MATIKAN TV-MU SEKARANG!!!
Keselong
Tuan-tuan. Suatu hari di kampung saya gempar. Anak-anak
menghilang secara tiba-tiba. Tidak ada lagi yang berkeliaran di jalanan
dengan teriakan-teriakan khas anak-anaknya. Tidak ada lagi yang berlarian di
pematang sawah atau bersepeda di jalan-jalan kampung. Kampung jadi sepi dari
rengekan mereka meminta uang pada ibunya atau ketika jatuh kesakitan. Semakin
lama suasana pun semakin sepi akan suara dan tawa mereka, hanya suara orang tua
mereka yang semakin panik dan riuh berdengung kerena anaknya hilang. Mereka
kini berkumpul di rumah Pak Lurah.
“Tidak salah lagi, anak dikampung ini keselong!” Kata seorang tua yang
berpakaian serba hitam di sepan rumah Pak Lurah. Ki Jenggot, begitu mereka
menyebutnya.
Tiba-tiba saja suasana menjadi semakin riuh seperti lebah yang bergerumun.
Masyarakat semakin cemas akan anak-anaknya. Mereka tidak tahu apa yang harus
mereka lakukan untuk menemukan anak-anak mereka.
Tulisan di atas saya kutip dari sebuah cerita pendek yang sempat saya baca
beberapa hari lalu. Cerpen ”Keselong” karya Yons Ababil itu saya dapatkan dari
sebuah majalah tengah bulanan nasional. Tiba-tiba, ketika sampai pada batas
ini, saya tersentak. Lho! Bukannya ini memang benar-benar sedang terjadi? Ya,
sedang terjadi di waktu kita bernafas dan di tempat kita berpijak. Tidak salah
lagi, di sini. Anak-anak kita sedang menghilang. Entah siapa yang membawa mereka
dari sini, pangkuan kita. Juga entah, mereka keselong (disembunyikan makhluk
halus) atau tidak, seperti dalam cerpen ini. Yang jelas penulis di sini telah
mengingatkan kita akan satu hal ini.
Bukankah mereka masih ada. Masih bisa kita lihat mereka bermain sepak bola
dekat lapangan Pak Kepala Desa? Mereka juga masih ramai bersepeda di jalanan
ketika pagi menuju ke sekolah?
Jika itu pertanyaan yang tiba-tiba muncul dan berontak untuk segera keluar,
maka jawabannya, tidak. Mereka memang masih bisa kita lihat dengan mata
telanjang. Tapi coba rasakan, hawa mereka tidak lagi terasa. Hawa khas
anak-anak ketika bergerak berloncatan ke sana kemari. Ketika berteriak
meneriakkan keinginannya. Bisa dikatakan jiwa mereka yang telah hilang. Entah
siapa yang telah mengambilnya diam-diam dari kita. Kemudian menukarnya dengan
jiwa-jiwa misterius yang tidak pernah kita ketahui. Anak-anak bukan lagi
anak-anak kita dulu. Mereka telah benar-benar berubah.
Ingat-ingat saja tentang berita yang muncul setiap pagi di rubrik berita kriminal,
hampir setiap hari kita akan melihat, beberapa kasus kejahatan yang sudah
sering dilakukan anak-anak. Sebut saja seperti mencuri, mengedarkan sekaligus
memakai narkoba, bahkan sampai berani berpesta seks di kelas. Semua pekerjaan
yang sebenarnya juga tidak pantas untuk dilakukan orang dewasa. Tidak hanya itu
anak-anak sekarang adalah anak yang kecanduan dengan sesuatu bernama hiburan,
juga segala sesuatu yang bersifat konsumtif. Meskipun tidak semua mengalami
kejadian seperti itu, tapi ini patut untuk kita khawatirkan. Karena melihat
begitu pesatnya virus ini menyebar, rasanya tidak akan lama lagi seluruh
anak-anak di negeri ini akan menjadi korban.
Matikan
TV-Mu
“Saudara-saudara, memang benar apa yang dikatakan Ki Jenggot. Anak-anak
kita keselong. Tapi kita tidak akan pernah menemukan mereka di tempat-tempat
yang kita cari sedari tadi. Tidak di pohon-pohon beringin atau batu-batu yang
kita keramatkan. Makhluk-makhluk itu kini sudah mempunyai tempat baru yang
lebih nyaman bagi mereka.”
“Lalu dimana anak kami Wak?”
“Ayolah Wak
tolong kami”
“Di mana anak
kami Wak?”
“Ikuti saya ! “
Lalu seseorang
yang biasa dipanggil Wak Haji Muksin itu masuk ke dalam rumah Pak Lurah.
Sebagian masyarakat yang berada di luar ikut masuk menuruti keingintahuannya,
sampai berdesak-desakan. Padahal masih banyak sekali orang lain yang masih
berada di luar. Apa yang kira-kira akan dilakukan olehnya. Wak Haji Muksin lalu
mendekati sebuah benda berwarna hitam berkaca dengan beberapa tombol di
sisinya. Masyarakat yang melihatnya semakin bertanya-tanya apa yang sebenarnya
terjadi.
“Di sinilah
anak-anak kalian disembunyikan.” kata Wak Haji sambil mengangkat benda itu
tinggi-tinggi.
“Lho, Wak Haji, bukankah itu televisi?”
“Siapa bilang ini gethuk”
“Jadi ada dimana sebenarnya mereka wak?”
“Ayolah wak buktikan kata-katamu.”
Lalu Wak Haji Muksin mengangkat lagi benda itu lebih tinggi dan
membantingnya ke lantai. Pak Lurah mencoba menahannya, tapi sudah terlambat.
Benda bernama televisi itu sudah hancur berkeping-keping. Kini semua
memperhatikan pecahan televisi pak lurah di lantai tanpa ada suara.
Tiba-tiba muncul Ria dan Husein dari kepingan pecahan kaca televisi itu.
Semua terperanjak. Bu Lurah dan suaminya, Pak Lurah, langsung memeluk kedua
anaknya itu sambil menciumnya berkali-kali. Saluruh masyarakat yang
mengetahuinya tersentak kaget.
Sekali lagi saya tersentak, sebagaimana orang-orang di sana kaget kerena
tidak pernah menyadarinya lebih dulu. Sekali lagi saya merasa kejadian pada
kelanjutan cerpen tadi juga benar-benar terjadi di dunia kita. Ya, televisilah
pelakunya. Penyebab dari kebingungan kita menemukan anak-anak kita yang telah
ia bawa pelan-pelan dari rumah kita berkedok musuh dalam selimut. Televisi yang
sengaja disediakan di rumah untuk membantu menyegarkan pikiran, sebagai media
hiburan, menambah ilmu pengetahuan, fasilitas penambah pengetahuan tentang informasi
dari seluruh dunia, ternyata malah menyembunyikan jiwa-jiwa original anak-anak
kita. Lalu menukarnya dengan jiwa-jiwa bermental uang, baju bagus, kekuasaan,
senang-senang tanpa memikirkan masa depan.
Maka segera matikanlah televisimu. Matikan segera sebelum ia kembali dan
meracuni anak-anak kita dengan berbagai macam racun mematikannya. Yang dengan
dosis tingginya bisa dengan segera merasuk ke dalam pikiran anak dan merubahnya
menjadi makhluk lain. Padahal, seperti yang sudah kita ketahui, merekalah
calon-calon kuat pengganti generasi-generasi tua yang tidak lama lagi akan
semakin rapuh dan berhenti bernafas dimakan usia. Mereka harus benar-benar
dipersiapkan untuk itu. Dalam hal ini, Seto Mulyadi (Komnas Perlindungan Anak),
juga mengakui bahwa tayangan televisi berpengaruh terhadap pola perilaku
anak-anak atau remaja.
Kalau masih belum percaya, coba saja ingat-ingat apa yang telah televisi
sajikan kepada kita akhir-akhir ini. Tayangan berita-berita kriminal, yang
semakin mengajari anak-anak kita untuk berani melakukan tindakan-tindakan
kekerasan. Atau sinetron-sinetron dengan tema tetap, tanpa perubahan di setiap
sinetronnya. Hanya tentang cinta, harta, kekuasaan, kemudian tokoh antagonis
melakukan segala cara untuk menang, hingga akhirnya begini, begini dan begitu.
Seakan sudah bisa ditebak. Dan parahnya lagi, hanya sedikit saja perilaku yang
berbau edukatif. Karakter negatif lebih sering muncul daripada karakter positif.
Juga banyak ditemukan unsur kental seksualitas. Tercatat dalam sebuah penelitian,
sikap berpakaian tidak senonoh 49 % dari 196 pemunculan, merayu 14 %, merangkul
11 %, menatap penuh hasrat terhasap lawan jenis 11 % (Republika, 30 Desember
2005). Tidak seperti yang orang tua harapkan pada
sebuah televisi ketika membelinya. Sehingga tayangan yang lebih banyak
mendominasi tayangan-tayangan televisi tersebut mengajak anak untuk meniru apa
yang ada di dalamnya. Dari cara berpakaian, menggunakan uang jajan, budaya
konsumtif, juga dalam menghadapi sebuah masalah atau menjatuhkan lawan dengan
segala cara. Apalagi, seperti yang ditulis oleh Ahmadun Yosi Herfanda, ada
kira-kira 140 sinetron jiplakan yang beredar di Indonesia. Baik dari tema, cara
bersikap, sampai alur cerita dan model tokohnya. Selain menunjukan bahwa itu
adalah bukti kekurangkreativan SDM industri persinetronan kita, ini juga
menyatakan bahwa kebanyakan unsur-unsur budaya yang menyebar lewat sinetron
adalah bukan dari negeri sendiri. Melainkan budaya asing yang sangat jelas banyak berlawanan dengan
budaya asli kita.
Juga reality show yang mulai
menjamur akhir-akhir ini. Yang mengedepankan bagaimana mendapatkan uang
dengan mudah tanpa harus berusaha keras. Hanya tinggal melakukan apa yang
dikatakan oleh presenter. Jika bisa, maka dalam waktu sekejap uang yang cukup
banyak bisa diperoleh. Memang itu akan membantu sang pemenang dalam kebutuhan
hidupnya. Tapi, pelan-pelan sang pemirsa akan termakan doktrin bahwa mencari
uang dan apa yang kita inginkan tidak perlu dengan bekerja keras, hanya cukup
mempersiapkan diri mengikuti acara-acara semisal yang kini sudah bisa dijangkau
dengan mudah di berbagai tempat, juga dengan berbagai media. Selain langsung,
melewati HP misalnya, atau lewat E-mail. Menjadikan pemirsa yang terpancing
untuk itu berhenti memprioritaskan bekerja keras untuk mencapai tujuan.
Mematikan aktif mereka dan menghidupkan budaya pasif.
Televisi juga media yang cocok untuk menyebarkan virus pornografi dan
pornoaksi yang semakin menebal saja di negara kita. Kita telah tahu sendiri
bagaimana dampak keduanya bagi anak dan remaja-remaja kita.
Maka, kini kita semakin tahu akan bahaya yang mengancam. Segeralah matikan
televisimu. Dan sebenarmya bukan hanya itu, masih ada film-film berbau klenik
yang bertebaran di setiap stasiun televisi. Yang semakin menambah sosok aneh
dalam dunia anak-anak. Juga ada tongkat-tongkat ibu peri yang bisa menolong
siapa saja yang kesulitan. Tanpa berusaha lebih keras, hanya tinggal
memanggilnya & meminta tolong untuk mengerjakan ini dan itu. Maka ia
mendapatkan segalanya.
Intinya, menonton televisi membuat kita menjadi pasif, juga anak-anak.
Seorang penonton televisi hanya tinggal diam dan memikirkan, apa yang akan
masuk ke pikiran hari ini? Sekali lagi matikan televisimu sekarang juga.
Kemudian, ada satu hal yang mengganjal di benak saya. Sebuah pertanyaan
yang mungkin akan muncul pada setiap orang dewasa maupun anak-anak. Yaitu,
bagaimana kita bisa hidup tanpa televisi? Bagaimana kita bisa langsung
mamatikan televisi begitu saja? Benda yang menghiasi hari-hari kita di rumah.
Hidup akan sangat tidak berwarna. Akan terasa tawar jam-jam yang kita lalui
setiap harinya. Kita tidak akan bisa lagi menikmati acara-acara hiburan ketika
lelah dan capek, tidak bisa lagi memenuhi otak kita dengan beragam informasi
yang tersaji begitu rapi, kita hanya tinggal duduk dan bersiap menonton dan
mendengarkannya dengan seksama. Saya juga seorang anak. Saya juga tahu rasa
tentang bagaimana hidup tanpa televisi. Pasti akan sangat sulit sekali dan
memberatkan. Saya tidak akan lagi bisa menonton acara-acara favorit saya yang
menghiasi hari libur, tidak bisa lagi berdiskusi dengan teman-teman tentang
film yang ditayangkan di sebuah stasiun televisi tadi malam.
Tidak terasa memang, televisi telah begitu dekat dengan kita. Seakan-akan
telah menjadi kebutuhan primer. Ya, kebutuhan pokok manusia ketika hidup.
Sejajar dengan pakaian yang kita pakai, makanan dan tempat tinggal. Televisi
telah menjadi bagian hidup kita yang tidak bisa kita tinggalkan begitu saja.
Kemudian
Bagaimana?
Setelah beberapa minggu, penduduk kampung ini sudah bisa hidup normal tanpa
televisi. Anak-anak kini sudah kembali mewarnai kehidupan kami. Mereka juga
mulai rajin mengaji di musholla menjelang maghrib. Para orang-orang tua juga
mulai meramaikan majlis-majlis taklim. Tidak ada lagi keributan yang berarti
semenjak kejadian dulu.
Sekarang aku sedang berada di pasar melanjutkan usahaku sebagai penjual.
Tiba-tiba ada kabar yang menggemparkan seluruh pasar. Anak-anak di
kecamatan menghilang tanpa jejak. Ah tidak! Ternyata bukan cuma di kecamatan,
tapi juga di kabupaten, juga provinsi, bahkan seluruh negeri. Negeri ini
menjadi sepi dari suara anak-anak.
Akhirnya seluruh warga kampung aman dari suara-suara bising televisi. Tapi,
kejadian hilangnya anak-anak ternyata malah meluas. Bukan hanya di kampung itu
saja. Tapi ke daerah-daerah lain di seluruh pelosok negeri. Dan akhirnya, kabar
bahwa anak-anak disekap di dalam televisi menyebar. Bisa dipastikan setelah
itu, jika seluruh orang tua masih menginginkan anaknya, maka ia harus rela
mengorbankan televisi yang sudah menjadi bagian hidupnya demi kehadiran anaknya
kembali.
Mungkin di sinilah seharusnya saya, dan mungkin kita, tidak sependapat
dengan si penulis cerpen. Biar bagaimanapun, televisi adalah bagian hidup kita.
Dan tidak mungkin untuk dihilangkan begitu saja. Saya yakin, penciptaan
televisi dilakukan untuk bisa diambil manfaat sebesar-besarnya darinya. Bukan
dengan sengaja menghancurkan generasi yang nantinya akan menggantikannya. Jadi
pasti ada masalah di dalam perantara antara penyelenggara penyiaran televisi
dengan pemirsa televisi di rumah-rumah.
Banyak sekali yang berhubungan dengan sebuah kotak mungil berkaca bernama
televisi ini. Yang biasa kita singkat dengan TV saja. Yang pertama yang tidak
mungkin bisa lepas darinya adalah organisasi penyiaran itu sendiri. Karena merekalah
yang memegang kendali jalannya TV.
Ini juga ada hubungannya dengan pemerintah, selaku wakil-wakil rakyat yang
diutus untuk memberikan manfaat yang sebaik-baiknya dan sebesar-besarnya,
mereka harus memberi kebijakan yang jelas dan aplikasinya yang riil dan nyata
di lapangan. Tentang mereka yang melanggar peraturan penyiaran, maka harus ada
sanksi tersendiri. Dan jika ada sebuah stasiun televisi atau acara yang
terbukti mengamalkannya dan berhasil untuk bermanfaat bagi penontonnya, maka
penghargaanlah yang mereka peroleh. Dalam hal ini Komisi Penyiaran Indonesia
(KPI) menampakkan dirinya. Mereka memperingatkan stasiun-stasiun televisi untuk
tidak melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran Dan Standar Program Siaran (P3SPS),
jika masih saja belum di respon, maka jalur hukum akan ditempuh, dengan
konsekuensi, izin tayang akan dicabut. Tapi ini tentu saja masih belum cukup.
Yang kedua, harus ada pengawasan terhadap anak-anak itu sendiri. Akan
percuma saja jika anak tidak diawasi dalam kesehariannya. Pisau dapur yang
sebenarnya digunakan untuk mengupas buah bisa saja digunakan untuk membunuh
kucing tetangga, atau juga bisa adik kecil anak kita yang sedang tidur di dalam
kamar. Begitu juga dengan televisi, ia memang bisa bermanfaat bagi kita, tapi
jika tanpa pengawasan, sama saja bohong. Semua bisa saja melakukan apa-apa yang
melenceng dari ketentuan sebenarnya, apalagi anak-anak yang kondisinya memang
masih sangat mudah untuk menerima dan memasukkan apa saja dalam pikirannya
untuk segera dilakukan.
Cara ini bisa dilakukan dengan mencari tahu, acara apa saja yang ditonton
anak kita. Kalau sekiranya itu pantas dan bermanfaat baginya maka itulah yang
terbaik baginya. Dan kalau jelas-jelas yang ditonton adalah tayangan kekerasan
misalnya, atau acara-acara lain yang akan berakibat buruk baginya, segera saja
alihkan perhatiannya ke hal lain. Tidak hanya itu, seorang ayah atau ibu
hendaknya tidak bosan untuk memberi pengertian tentang apa yang pernah masuk
dalam pikiran anak atau tentang apa yang dia tanyakan tentang kejanggalan-kejanggalan
yang didapatinya. Juga lebih baik orang tua harus aktif menanyai si anak
tentang apa yang di dapat anak sehari itu, bisa dilakukan malam hari sebelum
tidur. Ditakutkan ada hal-hal yang dapat berdampak negatif jika kita tidak
memberinya pengertian.
Sebenarnya segala sesuatu yang ada dunia ini seperti halnya dua mata
pedang, pasti mempunyai manfaat dan kebalikannya, yatiu mudlarat. Semua. Nuklir
saja, sebenarnya bukan hanya berfungsi sebagai bom yang bisa meledak dengan
efek yang luar biasa. Pada dasarnya nuklir diciptakan untuk pembangkit listrik
yang efisien. Kemudian tentang bagaimana efek negatif dan positif ini bisa
terjadi adalah karena pemakainya. Dia berniat baik atau tidak. Atau jika si
pemakai salah dalam menggunakannya, orang-orang di sekitarnya akan mengingatkan
atau tidak.
Begitu juga dengan televisi, jika kita bisa mengambil manfaatnya dan
menggunakannya seoptimal mungkin, maka akan sangat banyak sekali yang kita
dapatkan. Jika seseorang pernah mengatakan bahwa buku adalah jendela dunia, maka
menurut saya, ‘televisi adalah buku lain yang lebih besar yang berada di
dinding yang lain pula’. Ya, adalah jendela yang lebih besar. Sebagai salah
satu komponen globalisasi yang membuat besarnya jarak menjadi kian tak berarti.
Kejadian di belahan bumi sana akan bisa seseorang ketahui di belahan bumi yang
lain dalam waktu sekejap. Ya, salah satunya adalah melalui benda ini. Juga,
media audio visual ini mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap
pemirsanya. Maka akan sangat bermanfaat sekali jika menggunakannya untuk
meningkatkan taraf pendidikan di Negara kita.
Dengan begitu, diharapkan akan muncul acara-acara televisi yang baik bagi
pemirsanya, terutama anak-anak. Yaitu acara yang menyajikan kebaikan dan
tentunya yang berdampak positif bagi anak-anak kita untuk menciptakan
lingkungan yang baik pula.
Marilah kita mengambil
manfaat sebesar-besarnya darinya. Saya berharap RUU APP akan segera disahkan,
mekipun 30 % di antara kita menolaknya (Repubilka, 11 Maret 2005), juga
pengawasan acara-acara yang akan tayang di televisi untuk segera kembali
digalakkan, kekhawatiran orang tua terhadap perkembangan anaknya, terutama yang
berhubungan dengan televisi, dengan mengurangi menyeleksi porsi menonton segera
ditingkatkan. Juga yang paling penting, agar energi potensi positif televisi
dapat segera kita nikmati bersama. Tentunya itu semua tidak bisa ditangani oleh
hanya satu orang saja, tapi dengan uluran tangan kita semua. Akhirnya, ada satu
harapan lagi yang ingin saya sampaikan pada mereka yang bertanggung jawab atas
ini. Mengertilah, saya, juga seluruh anak-anak di negeri ini, kelak akan
menjadi pelaku regenerasi pelaku negeri ini. Bukan hanya dalam pemerintahan,
tapi dalam segala bidang. Juga yang paling penting adalah membentuk sejarah
kebaikan untuk masa depan.
Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang? Matikan TV-mu. Ya, matikanlah
televisimu untuk sementara ini. Lebih cepat lebih baik. Jangan biarkan ia
menguasai waktu kita. Cukup sediakan sedikit saja waktu untuknya. Itu juga
untuk acara-acara yang jelas-jelas bermanfaat. Terutama untuk anak-anak kita.
Kita telah tahu, akan jadi apa mereka nanti.
* Luthfi Andi Z, alumni TMI Al-Amien Prenduan tahun 2007,
asal Lumajang. Kini, sedang menyelesaikan S-1nya di IDIA Prenduan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar