah misa uang kolekte itu langsung diserahkan kepada saya. Hal yang sama
juga dengan iura stole atau stipendium. Yang ini
paling enak, karena uangnya ada dalam amplop yang tidak diketahui nominalnya,
kecuali oleh saya. Jadi, semakin besar nominalnya, semakin besar juga
potongannya.
Selain sumber di atas, saya
juga masih memiliki sumber lain. Setiap misa hari Minggu, selalu ada pemasukan
dari parkiran. Uang tersebut disetorkan kepada saya. Nah, inipun saya sunat
sekian persen. Para juru parkir itu tak akan tahu kalau uang parkir saya catut
karena mereka tidak membuat pembukuan. Di samping itu mereka percaya bahwa
pastor itu BAIK. Mereka percaya bahwa uang parkir yang mereka serahkan akan
digunakan untuk kepentingan pelayanan pastoral. Artinya, mereka percaya uang
parkir tidak akan disalahgunakan pastor.
Terkadang juga saya mendapat
sumbangan dari para donatur. Malah ada donatur yang agak rutin memberikan
sumbangan. Mereka ini umumnya memiliki kepercayaan bahwa setiap pastor itu
BAIK, sehingga mereka hanya memberi saja tanpa ada surat tanda terima. Bukankah
Injil sudah menasehati “Janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat
tangan kananmu.”? Maka terhadap sumbangan ini, saya selalu menyambutnya dengan
gembira dan kepada mereka saya akan bersikap ramah. Tentulah, kepada bendahara
paroki saya hanya menyampaikan nominal yang sudah saya catut. Misalnya, jika
saya terima 15 juta, maka saya sampaikan 10 juta. Hanya saya yang tahu.
Cara kedua adalah
dengan mark-up. Saya selalu membuat mark-up biaya,
baik biaya belanja barang maupun biaya perjalanan dinas. Kan soal
keuangan hanya saya saja yang tahu. Misalnya biaya perjalanan dinas keluar
kota. Jika perjalanan dinas ke wilayah A normalnya menghabiskan biaya 150 ribu,
maka saya akan mengeluarkan biaya sebesar 350 ribu. Pencatatan di buku kas
adalah saat uang dikeluarkan, yaitu 350 ribu. Maka, saya sudah mengambil uang
paroki setiap pelayanan ke wilayah A sebesar 200 ribu. Demikian pula nanti
kalau yang pergi itu adalah pastor pembantu. Saya akan mengeluarkan biaya
perjalanan 350 ribu. Kalau pastor pembantu itu “bodoh” pastilah ia akan
mengembalikan sisa uang 200 ribu; dan itu merupakan rezeki buat saya karena di
buku kas sudah dicatat uang keluar sebesar 350 ribu. Kalau pastor pembantunya
“pintar” sehingga ia menghabiskan semua uang itu, maka dia akan jarang saya
tugaskan ke luar kota.
Cara ketiga adalah komisi
atau proyek. Di sini saya akan membuat banyak proyek yang darinya saya akan
mendapatkan komisi. Misalnya, pembangunan gereja/kapela/pastoran atau renovasi
gedung gereja/kapela/pastoran. Saya akan menghubungi kontraktor yang saya
kenal. Sekalipun nanti akan diadakan tender, tetap saja kontraktor saya yang
menang. Bukankah sebagai pastor kepala paroki saya mempunyai pengaruh yang
besar? Dari kemenangan ini pastilah ia akan memberikan kepada saya sejumlah
upeti sebagai ungkapan terima kasih. Tentulah ucapan terima kasih ini tak
diberikan secara terbuka, melainkan secara sembunyi-sembunyi; hanya dia dan
saya yang tahu. Soal kualitas bangunan nantinya baik atau tidak, itu bukan
urusan saya. Siapa tahu saya sudah tidak di paroki itu lagi. Jadi, itu urusan
pastor pengganti saya.
Jika tidak ada gedung yang
dibangun baru atau direnovasi, maka saya akan mengadakan proyek pembinaan umat.
Saya akan mengajukan proposal ke dana APP keuskupan, ke DEPAG dan kepada para
donatur. Tentulah, semua dana yang masuk itu akan saya curi dengan metode mark-up yang
tak akan diketahui siapapun karena sistem keuangan paroki adalah tunggal dan
tertutup. Apalagi laporan
ke APP atau DEPAG pun bisa dimanipulasi.
Cara keempat adalah dengan
aturan. Waktu masih frater, uang saku dipergunakan untuk keperluan
kebutuhan pribadi sehingga tidak ada kesempatan untuk memenuhi keinginan
pribadi. Nah, setelah jadi imam, apalagi pastor kepala paroki, saya
akan mengubah paradigma itu. Saya mau supaya uang saku atau gaji imam saya
digunakan untuk memenuhi keinginan saya, sementara kebutuhan saya dipenuhi dari
kas paroki. Maka, saya akan membuat aturan di paroki bahwa kebutuhan-kebutuhan
pribadi saya selalu memakai anggaran uang paroki. Tentulah, kebutuhan pribadi
itu sudah saya atasnamakan kepentingan umum atau pelayanan. misalnya, pulsa,
semua perlengkapan mandi, minyak wangi, perjalanan pribadi, biaya salon,
cemilan, pakaian, dll. Semuanya dari kas paroki, sehingga gaji saya tetap utuh
dan bisa saya pergunakan untuk memenuhi keinginan saya.
Demikianlah empat cara saya
mencuri uang paroki. Intinya adalah ketidaktransparanan laporan keuangan.
Laporan keuangan yang tidak transparan membuat saya leluasa mengambil uang
paroki demi kepentingan pribadi saya. Karena itu, saya sangat gelisah jika ada
umat atau siapapun yang menuntut transparansi keuangan paroki. Untungnya, umat sudah
saya cekoki dengan ajaran Injil di atas. Dan kebetulan nasehat Injil itu
berasal dari Yesus sendiri. Tak mungkinlah mereka akan melawan nasehat Yesus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar