Senin, 31 Juli 2023

ADAM DAN HAWA DALAM AGAMA YAHUDI, KRISTEN DAN ISLAM

Agama sering diartikan sebagai kumpulan aturan atau ajaran. Umumnya orang mengenal tiga agama (Yahudi, Kristen dan Islam) sebagai agama samawi.  Kata ‘samawi’ berasal dari bahasa Arab, dari kata As-Samawat yang berarti ‘langit’. Karena itu, agama samawi dapat dipahami sebagai agama langit, karena para penganutnya percaya bahwa agamanya dibangun berdasarkan wahyu Allah. Langit dianggap sebagai tempat tinggal Allah.

Ketiga agama samawi ini disatukan oleh satu tokoh yang sama, yaitu Abraham (islam: Ibrahim). Karena itu, agama samawi dikenal juga dengan istilah agama Abrahamik atau agama Ibrahimiyyah. Abraham diyakini sebagai orang pertama yang membawa tradisi monoteis. Karena itu juga, ketiga agama ini dikenal sebagai agama monoteistik. Namun, tidak semua agama monoteistik adalag agama Abrahamik.

Sekalipun bersatu pada sosok Abraham, namun banyak pemeluk agama Yahudi, Kristen dan Islam menolak pengelompokan seperti ini (agama samawi). Mereka melihat bahwa sekalipun “satu”, tapi pada dasarnya dan intinya ketiga agama ini mengandung gagasan-gagasan berbeda seperti Abraham sendiri, kitab suci bahkan konsep ketuhanan serta nama Tuhan. Misalnya, soal kitab suci, kitab suci Yahudi diterima oleh Kristen, sementara kitab suci Islam lain tersendiri; malah Islam menilai kitab suci Yahudi dan Kristen sekarang palsu. Konsep ketuhanan Yahudi dan Islam memiliki kemiripan, sementara Kristen lain sendiri.

Perbedaan lain adalah soal Adam dan Hawa. Karena kitab suci Yahudi menjadi bagian dari kitab suci Kristen (disebut Perjanjian Lama), maka kisah tentang Adam dan Hawa untuk kedua agama ini adalah sama. Sementara itu, kitab suci agama Islam lain sendiri, yang membuat kisah Adam dan Hawa juga berbeda dari kedua agama samawi lainnya. Kenapa bisa berbeda? Kisah manakah yang benar?

Banyak tokoh Islam sudah menyatakan bahwa kitab suci agama Yahudi dan Kristen sudah dipalsukan (bdk. QS Ali Imran: 78). Jadi, kisah merekalah yang paling benar. Sementara Yahudi dan Kristen tidak pernah menyatakan kisah mereka paling benar dan yang lain palsu. Tulisan ini tidak bermaksud mencari kebenaran kisah tersebut. Tulisan ini hanya memaparkan perbedaan itu, dan membiarkan pembaca sendiri menilai.

Adam dan Hawa dalam Yahudi dan Kristiani

Kisah Adam dan Hawa dalam dua agama ini dapat dibaca di Kitab Kejadian. Kisah ini terkait dengan kisah penciptaan. Nama Adam dan Hawa sendiri tidak muncul dalam kisah itu. Kitab Kejadian hanya menggunakan istilah “manusia itu” untuk menyebut Adam, sedangkan Hawa disebut dengan istilah “perempuan itu”. Nama Adam dan Hawa baru muncul setelah peristiwa kejatuhan manusia pertama ke dalam dosa. Awalnya nama Hawa (Kej 3: 20), baru kemudian nama Adam (Kej 4: 25). Dalam tulisan ini, kami langsung menggunakan nama Adam dan Hawa dalam kisah penciptaan.

Setelah menciptakan segala-galanya Allah kemudian menciptakan Adam dan Hawa. Awalnya Allah menciptakan Adam. Allah membuat Adam dari debu tanah, lalu menghembuskan nafas hidup ke dalam tubuhnya (Kej 2: 7). Setelah menciptakan Adam, Allah kemudian membuatkan sebuah taman di Eden, yang kemudian dikenal dengan nama Taman Eden (ada juga yang menyebutnya Firdaus). Jika kita membaca soal taman ini dalam Kitab Kejadian 2: 8 – 17, dapatlah disimpulkan bahwa taman ini berada di bumi. Tapi lokasi persisnya tidak ada yang tahu.

Allah merasa kasihan melihat Adam sendirian menikmati kebahagiaan di Taman Eden. Karena itu, Allah menciptakan Hawa sebagai penolong yang sepadan dengan Adam. Hawa diciptakan Allah dari satu tulang rusuk Adam (Kej 2: 18 – 21). Maka hiduplah Adam dan Hawa di dalam Taman Eden. Sekali lagi Taman Eden itu berada di BUMI.

Di dalam taman itu ada satu pohon yang buahnya tidak boleh dimakan. Ini didasarkan pada perintah Allah. “Semua pohon dalam taman ini boleh kaumakan buahnya dengan bebas, tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya.” (Kej 2: 16 – 17). Akan tetapi, justru buah itulah yang dipetik dan kemudian dimakan. Adalah peran iblis, dalam wujud ular, yang membuat Hawa melanggar perintah Allah. Hawa memetik buah pohon itu dan memakankan, lalu memberikannya juga kepada Adam (Kej 3: 1 – 6). Dan sekali lagi, peristiwa ini terjadi di BUMI. Karena peristiwa itu, Allah mengusir Adam dan Hawa dari Taman Eden (Kej 3: 23 – 24).

Adam dan Hawa dalam Islam

Sama seperti dua agama samawi terdahulu, kisah Adam dan Hawa dalam Islam di sini diambil dari Al Quran. Kami menggunakan Al-Quran dan Terjemahannya yang diterbitkan oleh Departemen Agama RI edisi revisi tahun 2006 serta beberapa Al Quran online sebagai rujukan. Al Quran memuat kisah Adam dalam beberapa surah, di antaranya Al-Baqarah: 30 – 38 dan Al-Araf: 11 – 25.

Berbeda dengan versi Kitab Kejadian, kisah Adam (dan Hawa) dalam Islam bukan dalam bentuk narasi yang enak dibaca. Dari dua surah yang disebut di atas, orang awam akan kesulitan untuk menentukan alur ceritanya dari mana. Akan tetapi, kita akan ambil beberapa poin.

Kamis, 27 Juli 2023

DIALOG IMAGINATIF#4


 Dialog imaginatif adalah sebuah dialog fiktif. Dialog ini murni direkayasa. Dapat dipastikan dialog ini tak pernah terjadi dalam kehidupan nyata. Namun bukan lantas berarti dialog ini tak punya makna. Ada pesan yang hendak disampaikan dalam dialog tersebut.

Selasa, 25 Juli 2023

TAK SEMUA ORANG TERPANGGIL UNTUK MENIKAH

Ada orang merasa aneh melihat sesamanya yang sudah berusia 30 tahun bahkan lebih belum juga menikah; atau melihat pastor dan suster tidak menikah. Tak jarang orang-orang seperti ini disematkan label negatif seperti ‘orang tak laku’ atau ‘perawan tua’ bahkan dicurigai sebagai kaum homoseks. Di balik pemikiran ini terbersit bahwa menikah itu sebuah kewajiban; bahwa setiap orang harus menikah. Hal ini sering membuat banyak orang gelisah, ketika menginjak usia 30-an belum juga menemukan jodoh. Apakah Gereja Katolik mengajarkan demikian?

Tidak. Dalam Ketekismus Gereja Katolik (KGK) ditegaskan bahwa tidak semua orang dipanggil untuk menikah. Memang kepenuhan hidup terdapat dalam hidup menikah, namun orang-orang yang hidup selibat pun dapat mencapai kepenuhan hidup. Yesus Kristus menunjukkan cara khusus kepada para murid-Nya; Ia mengajak mereka untuk tidak menikah “demi Kerajaan Sorga” (Mat 19: 12).

Banyak orang yang hidup selibat menderita kesepian. Hal itu mereka anggap sebagai kekurangan dan kerugian. Namun orang yang tidak harus mengurus pasangan atau keluarga juga menikmati kebebasan serta memiliki waktu untuk melakukan hal-hal yang berarti dan penting yang tidak pernah bisa dinikmati oleh mereka yang menikah. Mungkin itu kehendak Allah, bahwa Ia harus mengurus orang yang tidak ada orang lain mengurusnya.

Tentu saja panggilan kristen tidak pernah merendahkan pernikahan atau seksualitas. Selibat yang dilakukan dengan sukarela dapat dilakukan hanya dalam cinta dan karena kasih, sebagai pertanda kuat bahwa Allah lebih penting daripada apa pun. Orang yang belum menikah menolak hubungan seksual, tetapi ia tidak menolak cinta. Dengan penuh kerinduan ia pergi untuk bertemu dengan Kristus, Sang Mempelai yang akan datang (Mat 25: 6).

diambil dari tulisan 6 tahun lalu