Selasa, 13 Desember 2016, kasus penistaan
agama, dengan tersangka BasukiTjahaya Purnama, mulai memasuki babak baru. Hari
ini proses hukum mulai dijalankan, diawali dengan pembacaan nota keberatan oleh
Basuki atau Ahok dan panasehat hukumnya.
Sepintas kita melihat bahwa proses sidang ini
tak ubahnya dengan sidang-sidang perkara hukum lainnya. Akan tetapi, jika
dicermati dengan jernih dengan budi dan hati, tentulah kita dapat melihat
keanehan. Sidang kasus penistaan agama ini seakan membuka borok-borok atau carut-marutnya agama islam; bukankah ini sebuah bentuk
penistaan?
Sayangnya, MUI tidak menyadari. Ataukah MUI
tidak berpikir? Maksud hati ingin menghukum Ahok, namun dalam prosesnya malah
membuka aib sendiri. Maksud hati ingin membela islam, yang terjadi justru
menghina islam.
Di samping itu persidangan kasus penistaan
agama ini menyisahkan dilema pada para hakim. Pertama-tama hakim, baik yang
muslim maupun non muslim, berada di bawah tekanan. Yang menekan mereka adalah Fatwa
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF
MUI).
Bagaimana mungkin hakim kelak memutuskan Ahok
tak bersalah dan bebas, sementara MUI sudah memutuskan dengan fatwa bahwa Ahok
telah melakukan penistaan agama dan ulama? Kita dapat berkaca pada kasus yang
menimpa Arswendo Atmowiloto dengan tabloid Monitor-nya.
Jika hakimnya non muslim, dan memutuskan
bebas, pastilah GNPF MUI mengatakan bahwa hakim membela sesama non muslim.
Bukan tidak mungkin ada tuduhan bahwa ini merupakan konspirasi untuk
menjatuhkan islam. Atau ada juga yang mengatakan bahwa hakimnya bodoh, tak tahu
hukum islam. Bukan tidak mungkin juga hakim ini akan dikatakan terlibat
penistaan agama. Perkiraan lebih parah adalah demo yang berujung pada
kerusuhan. Oleh karena itu, jalan amannya adalah menyatakan Ahok bersalah
supaya umat islam senang dan puas. Bandingkan dengan kasus Arswendo.
Jika hakimnya seorang muslim, dan memutuskan
bebas, pastilah GNPF MUI mengatakan bahwa hakimnya sudah disuap. Mungkin juga
orang akan mencari dalil untuk menyerang hakim tersebut. Misalnya dengan
mengatas-namakan prinsip “Pembela dari lawanku adalah musuhku.” Bukan tidak
mungkin kelompok islam radikal melihat darahnya halal, karena bukannya membela
agama (sebagaimana yang diamanatkan Al Quran), taapi malah justru membela musuh
islam. Oleh karena itu, jalan amannya adalah menyatakan Ahok bersalah supaya
umat islam senang dan puas.
Untuk dapat memutuskan bebas pun, para hakim,
baik yang muslim maupun non muslim, dihadapkan pada kebingungan. Akar
kebingungan itu ada pada fatwa MUI. Sebagaimana yang diketahui, pada 11 Oktober
lalu MUI sudah mengeluarkan fatwa bahwa Ahok telah melakukan penistaan agama
dan ulama. Agak terasa ganjil jika keputusan hakim bertentangan dengan
keputusan MUI, karena urusan agama memang domainnya MUI. Di mata umat islam,
khususnya GNPF MUI dan MUI sendiri, proses persidangan hanya tinggal menunggu
ketok palu hakim bahwa Ahok bersalah dan dipenjarakan sehingga syahwat
kebencian mereka terlampiaskan.
Inilah gambaran di balik proses persidangan
penistaan agama dengan tersangkanya Ahok. Jika para ulama dapat berpikir luas
dan jernih, sebenarnya proses sidang ini sungguh memalukan umat islam. Karena
itu, dibutuhkan keberanian dan kebijaksanaan para ulama, yang tergabung dalam
MUI, untuk menarik fatwanya. Biarkanlah para hakim bekerja dalam sikap bebas,
tanpa tekanan. Bila perlu proses persidangan ini dihentikan.
Menjadi persoalan, apakah MUI berani dan
bijaksana?
Puri
Sadhana, 13 Desember 2016
by: adrian
Baca juga tulisan
lain:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar