Sungguh,
Kami telah menurunkan ayat-ayat yang memberi penjelasan. Dan Allah memberi
petunjuk siapa yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus. [QS 24: 46]
Al-Qur’an merupakan pusat spiritualitas umat islam. Di sana
mereka tidak hanya mengenal Allah yang diimani dan disembah, tetapi juga
mendapatkan pedoman dan tuntunan hidup yang akan menghantar mereka ke surga. Al-Qur’an biasa
dijadikan rujukan umat islam untuk bersikap dan bertindak dalam hidup
keseharian, selain hadis. Umat islam menyakini Al-Qur’an
langsung berasal dari Allah SWT kepada
nabi Muhammad SAW. Keyakinan ini didasarkan
pada pernyataan Allah sendiri, yang dapat dibaca dalam beberapa surah Al-Qur’an. Jadi, Allah sendiri telah menyatakan bahwa Al-Qur’an merupakan
perkataan-Nya, sehingga
ia dikenal juga sebagai kalam Allah. Karena itu, Al-Qur’an dihormati sebagai
sesuatu yang suci, karena Allah sendiri adalah mahasuci. Pelecehan terhadap Al-Qur’an sama saja dengan pelecehan kepada Allah atau penyerangan
terhadap keluhuran Allah. Orang yang melakukan hal itu harus dihukum berat
dengan cara dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan
dan kaki mereka secara silang (bdk. QS al-Maidah: 33).
Selain
itu juga umat islam melihat Al-Qur’an sebagai keterangan
dan pelajaran yang jelas. Ini juga didasarkan pada perkataan Allah sendiri.
Sebagai pedoman dan penuntun jalan hidup, Allah memberikan keterangan dan
pelajaran yang jelas sehingga mudah dipahami oleh umat islam. Tak sedikit ulama
menafsirkan kata “jelas” di sini dengan sesuatu yang telah terang benderang
sehingga tak perlu susah-susah menafsirkan lagi pesan Allah itu. Dengan
perkataan lain, perkataan Allah itu sudah jelas makna dan pesannya, tak perlu
lagi ditafsirkan. Maksud dan pesan Allah sesuai dengan apa yang tertulis dalam Al-Qur’an. Penafsiran
atas wahyu Allah bisa berdampak pada ketidak-sesuaian dengan kehendak Allah
sendiri.
Berangkat dari dua premis di atas, maka bisalah dikatakan bahwa kutipan ayat Al-Qur’an di atas merupakan kata-kata Allah sendiri. Pada waktu itu Allah berkata kepada Muhammad, “Sungguh, Kami telah menurunkan …….” Tampak jelas kutipan wahyu Allah ini terdiri dari dua kalimat. Dilihat dari nama surahnya, dapatlah dikatakan bahwa kutipan wahyu ini turun di Madinah. Artinya, Allah menyampaikan wahyu ini setelah kejadian hijrah. Dibutuhkan studi khusus untuk mengetahui konteks historis, sosial dan peristiwa yang melatar-belakangi turunnya wahyu Allah ini. Jika melihat atau membaca ayat-ayat sebelumnya bisa dikatakan bahwa saat itu Allah sedang memberikan “pelajaran” tentang pengetahuan alam (ayat 40 – 45).
Sekilas
tidak ada yang aneh dengan kutipan ayat di atas. Kalimat pertama dari wahyu
Allah ini sudah jelas. Kata “Kami” di sini merujuk pada Allah yang berbicara.
Kata “sungguh” hendak memberi tekanan dan ketegasan bahwa yang menyampaikan kata-kata
“menurunkan ayat-ayat” ini adalah Allah, bukan orang lain. Dan Allah yang
dimaksud adalah Allah yang saat itu sedang berbicara. Frase “ayat-ayat yang memberi penjelasan”
pertama-tama harus dilihat sebagai ayat-ayat sebelum ayat 46 ini. Di sini wahyu
Allah memberikan penjelasan tentang fenomena yang biasa terjadi di alam,
seperti kegelapan di dasar laut, awan yang bergerak, hujan turun dari awan,
tentang kilat dan juga tentang hewan di air dan darat. Akan tetapi, frase ini
bisa juga dimaknai sebagai ayat-ayat Al-Qur’an; dan ini berarti juga sebagai
Al-Qur’an itu sendiri.
Sedikit
persoalan baru muncul dengan kalimat kedua: “Dan Allah memberi petunjuk siapa yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus.”
Tetap harus dipahami bahwa kalimat ini diucapkan oleh Allah sendiri. Jadi, bisa
dikatakan bahwa pada waktu itu Allah berkata kepada Muhammad, “Dan Allah memberi petunjuk….” Dimana letak permasalahan
wahyu Allah ini? Setidaknya ada dua problematik yang muncul pada kalimat kedua
wahyu Allah ini.
Masalah
pertama datang dari kata “Allah”. Pada kalimat kedua ini Allah yang berfirman
menyebut kata “Allah”, padahal pada kalimat pertama Allah menggunakan kata
“Kami”. Pertanyaan sederhana adalah siapa yang dimaksud dengan kata “Allah” itu?
Sangatlah tidak mungkin bila mengatakan bahwa “Allah” itu adalah Allah yang
sedang berkata-kata, karena jika demikian maka Allah di sini tidak konsisten
dan suka berubah-ubah. Kenapa pada kalimat pertama Allah memakai kata “Kami”,
sedangkan pada kalimat kedua kata “Allah”? Ketidak-konsistenan ini agaknya
mencemarkan sifat kekal Allah.
Karena
tidak mungkin jika mengatakan bahwa “Allah” di sini adalah Allah yang sedang
bersabda, maka haruslah dikatakan bahwa kata “Allah” itu merujuk pada sosok
Allah yang lain. Inilah masalah yang kedua: Allah tidak hanya satu dan esa,
tapi ada Allah yang lain lagi. Allah yang lain inilah yang memberikan petunjuk.
Dengan demikian, yang memberi petunjuk itu bukan Allah yang sedang berfirman,
tetapi Allah yang lain. Konsekuensi logisnya adalah ada dua Allah.
Adanya
dua Allah ini semakin ditegaskan dan diperjelas dalam kalimat yang
mengikutinya, “yang Dia kehendaki ke
jalan yang lurus.” Pada kalimat pendek ini terdapat kata
ganti “dia” dengan penulisan “D” kapital. Tentulah kata “Dia” di sini dimaknai
sebagai Allah (ini ditandai dengan penulisan huruf “d” kapital), dan Allah ini
tidak sama dengan Allah yang berbicara. Dari segi ilmu bahasa, kata “dia”
merupakan kata ganti orang ketiga tunggal, yang merujuk pada orang lain di luar
diri orang yang sedang berbicara. Sebagai Allah, kata “Dia” ini mengacu atau
merujuk pada Allah yang memberi petunjuk, bukan pada Allah yang sedang
berbicara. Dengan kata lain, sebagai kata ganti, kata ”Dia” ini menggantikan
kata “Allah” yang muncul pada awal kalimat kedua. Sekali lagi, konsekuensi
logisnya adalah ada dua Allah: yang satu Allah yang berbicara, dan yang lainnya
Allah yang memberi petunjuk berdasarkan kehendak-Nya.
Berangkat
dari pemasalahan kedua ini, kita bisa kembali mempertanyakan kata “Kami” pada
kalimat pertama? Secara hukum bahasa, kata “kami” merupakan
kata ganti orang ketiga jamak
(lebih dari satu). Pada kata “kami” terkandung juga saya atau aku yang sedang
berbicara dan dia atau mereka yang ada bersama saya. Memang kata “kami” dalam kalimat
pertama merujuk pada Allah, tapi bukan hanya pada Allah yang berbicara
melainkan juga Allah yang lain. Tentulah umat islam membela dengan mengatakan
bahwa kata “kami” dipakai sebagai ganti kata “saya” atau “aku”, yang memberi
nada sopan atau halus. Memang dalam bahasa Indonesia juga kata “kami” biasa
dipakai untuk memperhalus kata “saya” atau “aku” yang terkesan angkuh. Menjadi
pertanyaan, jika benar kata itu dipakai untuk memperhalus, kenapa kalimat kedua
tidak menggunakan kata “kami” juga?
Demikianlah telaah singkat atas wahyu Allah dalam QS an-Nur: 46. Dari
telaah tersebut ditemui adanya ketidak-konsistenan dalam penulisan untuk
identitas Allah, dan juga bahwa Allah islam itu ada lebih dari satu. Keberadaan
Allah yang lain ini, atau pengakuan akan adanya Allah yang lain ini jelas-jelas
bertentangan dengan konsep tauhid islam. Dengan demikian, dapatlah dikatakan
bahwa Allah umat islam itu tidaklah esa, sebagaimana yang biasa
didengung-dengungkan. Jika umat islam tetap percaya pada keesaan Allah, bahwa
Allah yang diimani itu hanya ada satu, maka haruslah dikatakan bahwa kalimat
kedua dalam kutipan ayat di atas berasal dari manusia, bukan dari Allah. Namun
tentulah hal ini bertentangan dengan keyakinan iman umat islam bahwa Al-Qur’an
itu sepenuhnya adalah wahyu Allah.
Dari uraian dan penjelasan di atas, satu pertanyaan mendasar muncul, yakni
benarkah surah an-Nur ayat 46 ini sungguh merupakan wahyu Allah? Adanya
kekacauan, ketidak-jelasan dan ketidak-konsistenan dalam ayat tersebut, jika
dikonfrontasikan dengan sifat Allah yang maha sempurna, maha mengetahui dan
maha kekal, maka dapatlah dikatakan kalau QS an-Nur: 46 bukan wahyu Allah. Kutipan ayat di atas
adalah karangan manusia, yang ditempatkan pada mulut Allah. Atau dengan
perkataan lain, manusia yang menciptakan dua kalimat itu lalu mengatakan kepada
orang lain itu adalah wahyu Allah. Kelemahan intelektualnya membuat adanya
kekacauan bahasa yang berdampak pada pemaknaan dan pemahaman yang
berbeda dengan pemahaman awal.
Lingga, 02 Juli 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar