Maka apakah kamu (muslimin) sangat mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, sedangkan segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah memahaminya, padahal mereka mengetahui.
Umat islam yakin bahwa Al-Qur’an merupakan
firman yang berasal dari Allah sendiri. Firman itu disampaikan secara langsung
kepada nabi Muhammad SAW (570 – 632 M). Berhubung Muhammad adalah seorang yang
tidak bisa membaca dan menulis, maka setelah mendapatkan firman Allah itu dia
langsung mendiktekan kepada pengikutnya untuk ditulis. Semua tulisan-tulisan
itu kemudian dikumpulkan, dan jadilah kita yang sekarang dikenal dengan nama
Al-Qur’an. Karena itu, apa yang tertulis dalam Al-Qur’an adalah merupakan
kata-kata Allah sendiri. Tak heran bila umat islam menganggap kitab tersebut
sebagai sesuatu yang suci, karena Allah sendiri adalah mahasuci. Penghinaan
terhadap Al-Qr’an adalah juga penghinaan terhadap Allah, dan orang yang
melakukan hal tersebut wajib dibunuh. Ini merupakan kehendak Allah sendiri,
yang tertuang dalam Al-Qur’an.
Keyakinan umat islam bahwa Al-Qur’an
merupakan kata-kata Allah didasarkan pada firman Allah sendiri. Ada banyak ayat
dalam Al-Qur’an, yang merupakan perkataan Allah, yang mengatakan hal tersebut.
Al-Qur’an diturunkan agar menjadi petunjuk bagi umat islam. Setiap umat islam
wajib mengikuti apa yang dikatakan dalam Al-Qur’an. Untuk kemudahan ini maka
sengaja Allah mudahkan Al-Qur’an untuk peringatan (QS al-Qamar: 17). Dengan
kata lain, Al-Qur’an adalah kitab yang sudah
jelas dan mudah dipahami.
Berangkat dari keyakinan umat islam ini, maka kutipan ayat Al-Qur’an di atas haruslah dikatakan merupakan perkataan Allah. Apa yang tertulis di atas, kecuali yang ada dalam tanda kurung, merupakan kata-kata Allah sendiri yang disampaikan kepada Muhammad. Kutipan di atas hanya terdiri dari 3 kalimat, yang digabung menjadi 1 kalimat majemuk. Sekalipun Al-Qur’an merupakan wahyu yang disampaikan Allah kepada Muhammad, namun dalam kutipan di atas sepertinya konteksnya bukan dalam arti pembicaraan antara 2 orang teman. Patut diduga bahwa Allah sebenarnya ingin bicara sesuatu dengan umat islam, tapi hal itu disampaikan melalui Muhammad. Karena itulah, kata “kamu” dalam kutipan di atas diberi penjelasan dalam tanda kurung sebagai umat islam atau “muslimin”. Jika konteksnya adalah pembicaraan antara teman, maka kata “kamu” dalam kutipan di atas akan diberi keterangan sebagai Muhammad sebagaimana banyak ditemukan dalam Al-Qur’an (misalnya, QS al-Baqarah: 96).
Dalam kutipan di atas, Allah menggunakan
kata “mereka” sebanyak 4 kali dengan 5 kata kerja yang mengikutinya.
Pertama-tama, siapa yang dimaksud dengan “mereka” ini? Pertanyaan ini sangat
sulit untuk dipahami. Tiga ayat sebelumnya sama sekali tidak dapat memberikan
jawaban. Ayat 72 – 74 sama sekali tidak memuat kata “mereka” atau pun kata yang
bisa dijadikan rujukan untuk penjelasan kata “mereka”. Baru di 5 ayat sebelumnya
kita dapat menemukan penjelasan. Ayat 67 – 71 berisi wahyu Allah dalam konteks
kisah nabi Musa. Dalam 5 ayat ini terdapat beberapa kata “mereka”, dan kata ini
merujuk pada orang Israel pada masa Musa.
Apakah yang dimaksud kata “mereka” dalam
kutipan di atas (ayat 75) adalah orang Israel pada masa Musa? Tentulah hal ini
tidak langsung menyelesaikan persoalan. Jika kata “mereka” dalam kutipan di
atas adalah orang Israel pada masa Musa, bagaimana hal tersebut dikaitkan
dengan kata “muslimin” sebagai penjelasan kata “kamu”? Hal ini berarti kaum
muslimin sudah ada sejak jaman Musa. Atau
dengan perkataan lain, yang dimaksud umat islam (kaum muslimin) adalah
orang Israel, atau juga sebaliknya. Tentulah sangat membingungkan, dan ini
jelas-jelas bertentangan dengan Al-Qur’an sebagai kitab yang jelas.
Kita bisa mengatakan bahwa kutipan ayat di
atas merupakan awal wahyu baru, yang tidak ada kaitan langsung dengan ayat-ayat
sebelumnya. Namun, tentulah sangat mengherankan bila pada awal baru ini Allah
menggunakan kata “mereka” tanpa ada kejelasan. Dalam tata bahasa, kata ini
dikenal sebagai kata ganti orang. Karena fungsinya sebagai pengganti, maka
haruslah sebelumnya sudah ada kata yang akan diterangkan oleh kata ganti
tersebut. Hanya sayangnya, hal ini tidak tampak. Jika memperhatikan ayat-ayat
sesudahnya, kata “mereka” dalam kutipan wahyu Allah di atas tetap tidak jelas.
Memang dalam ayat 76, 77, 78, dst terdapat juga kata “mereka”, namun tetap
tidak bisa menjawab pertanyaan, siapa yang dimaksud dengan “mereka” itu?
Berhadapan dengan kebingungan dan
kekacauan ini, umat islam dewasa kini menafsirkan kata “mereka” ini dengan kaum
Yahudi yang ada di Madinah. Kebetulan wahyu ini turunnya di sana, dan orang
Yahudi pun ada. Hal ini tampak dalam catatan kaki no. 35 pada “Al-Qur’an
dan Terjemahannya, Departemen Agama RI, Edisi Terkini Revisi Tahun 2006”. Di
sana dikatakan, “Yang dimaksud adalah orang-orang Yahudi di Madinah yang
mengubah-ubah isi Taurat, terutama mengenai nabi Muhammad saw.” Apa yang
ditulis dalam catatan kaki no. 35, kembali dipertegas dalam catatan kaki no.
36, yang mengatakan bahwa sebenarnya dalam Kitab Taurat sudah dinubuatkan soal
kedatangan Muhammad sebagai nabi terakhir, namun orang Yahudi
menyembunyikannya, karena takut akan menjadi bumerang bagi mereka.
Tafsiran ini memang masuk akal. Dan
kebetulan kata “mereka” dalam ayat-ayat sesudahnya pun sangat pas bila dimaknai
dengan orang Yahudi. Apalagi orang Yahudi ada di Madinah. Sekalipun masuk akal,
pemaknaan kata “mereka” sebagai orang Yahudi masih terasa janggal. Jika ayat 75
ini merupakan awal wahyu baru, yang terpisah dan berbeda dengan ayat-ayat
sebelumnya, kenapa Allah tidak langsung memakai kata “orang Yahudi”, sehingga
bisa menjelaskan kata ganti “mereka” pada ayat-ayat berikutnya?
Kita tinggalkan dulu kekacauan logika
bahasa wahyu Allah ini. Sekarang kita lihat maksud dan pesan dari wahyu Allah
ini. Seperti yang sudah dikatakan, kutipan ayat di atas terdiri dari 3 kalimat,
yang menjadi 1 kalimat majemuk. Kalimat pertama berisi pertanyaan retoris,
dimana kaum muslimin sangat mengharapkan orang
Yahudi akan percaya kepada kaum muslimin. Dua kalimat berikutnya bisa
dilihat sebagai jawaban dari pertayaan retoris tadi. Intinya adalah ada orang
Yahudi yang telah mendengar firman Allah, sehingga mereka tahu dan paham, akan
tetapi mereka mengubahnya. Jika dua kalimat terakhir dikaitkan dengan kalimat
pertama, maka kita bisa mengetahui maknanya, yaitu orang islam jangan berharap
bahwa orang Yahudi akan percaya pada islam, karena mereka telah mengubah isi firman
Allah.
Jika membaca kutipan teks di atas, yang
diubah orang Yahudi adalah firman Allah. Menjadi pertanyaan, firman Allah yang
mana dan yang dimana telah diubah? Berhubung ayat 75 ini sama sekali tidak ada
kaitan dengan ayat-ayat sebelumnya, maka jawaban atas pertanyaan itu tidak ada
di sana. Dan ternyata pada ayat-ayat berikutnya juga tidak jelas dan tegas
dikatakan. Memang pada ayat 78 ada kata “Kitab” yang diberi keterangan sebagai
Taurat, namun kata itu sama sekali tidak menjelaskan, baik langsung maupun
tidak langsung, soal pengubahan firman Allah itu. Kitab Taurat yang ada dalam
ayat 78 sama sekali tidak punya korelasi dengan firman Allah yang telah diubah,
yang terdapat dalam ayat 75.
Sekali lagi terdapat ketidak-jelasan wahyu
Allah, sekalipun Allah telah mengatakan bahwa Al-Qur’an merupakan kitab yang
jelas. Kejelasan wahyu Allah ini baru ditemukan pada tafsiran umat islam
kemudian. Artinya, wahyu Allah di atas, pada dirinya sendiri, adalah tidak
jelas; baru menjadi jelas setelah ada tafsiran. Yang menarik adalah bahwa
tafsiran itu bukan atas kata-kata yang ada, tetapi langsung mengarah pada
isinya. “Firman Allah” yang dimaksud adalah Kitab Taurat, dan yang diubah
adalah ramalan kedatangan Muhammad. Bagaimana tafsiran atas wahyu Allah
tersebut?
Jadi, umumnya umat islam menafsirkan bahwa
kehadiran nabi Muhammad sudah tertulis dalam Kitab Taurat. Ada kesan bahwa
orang islam mau mengikuti tradisi orang Yahudi dan Kristen tentang kedatangan
tokoh penting yang telah diramalkan. Namun sayangnya, nubuat tentang Muhammad
itu telah diubah, oleh orang Yahudi. Hal inilah yang kemudian membuat Allah
meminta umat islam tak usah berharap orang Yahudi akan percaya pada islam.
Tafsiran atas ayat 75 ini tampak dalam catatan kaki no. 35 “Al-Qur’an
dan Terjemahannya, Departemen Agama RI, Edisi Terkini Revisi Tahun 2006”. Lantas, apakah tafsiran demikiran sudah jelas, dan apakah benar?
Jika menggunakan akal sehat, maka sangat
terasa bahwa tafsiran tersebut tidak masuk akal. Dan jika menggunakan studi
banding, maka dapat dikatakan tafsiran tersebut tidak benar.
Yang pertama-tama membuat tafsiran
tersebut jadi kacau adalah tidak adanya jawaban atas pertanyaan firman Allah
yang dimana telah diubah. Jika
mengacu pada Kitab Taurat, kitab yang mana? Umumnya orang Yahudi dan Nasrani
memahami Kitab Taurat itu terdiri dari Kitab Kejadian, Keluaran, Imamat,
Bilangan dan Ulangan. Akan tetapi, tak ada satu orang islam pun yang bisa
menyebutkan di kitab mana telah dikatakan tentang kehadiran Muhammad, yang
kemudian diubah. Menghadapai pertanyaan ini biasanya umat islam akan
mengatakan, tentulah sekarang tidak bisa menemukan lagi karena kitab tersebut
sudah diubah. Pertanyaan lanjut adalah, jika memang telah diubah, dan Allah
tahu hal itu, kenapa Allah tidak langsung menyebutnya dalam wahyu-Nya? Hal ini
hanya akan menimbulkan kesan Allah hanya bisa menuduh tanpa bisa membuktikan.
Satu hal yang menarik untuk dicermati dari
wahyu di atas adalah tafsiran umat islam bahwa alasan orang Yahudi mengubah
firman Allah itu. Sebagaimana yang tertulis dalam catatan kaki no. 36,
dikatakan bahwa alasan orang Yahudi mengubah firman Allah itu
adalah karena takut akan menjadi bumerang bagi mereka. Apa yang dimaksud jadi
“bumerang”? Apakah kehadiran Muhammad berarti mengubah iman dan sejarah
keselamatan? Nyatanya, tak ada satu orang Yahudi pun yang masuk islam hanya
karena soal kebenaran nubuat kehadiran Muhammad dalam Kitab Taurat. Malah, jika
memang tafsiran inilah yang dimaksud Allah dalam wahyu-Nya itu, orang Yahudi
langsung menolak kenabian Muhammad, bukan lantaran telah mengetahui firman
Allah. Orang Yahudi, seperti juga orang Nasrani, sudah punya standar kriteria
untuk menilai seseorang sebagai nabi, dimana kriteria itu tidak sesuai dengan
Muhammad. Jadi, tudingan umat islam soal “bumerang” sama sekali tidak beralasan
dan tak masuk akal. Justru wahyu di atas dapat menjadi “bumerang” bagi umat
islam sendiri.
Dewasa ini, ada sekelompok umat islam
tidak lagi menggunakan “Kitab Taurat” sebagai yang dimaksud firman Allah dalam
kutipan di atas. Mungkin karena mereka tidak menemukannya setelah melakukan
penelitian panjang. Untuk menjawab firman Allah yang mana dan dimana yang telah
diubah, mereka akhirnya menafsirkan “firman Allah” itu pada janji Yesus akan
kedatangan Roh Kudus yang ada dalam Yohanes 14: 15 – 31. Tentulah, dengan
tafsiran ini kata “mereka” juga dimaknai sebagai orang Nasrani di Madinah. Tafsiran
ini seakan diperkuat lewat temuan injil Barnabas. Akan tetapi, tafsiran ini
masih menyisakan persoalan. Menafsirkan Roh Kudus sebagai Muhammad tentulah
tidak sejalan dengan perkataan Yesus lainnya yang masih terkait dengan Roh
Kudus itu. Sementara itu, injil Barnabas sendiri sudah terbukti tidak asli, dan
mengakui injil ini berarti melawan Al-Qur’an, karena beberapa ayat dalam injil
ini tidak sesuai dengan wahyu Allah.
Perlu diketahui juga bahwa kitab suci
orang Yahudi dan Nasrani, selain berisi pengajaran moral kebaikan, juga
merupakan kisah perjalanan keselamatan yang berawal dari bangsa Israel. Sudah
dari awal ditetapkan bahwa bangsa Israel adalah pilihan Allah. Sekalipun ada
bangsa-bangsa lain dikisahkan dalam kitab suci ini, semua itu dalam kaitan
dengan bangsa Israel. Dan bagi umat Nasrani, kitab sucinya itu merupakan kisah
sejarah keselamatan Allah bagi umat manusia yang berpuncak pada Yesus Kristus.
Karena itu, menampilkan Muhammad, yang adalah orang Arab, jelas-jelas jauh api
dari panggang.
Dari uraian-uraian di atas, kita dapat
menemukan beberapa poin penting sebagai kesimpulan. Dapat dikatakan bahwa
kesimpulan ini seakan menjelaskan makna “bumerang”
bagi umat islam.
1.
Kutipan di atas merupakan bentuk fitnah
Allah terhadap orang Yahudi atau juga orang Nasrani. Fitnah bisa dimaknai
sebagai menuduh tanpa bukti. Menjadi menarik, kata “fitnah” ini mempunyai
konotasi negatif sehingga harus dihindari. Tapi, kenapa Allah justru
melakukannya? Pada QS al-Baqarah: 193, Allah ingin agar tidak ada lagi fitnah, namun
fitnah yang hanya ditujukan pada kaum muslim (dan juga Allah) saja. Untuk fitnah kepada orang non
muslim diperbolehkan. Allah macam apa ini?
2.
Dari kutipan wahyu di atas, bisa dikatakan
kalau Allah itu pembohong. Kata “bohong” bisa dimaknai sebagai mengatakan yang
tidak benar. Sama seperti kata “fitnah”, berbohong juga selalu dinilai sebagai
perbuatan yang tidak baik sehingga harus dihindari. Tapi, kenapa Allah justru
melakukannya? Jika menelaah ayat-ayat Al-Qur’an yang terkait dengan ini, satu
kesimpulan didapat adalah bahwa memang Allah itu pembohong. Allah sendiri
mengakui hal tersebut. QS an-Nisa
ayat 142 berisi pengakuan Allah bahwa diri-Nya adalah penipu. Sungguh
menyedihkan Allah yang demikian.
3.
Kutipan wahyu di atas hendak
menunjukkan superioritas dan arogansi islam atas agama lain. Umat islam
menggunakan wahyu Allah ini, sekalipun itu fitnah, sebagai dasar untuk
mengatakan kitab suci agama lain sudah palsu atau tidak asli lagi. Coba
seandainya fitnah itu ditujukan kepada Al-Qur’an. Sudah dapat dipastikan umat
islam akan marah. Ini mau memperlihatkan tidak adanya toleransi dalam islam.
Superioritas dan arogansi saja sudah bertentangan dengan spirit toleransi.
Karena itu, bila ada umat islam mengatakan agamanya adalah toleran, itu
hanyalah retorika belaka.
4.
Tafsiran atas wahyu di atas
mau menunjukkan bahwa Allah memerlukan dukungan dari agama lain atas kenabian
Muhammad. Sepertinya Allah kurang percaya diri dengan wahyu-Nya sendiri untuk
menjelaskan bahwa Muhammad adalah nabi terakhir. Allah masih membutuhkan
pengakuan dari agama lain, entah itu lewat kitab sucinya maupun dari mulut
umatnya. Dan ketika itu tidak didapat, Allah kecewa dan melontarkan fitnah. Hal
ini menimbulkan kesan Allah sibuk mencampuri urusan orang lain, dan ini seakan
menjadi spirit umat islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar