Biskop adalah sebuah gedung hiburan. Di sana orang dapat menonton tayangan
film pada layar lebar (mirip pertunjukan layar tancap). Awalnya gedung bioskop
dijadikan tempat rekreasi atau sarana hiburan. Banyak orang menghilangkan
kepenatan hidup dengan pergi menonton film di bioskop. Akan tetapi, sejak
berkembangkan alat pemutar CD sehingga orang dapat menonton film di rumah,
peran bioskop dewasa kini sedikit mengalami perubahan. Ia tidak hanya menjadi
sarana hiburan, tetapi juga ajang gengsi selain tempat pacaran.
Meski mengalami perubahan, ada satu hal yang sama pada acara nonton di
bioskop. Karena sudah menjadi kebiasaan, dari dulu hingga kini, satu acara yang
sama itu menjadi sebuah budaya. Budaya itu dapat kita lihat pada akhir atau
menjelang akhir acara nonton bioskop. Ketika pada layar muncul tulisan “The
End”, maka ada banyak penonton sudah mulai berdiri dan berjalan keluar.
Mereka tidak lagi membaca beberapa tulisan akhir yang muncul, yang biasanya
berisi daftar panjang pemeran dan pendukungnya. Malah, ketika cerita film sudah
menunjukkan gejala akhir (biasanya waktu tokoh antagonisnya mati dan sang
jagoan bertemu dengan pujaan hatinya), sudah ada penonton yang pergi
meninggalkan gedung bioskop. Inilah budaya bioskop.
Ternyata budaya bioskop ini sudah merasuk dalam kehidupan menggereja, khususnya pada acara perayaan ekaristi. Di beberapa paroki dapat kita temui fenomena serupa. Ada banyak umat pergi meninggalkan gedung gereja saat perayaan ekaristi belum selesai. Ada yang keluar setelah komuni. Tak sedikit juga yang pulang saat pengumuman dibacakan. Lebih parah lagi, hampir sebagian besar umat keluar saat lagu penutup masih sedang dinyanyikan, sementara imam dan rombongannya masih di panti imam. Lagu penutup seakan mengiringi langkah umat keluar dan membiarkan imam dan rombongannya mengatur sendiri.