Selama 10 tahun terakhir,
Natasya, seorang wanita katolik dari Matraman, Jakarta Timur, tidak menerima
komuni.
“Itu adalah sesuatu yang
sulit,” katanya. “Tapi aku tidak punya pilihan. Ini merupakan ajaran Gereja
Katolik. Saya harus mematuhinya,” kata ibu satu anak ini, yang sadar dirinya “hidup
dalam dosa” sehingga tak dapat menerima komuni.
Natasya menikah dengan
seorang pria muslim melalui pernikahan sipil tahun 2000. Tapi dia merasa sulit
untuk beradaptasi dengan suaminya yang berbeda agama. Pasangan ini bercerai 11
tahun kemudian.
“Pada awalnya saya merasa
kesal dengan ajaran Gereja,” katanya. “Yesus datang untuk orang berdosa, kan?”
Akhirnya Natasya pergi
menemui seorang imam di paroki. “Saya berpikir bahwa Yesus tidak pernah menolak
mereka yang bersedia untuk bertobat,” katanya.
Menanggapi seruan Paus
Fransiskus tentang Amoris Laetitia, Natasya
merasa lega. “Saya setuju dengan Paus Fransiskus,” katanya. “Para pastor harus
lebih memahami situasi yang dihadapi oleh umat katolik.”
Pendekatan
Pastoral
Seruan apostolik Paus
Fransiskus, Amoris Laetitia atau ‘Sukacita
dalam Cinta’, datang pada saat banyak umat katolik menyerukan untuk “mengurangi
penghakiman dan lebih berbelarasa.”
Cory Villafania, seorang
pensiunan guru dan salah satu peserta awam dalam Sinode Para Uskup tentang
Keluarga tahun 2015 di Vatikan, mengatakan seruan Paus “memberi kami makna yang
lebih tentang mencintai, terutama dalam keluarga.”
Dia mengatakan Amoris Laetitia menunjukkan bahwa “cinta
adalah kesabaran … cinta berusaha memahami dan berdialog.” Dokumen itu
menghormati pribadi manusia meskipun ada kekurangannya.
Villafania mengakui bahwa
ada masalah yang tidak ditangani atau tidak diberi banyak penekanan dalam
dokumen itu. Dia mengatakan masalah ini harus ditangani dengan “kelembutan,
inklusif dan pendampingan.”
Pendekatan pastoral
diperlukan untuk mengatasi masalah budaya lokal, kata Villafania, seraya
menambahkan bahwa Amoris Laetitia memberikan
para pastor kebebasan “untuk membedakan dan mempertimbangkan realitas di daerah
mereka.”
Pastor Hibertus Hartana MSF,
Sekretaris Eksekutif Komisi Keluarga KWI, mengatakan bahwa seruan Bapa Suci
merupakan tantangan bagi Gereja untuk lebih memperhatikan kehidupan keluarga. “Ini
berarti bahwa kita harus berpihak pada kehidupan nyata keluarga dengan semua
masalah konkret mereka,” kata imam itu. “Pendekatan ini tidak hanya tentang
ajaran, tetapi juga bagaimana kehadiran Gereja Katolik, melibatkan diri dan
menyapa keluarga melalui perhatian spiritual, penghiburan dan dorongan.”
Paus Fransiskus menekankan
dalam Amoris Laetitia bahwa pelayanan
pastoral untuk keluarga harus konsisten sesuai situasi kehidupan dan pengalaman
nyata keluarga.
Bergulat
dengan Misi Paus tentang Belarasa
Di Filipina, umat katolik
berharap para uskup akan menerjemahkan dokumen Paus, yang mendorong tema
belarasa dalam pedoman pastoral mereka.
“Ini adalah sebuah dokumen
besar,” kata Antonio La Vina, seorang professor di Universitas Ateneo de Manila
yang dikelola Yesuit. “Saya senang bahwa Paus Fransiskus menekankan belarasa,
hati nurani dan kearifan.”
Dia mencatat bahwa dokumen
itu mengingatkan semua orang untuk tidak mendiskriminasikan kaum gay dan
menunjukkan bahwa seks bukan hanya untuk prokreasi.
Uskup Agung Socrates
Villegas, ketua presidium Konferensi Waligereja Filipina, menekankan bahw Amoris Laetitia tidak berangkat dari
ajaran Gereja. “Hal ini, Paus ingin melihat perubahan yang signifikan,” kata
Uskup Agung Villegas dalam sebuah surat pastoral kepada umat katolik yang
dirilis menyusul seruan Paus.
Prelates itu mengatakan Paus
Fransiskus menghendaki Gereja untuk menunjukkan sikap “belarasa, tidak
mengabaikan dosa, tetapi mencintai orang berdosa, dan berdoa untuk dia, membantu
dia dan merangkul dia bahwa ia mungkin meninggalkan dosa dan menerima sepenuh
hati terhadap kasih karunia yang terus diberikan kepada dia.”
Harapan
untuk Rekonsiliasi
Selama kunjungan Paus
Fransiskus ke Sri Langka dan Filipina tahun 2015, pria dan wanita, pasangan suami-isteri,
gay dan lesbian, pasangan di luar nikah, serta pasangan yang berjuang untuk
menggunakan kontrasepsi berada di antara kerumumnan massa yang berbaris di
jalan-jalan Colombo dan Manila. Beberapa percaya karismatik Paus Fransiskus
akan membuat sebuah revolusi doktrinal dalam Gereja dimana perubahan waktu
berabad-abad. Tetapi mereka, yang telah merasa seperti orang di luar Gereja, mengatakan
pesan Paus Fransiskus tentang belarasa memicu harapan untuk rekonsiliasi.
Berbagai reaksi terhadap Amoris Laetitia – pujian, optimisme,
waspada, ketakutan dan bahkan penolakan.
“Bagi beberapa orang, Paus
Fransiskus tidak pergi cukup jauh, bagi yang lain, ia telah melintasi
batas-batas doktrinal,” kata La Vina. “Saya pikir dia memilih berada di
tengah-tengah dengan pendekatan pastoral bahwa umat katolik akan menghormati.”
Uskup Agung Villegas
menekankan bahwa Paus tidak memaafkan “siapa pun yang mungkin salah atau
berdoa,” karena ia menyerukan untuk lebih rendah hati, persahabatan, bahkan
persekutuan dan solidaritas dengan mereka yang hidupnya menyimpang dari ajaran
Gereja tradisional.
Menjaga
Iman
Pada Januari 2015 Liberty
Blancaflor menghabiskan 6 jam di bahwa hujan lebat menunggu Paus lewat di
sepanjang jalan Roxas Boulevard di Manila. Sebagian besar waktu, dia secara
diam-diam berdoa “kepada Roh Kudus untuk menjamah hati klerus yang keras.”
Tahun 1990-an Blancaflor
berada di tengah-tengah hubungan yang sulit. Dia meminta nasehat pastoral dari
seorang imam yang mengatakan isterinya harus menahan diri menerima komuni
hingga dia memutuskan hubungannya.
“Saya pikir dia akan
membantu saya, tetapi ia menolak. Dia bahkan mengancam saya,” kata Blancaflor
kepada ucanews.
Dia terus mencari bimbingan
rohani selama 2 tahun. Dia berjuang untuk melarikan diri dari pasangan yang
perlakuan kasar. Dia tetap seorang katolik yang taat, menghadiri 2 sesi doa
mingguan, selain misa hari Minggu. Dia menikah lagi dan menerima komuni. Tapi,
ia tidak lagi pergi ke tempat pengakuan.
Tantangan
untuk Para Pastor
Pastor Hartana dari
Indonesia mengakui bahwa para pastor harus belajar dari keluarga. “(Banyak
imam) sering tidak memiliki ketrampilan untuk memahami komplesitas keluarga.”
Dia mengatakan
keluarga-keluarga katolik di Indonesia sering dibebani oleh masalah keuangan
dan tantangan lainnya. Dia menegaskan pula bahwa para pastor di Indonesia
menggunakan ‘kearifan lokal’ sebagai bagian dari pelayanan pastoral mereka
untuk keluarga. Dia mengungkapkan bahwa berbagai budaya di negari ini, sebuah ‘proses
inkulturasi’ diperlukan.
Namun, Cory Villafania
mengatakan pernikahan masih mungkin bahkan di antara orang dari agama yang
berbeda selama “cinta lebih kuat dari perbedaan.”
Dia mencatat bahwa beberapa
umat muslim dan Kristen mengabaikan agama mereka untuk menikah. “tidak ada
bimbingan,” kata Villafania. “Jika Anda seorang muslim taat atau katolik
sejati, Anda akan mencari kesepakatan dan pemahaman sebelum bersatu.”
Namun Uskup Gerardo Alminaza
dari San Carlos mengatakan Amoris
Laetitia “tidak harus menyelesaikan segala sesuatu.” Dia mengatakan bahwa
dengan dokumen itu Paus telah mempercayakan para uskup dan pastor di berbagai
daerah bekerja “mendampingi, mengintegrasikan dan mengungkapkan kedekatan dan
kepedulian terhadap mereka yang terluka atau merasa dikecualikan.”
“Dalam membentuk hati
nurani, kami memberdayakan umat beriman kami untuk membuat keputusan dalam
terang Firman dan iman kita,” kata Uskup Alminaza. Dia mengatakan tantangan
bagi para uskup dan imam adalah memberikan “pendampingan memadai” sehingga
pasangan dan keluarga merasa dituntun, diberdayakan dan didukung.
sumber: UCAN Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar