HARUS LIHAT KONTEKSNYA
Seorang guru mengeluh di hadapan para muridnya. Dia
menceritakan pengalaman buruk yang belum lama menimpa dirinya. Dia katakan
bahwa dirinya menerima kiriman sms dari seseorang lengkap dengan gambar porno.
Dia sangat marah. Dia berpikir orang akan mengira dirinya suka gambar porno.
Karena peristiwa itu, dia tak mau lagi menggunakan HP.
Seorang rekan menghampirinya. Dia sangat prihatin atas
apa yang dialami sang guru. Awalnya pun dia marah mendengar kisah temannya itu. Dia tahu sobatnya itu alergi dengan hal-hal yang berbau pornografi.
“Sobat, saya turut sedih atas apa yang kau alami. Tapi
kita harus melihat peristiwa itu dari dua sudut yang berbeda.”
“Maksudmu?”
“Apakah orang mengirim gambar porno itu tanpa konteks
atau dengan konteks? Tanpa konteks berarti orang hanya sekedar iseng saja,
sedangkan dengan konteks berarti orang punya maksud.”
“Punya maksud gimana? Itu kan gambar porno. Saya ini
guru. Punya jabatan mulia. Orang itu pasti sengaja untuk menghancurkan martabat
mulia saya.”
“Maaf, sobat. Bukankah beberapa bulan lalu ada skandal
seks muridmu? Kamu membelanya dengan cara minta bukti. Untuk skandal seks,
buktinya tak jauh dari hal-hal yang berbau pornografi. Mungkin saja pengirim
gambar porno itu mau menunjukkan bukti. Jika pengirim punya maksud tertentu, sementara kamu menganggapnya sebagai perbuatan iseng, berarti kamu tidak menghargai niatnya. Kamu malah menganggapnya sebagai orang iseng yang kurang ajar.”
Sang guru hanya terdiam saja.
“Kalau memang itu merupakan bagian dari bukti, mau tidak
mau kamu harus menanggapinya. Bukan dengan cara menghindar, melainkan
menindak-lanjutinya. Kamu harus bijak. Karena kalau tidak, orang akan menilai
kamu hanya bisa menuntut, tapi ketika orang memenuhinya kamu malah lari tak menanggapinya. Kemuliaan
jabatan kita terletak pada bagaimana kita menyikapi suatu persoalan.”
Sang guru masih tetap terdiam. Dalam diamnya dia mencerna
kata-kata sahabatnya itu. Namun ia sudah terlanjur basah. Dia selalu
mendengarkan kata-kata penasehatnya, bukan kata hatinya.
Batam, 2 Mei 2015
by: adrian
Baca
juga refleksi lainnya:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar