Jumat, 26 Agustus 2016

Orang Kudus 26 Agustus: St. Zefyrinus Namuncura

BEATO ZEFYRINUS NAMUNCURA, PENGAKU IMAN
Zefyrinus Namuncura lahir pada 26 Agustus 1886 di Chimpay, Argentina. Ia adalah putera dari Manuel Numuncura, seorang kepala suku Indian Mapuche, dan Rosario Burgos. Zefyrinus diharapkan oleh ayahnya untuk menjadi seorang pemimpin, sehingga ia diserahkan untuk dibesarkan kepada seorang misionaris Salesian, Pastor Dominikus Milanesio, yang juga membaptisnya.
Zefyrinus mendapat perlakuan-perlakuan yang tidak menyenangkan dari teman-teman sebayanya, terutama karena ia adalah seorang Indian. Hal ini membuat Pastor Dominikus membawanya ke sekolah misi Salesian di Buenos Aires. Zefyrinus menghadapi setiap perlakuan teman-temannya dengan penuh kesabaran.
Pada 8 September 1898 Zefyrinus menerima komuni pertamanya, dan setahun berikutnya ia menerima Sakramen Krisma. Rosario merupakan doa dan devosi yang ia senang. Ia sering mendoakannya di hadapan Sakramen Mahakudus. Banyak teman-temannya yang membandingkan Zefyrinus dengan Santo Dominikus Savio.
Zefyrinus kemudian memutuskan untuk menjadi seorang imam. Oleh Superior Salesian, Uskup Antonio Cagliero, Zefyrinus dibantu untuk masuk seminari menengah di Viedma. Ketika akan melakukan upacara penghormatan kepada Bunda Kerahiman, pada 24 September 1903, Zefyrinus batuk dengan mengeluarkan darah, yang menjadi tanda penyakit Tuberculosis.
Pada April 1904 Zefyrinus dibawa oleh Uskup Agung Cagliero ke Roma dengan harapan udara yang berbeda akan membantu penyembuhannya. Zefyrinus tiba di Turin (Italia) pada 19 Juli 1904. Zefyrinus kemudian dipindahkan ke Institut Salesian, Villa Sora, di Frascati, kembali dengan harapan udara yang hangat akan membantu proses penyembuhannya. Pada 27 September 1904 Zefyrinus berkesempatan berjumpa dengan Paus Pius X.
Bulan Maret 1905 kesehatan Zefyrinus kembali memburuk bahkan sampai harus dilarikan ke rumah sakit. Zefyrinus Numuncura meninggal dunia pada 11 Mei 1905 di Roma, Italia. Pada 18 November 2007 ia dibeatifikasi oleh Paus Benediktus XVI, yang diwakili oleh Kardinal Tarcisio Bertone, SDB.
Baca juga orang kudus hari ini:

Rabu, 24 Agustus 2016

HUKUMAN BAGI SANG KORUPTOR

Beberapa hari lalu publik kembali disajikan perdebatan soal remisi bagi para pelaku korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi dan Muhammadiyah menolak adanya remisi, sementara Wakil Presiden, Jusuf Kalla, setuju. Banyak elemen masyarakat menolak pemberian remisi tersebut, mengingat korupsi merupakan kejahatan luar biasa. Malah ada yang mengusulkan agar para koruptor ini dijatuhi hukuman mati, sama seperti terpidana narkoba dan teroris, supaya menimbulkan efek jera. Dasarnya adalah ketiga kejahatan itu (korupsi, narkoba dan teroris) merupakan kejahatan luar biasa.
Jika hanya untuk menimbulkan efek jera, saya pikir tidak perlu sanksi hukuman mati. Efek jera di sini pertama-tama ditujukan kepada pelaku. Jika pelakunya sudah meninggal, bagaimana bisa jera. Paling sebagai pembelajaran bagi orang lain. Artinya, hukuman mati gagal untuk menimbulkan efek jera.
Tidak adanya efek jera dalam diri koruptor disebabkan karena hukuman yang dikenakan kepada mereka masih terbilang amat sangat ringan, malah menyenangkan. Selama ini kita sering saksikan bahwa para pelaku korupsi mendapat hukuman yang ringan. Selain hukumannya yang ringan, mereka juga mendapat perlakuan-perlakuan khusus selama di penjara (misalnya kasus Atalyta Suryani) serta hak istimewa seperti remisi  atau keluar dari tahanan tanpa pengawalan.
Karena itu, untuk menimbulkan efek jera, para pelaku harus diberi sanksi sangat berat. Beratnya hukuman itu bukan hanya dilihat dari lamanya waktu atau masa tahanan. Hukuman yang berat itu bukan cuma menyentuh fisiknya melainkan juga psikis, karena efek jera itu berkaitan dengan masalah psikologi.
Seperti apa hukuman berat itu?
Saya memberikan satu jenis hukuman dengan tiga tindakan yang berbeda. Ketiga tindakan harus menjadi satu kesatuan. Istilahnya three in one law. Setiap pelaku tindak kejahatan yang sudah divonis bersalah oleh hakim, wajib dikenakan tiga sanksi ini dalam satu waktu.
Tindakan pertama adalah hukuman kurungan. Hukuman penjara kepada para koruptor ini haruslah lama, minimal 75 tahun dan maksimal 200 tahun. Boleh saja dia mendapat remisi setiap tahun (potongan 1 bulan), karena remisi itu adalah hak setiap tahanan. Hak istimewa para tahanan korupsi hanyalah remisi dan grasi. Mereka tidak diperkenankan mendapat fasilitas mewah di penjara atau kemudahan keluar dari tahanan.
Tindakan kedua adalah penyitaan dan ganti rugi. Saya pernah ke kawasan Glodok, tempat penjualan CD dan DVD, yang katanya bajakan. Di setiap sudut ada tertulis, “Barangsiapa ketahuan mencuri, akan didenda 1000 kali lipat.” Tentu patokannya adalah harga satu DVD, yang rata-rata Rp. 5000. Dan aneh, menurut pengakuan para petugas di sana, belum pernah mereka mengalami kasus pencurian. Mengapa? Karena orang pada takut. Bayangkan, hanya karena Rp. 5000, kita bisa didenda Rp. 5 juta.
Demikian pula dengan para pelaku korupsi. Kepada mereka harus kekenakan sanksi denda atau ganti rugi sebesar, misalnya 500 kali lipat dari nilai nominal yang mereka korupsi. Jadi, misalnya mereka terbukti melakukan korupsi sebesar 1 miliyar, maka mereka harus dikenakan denda 500 miliyar. Selain itu, harta milik mereka harus juga disita. Yang disita adalah rumah, kendaraan dan tanah atau benda lainnya yang terbukti didapat dari hasil korupsi. Jika mereka tidak dapat memenuhi tuntutan ganti rugi, maka jumlah waktu tahanannya ditambah.
Tindakan ketiga adalah kerja sosial. Dengan mengenakan pakaian khusus yang mencolok (misalnya baju belang-belang) para tahanan pelaku korupsi ini diwajibkan untuk kerja sosial dengan membersihkan got atau selokan, membersihkan pasar atau bantaran kali. Mereka juga bisa diminta untuk kerja sosial lainnya yang berguna bagi kepentingan bersama. Misalnya, ada banyak tempat di negeri ini yang perlu dijalankan program penghijauan. Nah, manfaatkanlah orang-orang ini untuk menanam pohon-pohon di lahan kering. Karena pohon yang ditanam membutuhkan waktu untuk perhatian, maka para tahanan ini juga yang bertugas memperhatikannya sampai pohon itu tumbuh besar.
Dengan adanya sanksi sosial ini, para pelaku kejahatan luar biasa ini bukan saja mendapat efek jera dan tobat, melainkan warga masyarakat mendapat manfaat dari aksi sosial mereka. Dengan menghadirkan para koruptor dalam kerja sosial di tengah masyarakat, sekaligus juga menyadarkan masyarakat akan efek tindakan kejahatan itu. Kehadiran mereka dengan pakaian khusus akan menjadi alarm bagi warga: “Jika kamu tidak mau seperti ini, jangan ikuti kami!” Jadi, sanksi kerja sosial ini bisa menjadi sarana pencegahan.

Demikianlah three in one law buat pelaku korupsi. Semua ini tergantu pada niat dan kemauan politik elite yang berkompeten di bidang ini. Tanpa adanya sanksi yang benar-benar berat, kejahatan korupsi tidak akan berkurang.
Batam, 14 Agustus 2016
by: adrian
Baca juga tulisan lain:

Senin, 22 Agustus 2016

CINTA AKAN UANG AWAL DARI KORUPSI

Pada waktu kaki Yesus diminyaki Maria dengan minyak narwastu, Yudas Iskariot berkomentar, “Mengapa minyak narwastu ini tidak dijual tiga ratus dinardan uangnya diberikan kepada orang-orang miskin?” Dikatakan bahwa pernyataan Yudas itu bukan karena ia memperhatikan nasib orang-orang miskin, melainkan karena ia adalah seorang pencuri; ia sering mengambil uang yang disimpan dalam kas yang dipegangnya (Yoh 12: 1 – 6)
Uang itu memang menggoda, karena ia adalah salah satu bentuk godaan. Uang, sebagai godaan, masuk dalam kelompok harta kekayaan. Oleh karena itu, orang yang selalu dan sering bersentuhan dengan uang, seperti kasir, bendahara, dll, adalah orang pertama yang digoda atau tergoda.
Contoh di atas sudah membuktikan. Yudas Iskariot adalah pemegang kas kelompok para murid. Dia memegang uang. Dan uang itu juga yang menggoda dia. Makanya dikatakan ia sering mengambil uang dalam kas. Bahkan karena godaan uang ia rela menjual Yesus.
Kita juga tentu masih ingat Muhammad Nazaruddin, mantan bendahara Partai Demokrat, atau Gayus HP Tambunan. Mereka-mereka ini selalu bersentuhan dengan uang. Karenanya, uang itu juga yang menggoda mereka untuk korupsi.
Apakah korupsi ini terjadi karena iman yang lemah? Bisa ya, bisa juga tidak. Namun harus diingat bahwa sekuat apapun iman seseorang, jika terus menerus digedor dengan godaan tadi, pastilah lemah juga. Bayangkan, setiap hari bersentuhan dengan godaan itu. Yesus sendiri pernah mengatakan bahwa sekalipun roh itu memang penurut, namun daging lemah, sehingga kita harus waspada supaya tidak jatuh dalam godaan (Mat 26: 41).
Bukan lantas berarti iman itu tidak ada gunanya. Iman tetap dibutuhkan. Akan tetapi, iman yang kuat ini harus ditunjang dengan sikap rendah hati dan penuh syukur. Orang yang memiliki sikap syukur akan dijauhi keinginan untuk korupsi, karena ia senantiasa mensyukuri apa yang ada pada dirinya. Ia tida mudah jauh kepada sikap iri hati atau serakah, yang menjadi benih korupsi.

Di samping itu, diperlukan juga sistem transparansi laporan keuangan. Iman yang dibantu dengan transparansi akan membuat orang tahan akan godaan uang. Transparansi merupakan salah satu langkah pencegahan agar orang tidak larut dalam godaan uang dalam tindakan korupsi. Dengan transparansi, kita melibatkan orang lain sebagai pengontrol, sehingga bukan kita sendiri yang menghadapi godaan korupsi. Karena korupsi itu tumbuh dalam suasana ketertutupan.