Jumat, 01 Januari 2021

ORANG KUDUS DENGAN NAMA AGNES / MARGARETA

Setiap orang tentulah mempunyai nama. Bagi orang kristen katolik, nama tidak hanya sekedar kumpulan huruf yang membentuk kata, tapi harus memiliki makna. Karena dari makna itulah akan terbentuk identitas dan kepribadian seseorang. Setidaknya makna yang terkandung pada sebuah nama mempunyai 2 jenis atau kategori, yaitu makna dari kata yang terkandung pada nama itu, dan makna yang terkandung dalam nama itu. Untuk jenis yang pertama dapat ditemui pada nama GRACE. Kata itu mempunyai makna rahmat atau berkat. Dengan memberi nama itu, maka orang yang menyandangnya diharapkan dapat menjadi berkat bagi orang lain. Hal inilah yang akan membentuk kepribadiannya di kemudian hari. Untuk jenis kedua dapat ditemui pada nama ADRIANUS. Kata ini merujuk pada nama orang kudus, sehingga orang yang menyandang nama ini diharapkan akan menghidupi teladan hidup orang kudus tersebut. Hal inilah yang akan membentuk kepribadiannya di kemudian hari.

Rabu, 30 Desember 2020

BEGINILAH UANG PAROKI DIKORUPSI


Korupsi sudah merajalela merasuk ke dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat. Ia menjadi budaya, yang tak bisa lepas dari kehidupan manusia. Ketika masalah korupsi Al-Qur’an muncul, seakan tak ada lagi bagian hidup manusia yang luput dari korupsi. Agama yang mengurus moral dan akhlak manusia pun sudah dirasuki budaya korupsi. Kesucian agama telah hancur karena korupsi.

Bagaimana dengan Gereja? Apakah Gereja sebagai lembaga suci bebas dari korupsi? Apakah budaya korupsi sudah merasuki para pejabat Gereja, seperti uskup dan imam? Mungkin sebagian orang mengatakan bahwa itu mustahil, karena uskup dan imam sudah mengikrarkan janji (kaul) kemiskinan yang menjauhkan mereka dari kemewahan harta kekayaan. Janji kemiskinan membuat mereka dapat melawan godaan korupsi.

Bukan maksud saya untuk menuduh, tapi saya berangkat dari asumsi dasar bahwa setiap manusia rentan terhadap godaan uang; uskup dan imam itu adalah manusia. Dari asumsi ini dapatlah disimpulkan bahwa korupsi bisa juga dilakukan oleh para pejabat Gereja itu. Artinya, budaya korupsi dapat juga merasuki Gereja.

Bagaimana praktek korupsi dilakukan di Gereja? Inilah yang hendak dipaparkan dalam tulisan ini. Dalam tulisan ini, Gereja yang dimaksud adalah paroki, dan saya, sebagai pastor paroki, adalah pelakunya. Karena itu, pertanyaannya adalah bagaimana saya mengorupsi uang paroki?

Yang pertama sekali saya lakukan adalah membuat sistem keuangan tertutup dan tunggal. Artinya, keuangan paroki hanya diatur dan diketahui oleh saya. Bendahara paroki hanya membuatkan pembukuaannya. Dewan Pastoral Paroki (DPP) dan pastor pembantu pun tidak tahu. Mereka baru diberitahu pada laporan akhir tahun dalam rapat DPP pleno yang waktu pertemuan itu saya batasi. Tentulah mereka tidak akan mengetahui secara detail data-data keuangan selama satu tahun, karena yang saya berikan hanyalah laporan rekapitulasinya.

Untuk menguatkan sistem ini saya akan mengatakan kepada umat kutipan Injil, “Janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu.” (Matius 6: 3). Dengan pernyataan ini umat pun tidak akan berusaha untuk mencari-cari tahu soal keuangan. Selain itu mereka sudah PERCAYA bahwa semua pastor itu BAIK, karena itu tak mungkin pastor akan mencuri uang Gereja.

Dengan sistem ini, saya akan dengan leluasa mengambil uang paroki. Uang kolekte hari Minggu (misa Sabtu sore dan Minggu pagi) sesekali saya catut. Sekalipun diumumkan minggu berikutnya, saya yakin tak ada umat yang tahu kalau uang kolekte sudah dicatut. Misalnya, uang kolekte misa Sabtu sore tercatat Rp 1.525.000. Saya ambil Rp 300.000, sehingga minggu depan diumumkan bahwa kolekte misa Sabtu sore sebesar Rp 1.225.000. Pasti tidak ada umat yang tahu, bahkan petugas penghitung dan pencatat kolekte, karena mereka tidak memiliki pegangan dan sudah percaya bahwa pastor itu baik dan jujur.

Selasa, 29 Desember 2020

BENARKAH NATAL BERASAL DARI TRADISI KAFIR?


Tak sedikit umat islam yang meyakini bahwa peristiwa natal atau kelahiran Yesus Kristus, yang jatuh pada tanggal 25 Desember, berasal dari tradisi pagan atau kafir. Setidaknya 2 mualaf, Hja Irene dan Deddy Corbuzier, pernah melontarkan pernyataan terkait dengan hal tersebut. Karena mereka awalnya adalah kristen katolik, tentu saja umat islam yang mendengarnya percaya. Karena itu tak heran jika umat islam percaya bahwa orang kristen telah mengambil alih tradisi kafir menjadi perayaannya. Apa yang pernah diungkapkan oleh para mualaf ini dapat dimaknai dua hal, (1) sebuah kebenaran bahwa iman orang kristen didasarkan pada ajaran kafir; dan (2) sebagai amunisi bagi umat islam untuk "menyerang" orang kristen.
Sebenarnya masalah ambil alih atau adopsi tradisi orang lain, bahkan termasuk yang kafir, bukanlah hal yang baru dan tabu. Agama islam juga telah melakukan hal tersebut. Tradisi haji, yang dalam agama islam merupakan salah satu kewajiban bagi umat islam, adalah tradisi yang sudah ada sebelum adanya islam. Itu merupakan tradisi kafir, atau istilah halusnya, tradisi jahiliyah. Demikian pula batu kab’ah, yang diyakini umat islam sebagai makam Ibrahim, sudah menjadi pusat penyembahan dewa-dewi kaum kafir sebelum Muhammad lahir. Ini merupakan fakta sejarah.
Akan tetapi, bukan itu yang menjadi inti persoalannya. Inti persoalan ada pada KEBENARAN. Romo Yustinus Slamet berkata, “Kebohongan yang dipropagandakan akan menjadi kebenaran, tetapi kebenaran yang disembunyikan lama-lama akan terdengar sebagai kebohongan.” Apa yang dilakukan oleh Hja Irene dan Deddy terkait perayaan natal adalah sebuah propaganda kebohongan. Mereka berusaha membenarkan sebuah kebohongan.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa 25 Desember adalah pengganti festival kafir Romawi yang disebut Saturnalia. Dalam perjalanan waktu Gereja mengadopsinya menjadi perayaan natal. Benarkan demikian? Saturnalia merupakan festival musim dingin untuk memperingati titik terjauh matahari dari garis khatulistiwa, yang jatuh pada tanggal 22 Desember. Perayaan festival ini dimulai dari tanggal 17 hingga 23 Desember. Dimana kaitannya dengan 25 Desember? Sama sekali tidak ada. Karena itu, festival Saturnalia tidak cocok dihubungkan dengan tanggal 25 Desember.