Jumat, 03 September 2021

TUGAS-TUGAS GEREJA


 

Pada Bab 1 telah dijelaskan bahwa Gereja itu bukanlah sekedar gedung atau rumah ibadah. Gereja itu adalah umat Allah. Gereja itu adalah kita, saya dan kalian. Karena itu, jika dikatakan tugas Gereja, maka itu adalah tugas kita. Tugas itu melekat pada setiap orang kristen. Setiap orang kristen wajib melaksanakan tugas Gereja. Tentulah tugas itu baru dapat dilaksanakan ketika seseorang itu sudah dapat menggunakan akal budinya.

Tugas itu melekat pada diri orang kristen lewat sakramen baptis yang diterimanya. Baptisan membuat seseorang bersatu dengan Kristus. Mereka ambil bagian dalam tugas Kristus sebagai Imam, Nabi dan Raja. Karena itulah, dengan menerima sakramen baptis, setiap orang kristen memiliki tiga peran tersebut, yakni Imam, Nabi dan Raja. Tiga peran ini kemudian hadir dalam lima tugas Gereja, yaitu menguduskan, mewartakan, menjadi saksi Kristus, membangun persekutuan dan melayani.

1.    Gereja yang Menguduskan (Liturgia)

Tugas Gereja yang menguduskan ini merupakan penjabaran dari peran Imam. Salah satu tugas imam adalah menguduskan, bukan dirinya sendiri saja melainkan juga orang lain. Karena kita adalah Gereja, maka tugas kita adalah juga menguduskan. Apa atau siapa yang perlu dikuduskan? Sekalipun salah satu sifat Gereja itu adalah kudus – yang berarti kita – bukan lantas tugas ini tidak terarah juga ke dalam. Tugas Gereja ini memiliki dua arah, yaitu ke dalam (diri sendiri) dan juga keluar (dunia, orang lain).

Apa yang dapat kita lakukan sebagai wujud pelaksanaan tugas Gereja ini? Ada beberapa sarana yang biasa dipakai untuk menguduskan.

a)   Doa

Sebagai orang beriman, kita pasti pernah berdoa, entah secara pribadi atau secara bersama-sama. Apakah kegiatan itu sekedar mengikuti kebiasaan yang sudah ada, ataukah lebih dari itu? Salah satu kelemahan orang katolik adalah sulit untuk berdoa spontan. Padahal, doa itu merupakan komunikasi kita dengan Allah. Tak jauh beda dengan ngobrol dengan teman atau orangtua kita. Tapi, sayangnya orang katolik belum terbiasa akan hal ini. Mereka begitu tergantung pada teks, doa yang sudah tertulis atau doa yang sudah dihafal.

Ketika orang katolik diminta untuk doa spontan, mungkin kita akan berkata seperti nabi Yeremia: “Ah, Tuhan, aku tidak pandai bicara karena aku ini masih muda” (Yer 1: 6). Akar ketidakmampuan kita ini sebenarnya adalah takut dan malu. Kita takut salah sehingga bisa mendatangkan ejekan dari orang lain. Tetapi ingatlah, Tuhan juga akan berkata kepada kalian: “Jangan katakan ‘aku ini masih muda’; tetapi kepada siapapun engkau Kuutus, engkau harus pergi” (Yer 1: 7). Rasul Paulus telah mengingatkan kita bahwa “Allah memberikan kepada kita bukan roh ketakutan, melainkan roh yang membangkitkan kekuatan, kasih dan ketertiban.” (2Tim 1: 7).

Untuk itu, mulailah membiasakan diri untuk berdoa. Mulailah untuk diri kita sendiri. Misalnya, saat menghadapi ujian atau saat sedang sakit, berdoalah kepada Tuhan. Mohonlah bantuan-Nya. Atau ketika menghadapi godaan, mohonlah kepada Tuhan kekuatan untuk menghadapinya. Masih banyak lagi yang dapat kita lakukan. Mulailah berdoa untuk diri sendiri. Mulailah dari sekarang. Doa seperti ini bisa diselingi dengan doa-doa Gereja, seperti yang ada dalam buku-buku doa. Doa ini merupakan sarana untuk menguduskan diri kita.

Setelah terbangun kebiasaan doa untuk diri sendiri, doa kita hendaknya diarahkan juga keluar diri kita. Dalam doa, kita mempercayakan pada Tuhan, orang lain, seperti orangtua, kakak-adik, teman-teman, bapak ibu guru kita, pastor, kepala daerah dan negara, dll. Kita juga diajak untuk mendoakan orang yang belum mengenal Yesus bahkan menolak-Nya agar Tuhan menjamah hati mereka. Kita mohon Roh Kudus untuk menjadikan kita alat-alat untuk keselamatan mereka. Kita mohon Kristus untuk menaruh kata-kata-Nya di bibir kita dan untuk menjadikan kita tanda-tanda cinta kasih-Nya. Secara lebih umum, kita berdoa bagi missi seluruh Gereja, seperti telah dengan jelas diperintahkan Yesus: “Mintalah kepada tuan yang empunya tuaian supaya Ia mengirimkan pekerja-pekerja untuk tuaian itu” (Mat 9:38).

b)   Sakramen

Sakramen berasal dari kata ‘mysterion’ (Yunani), yang dijabarkan dengan kata ‘mysterium’ dan ‘sacramentum’ (Latin). Sacramentum dipakai untuk menjelaskan tanda yang kelihatan dari kenyataan keselamatan yang tak kelihatan yang disebut sebagai ‘mysterium‘. Kitab Suci menyampaikan dasar pengertian sakramen sebagai misteri/‘mysterium‘ kasih Allah, yang diterjemahkan sebagai “rahasia yang tersembunyi dari abad ke abad… tetapi yang sekarang dinyatakan kepada orang-orang kudus-Nya” (Kol 1:26, Rom 16:25). Rahasia/misteri keselamatan ini tak lain dan tak bukan adalah Kristus (Kol 2:2; 4:3; Ef 3:3) yang hadir di tengah-tengah kita (Kol 1:27).

Sakramen merupakan hal-hal yang berkaitan dengan yang kudus atau yang ilahi. Sakramen juga berarti tanda keselamatan Allah yang diberikan kepada Manusia “untuk menguduskan manusia, membangun Tubuh Kristus dan akhirnya mempersembahkan ibadat kepada Allah”(SC 59). Karena Sakramen sebagai tanda dan sarana keselamatan, maka menerima dan memahami sakramen hendaknya ditempatkan dalam kerangka iman dan didasarkan kepada iman. Sakramen biasanya diungkapkan dengan kata dan tindakan.

Dalam hidup sehari-hari kita mengenal banyak benda atau perbuatan yang  pada hakikatnya punya makna dan arti jauh lebih dalam daripada benda atau perbuatan itu sendiri (arti yang biasa). Dalam Gereja kita sering melihat cahaya, air, roti, anggur, minyak, memecahkan roti, mengurapi, dll. Dapat dikatakan bahwa benda dan perbuatan itu berasal dari sejarah keselamatan dalam Perjanjian Lama (ritus paskah, korban, penumpangan tangan, pengudusan). Tanda-tanda ini kemudian diambil Kristus dan dipakai untuk tindakan penyelamatan dan pengudusan (bdk. Kompendium Katekismus Gereja Katolik – 237).

Kompendium Katekismus Gereja Katolik mengatakan bahwa tanda-tanda dan simbol-simbol dalam peristiwa Perjanjian Lama diungkapkan secara penuh dalam Pribadi dan Karya Yesus (bdk. no 236). Dengan kata lain Yesus sendiri merupakan sakramen. Allah yang tidak kelihatan menjadi kelihatan dalam Yesus Kristus. Dalam Yesus Kristus orang dapat melihat, mengenal, mengalami siapa sebenarnya Allah itu. Rancangan keselamatan Allah nyata dalam diri Yesus. Gereja adalah juga Tubuh Mistik Kristus. Karena itu juga, Gereja menjadi sakramen, tanda keselamatan. Melalui Gereja Allah menyatakan rencana keselamatan-Nya, menyelamatkan umat manusia.

c)   Sakramentali

Selain sakramen, Gereja juga mengadakan tanda-tanda suci (berupa ibadat/upacara/ pemberkatan) yang mirip dengan sakramen-sakramen yang disebut sakramentali. Berkat tanda-tanda suci ini berbagai buah rohani ditandai dan diperoleh melalui doa-doa permohonan dengan perantaraan Gereja. Sakramentali merupakan bentuk dan kegiatan lain dari bentuk dan kegiatan pengudusan dalam Gereja. Sebenarnya Roh Kudus-lah yang menguduskan melalui aneka kegiatan sakramentali itu.

Ada banyak bentuk sakramentali. Umumnya adalah pemberkatan. Contohnya pemberkatan ibu hamil atau anak, alat-alat pertanian, mesin pabrik, alat transportasi, rumah, patung, rosario, makanan, dsb. Pelantikan lektor, akolit, katekis dan pemberkatan benda atau tempat untuk keperluan liturgi seperti gereja, altar, minyak suci, lonceng juga termasuk bentuk sakramentali. Pemberkatan atas orang atau benda/barang tersebut adalah pujian kepada Allah dan doa untuk memohon anugerah-Nya.

d)   Devosi

Devosi (Latin: devotio = penghormatan) adalah bentuk-bentuk penghormatan/ kebaktian khusus orang atau umat beriman kepada rahasia kehidupan Yesus yang tertentu, misalnya kesengsaraan-Nya, Hati-Nya yang Mahakudus, Sakramen Mahakudus, dan sebagainya. Atau devosi kepada orang-orang kudus, misalnya devosi kepada Santo-Santa pelindung, devosi kepada Bunda Maria dengan berdoa Rosario atau mengunjungi tempat-tempat ziarah. Segala macam bentuk devosi ini bersifat sukarela (tidak mengikat/tidak wajib) dan bertujuan untuk semakin menguatkan iman kita kepada Allah dalam diri Yesus Kristus.

e)   Puasa dan mati raga

Puasa tidak hanya dilihat sebagai tidak makan dan tidak minum, melainkan bentuk pengendalian diri. Dengan berpuasa, lewat mengekang dorongan nafsu makan dan minum, kita melatih diri untuk tidak mengikuti hawa nafsu yang bisa merusak kekudusan kita. Demikian pula dengan mati raga. Akan tetapi, mati raga bisa kita arahkan kepada orang lain. Kita bisa melakukan mati raga untuk penyucian jiwa-jiwa di api pencucian, bisa juga sebagai bentuk solidaritas kita dengan orang yang sedang menderita.

2.    Gereja yang Mewartakan (Kerygma)

Tugas Gereja yang mewartakan merupakan penjabaran dari peran Nabi. Salah satu tugas nabi adalah mewartakan pesan Allah kepada umat manusia. Dan pesan Allah itu bisa dilihat sebagai upaya Allah untuk keselamatan manusia. Dalam Perjanjian Lama kita melihat seorang nabi diutus untuk membenarkan hidup orang Israel yang tidak benar, mengajak orang untuk meninggalkan yang jahat dan melakukan yang baik. Bagi kita orang kristen, tugas perutusan ini didapat dari perintah Yesus: “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk. Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum” (Markus 16:15-16).

Tugas mewartakan ini membuat kita berani melepas segala sesuatu untuk keluar dari diri sendiri. Dengan melaksanakan tugas ini kita bukan pusat dunia dan kehidupan. Kita diminta membuka diri sendiri bagi sesama, sebagai saudara dan saudari, menemukan mereka, menjumpai mereka.

Apa yang harus kita wartakan? Pertama-tama kita dapat menemukan dari perintah kepada para rasul sebelum naik ke surga, “Jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu.” (Mat 28: 19 – 20a). Kita dipanggil untuk mewartakan Injil Kristus, mewartakan wajah Allah dalam diri Yesus. Dengan kata lain, kita diajak untuk mewartakan Yesus. Tentu, dalam melaksanakan tugas ini kita akan mendapat tantangan bahkan hinaan. Sadarlah, kita tidak sendirian. Yesus sudah menegaskan, “Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada  akhir zaman.” (Mat 28: 20b). Yesus juga berkata, “Berbahagialah kamu, jika karena Aku, kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga” (Mat 5: 11 – 12).

Didorong oleh Roh Kudus, kita ikut mengusahakan agar rencana Allah, yang menetapkan Kristus sebagai azas keselamatan bagi seluruh dunia, terlaksana secara efektif. Dengan mewartakan Injil Gereja mengundang mereka yang mendengarnya kepada iman dan pengakuan iman, menyiapkan mereka untuk menerima babtis, membebaskan mereka dari perbudakan kesesatan, dan menyatukan mereka ke dalam Kristus, supaya karena cinta kasih mereka bertumbuh ke arah Dia hingga kepenuhannya.

Setiap murid Kristus mengemban beban untuk menyiarkan iman sekadar kemampuannya. Setiap orang dapat membabtis orang beriman. Tetapi tugas imamlah membangun Tubuh Kristus dengan mempersembahkan korban Ekaristi. Dengan demikian terpenuhilah sabda Allah melalui nabi: “Dari terbitnya matahari sampai terbenamnya besarlah nama-Ku diantara para bangsa, dan disetiap tempat dikorbankan dan dipersembahkanlah persembahan murni kepada nama-Ku” (Mal 1:11). Begitulah Gereja sekaligus berdoa dan berkarya, agar kepenuhan dunia seluruhnya beralih menjadi Umat Allah, Tubuh Tuhan dan Kenisah Roh Kudus, dan supaya dalam Kristus, Kepala semua orang, dipersembahkan kepada Sang Pencipta dan Bapa semesta alam segala hormat dan kemuliaan. (LG no 17).

3.    Gereja Menjadi Saksi Kristus (Martyria)

Sama seperti tugas Gereja yang mewartakan, tugas Gereja menjadi saksi Kristus merupakan penjabaran dari peran Nabi. Tugas seorang nabi tidak hanya mewartakan pesan Allah, tetapi dia juga terpanggil untuk menghidupi pesan Allah itu. Karena itu, tugas ini tak bisa dipisahkan dari tugas mewartakan, karena pusatnya adalah satu dan sama, yakni Injil Kristus.

Injil pertama-tama diwartakan dengan kesaksian, yakni diwartakan dengan, kata-kata, tingkah laku dan perbuatan. Gereja juga mewartakan Injil kepada dunia dengan kesaksian hidupnya yang setia kepada Tuhan Yesus. Para murid Yesus dipanggil supaya mereka menjadi saksi-Nya mulai dari Yerusalem yang kemudian berkembang ke seluruh Yudea dan Samaria, bahkan sampai ke ujung bumi (bdk. Kis 1:8). Menjadi saksi Kristus pun ada konsekuensinya, mulai dari penolakan hingga tindakan kekerasan. Stefanus adalah orang pertama yang mengalami penyesahan dan kemudian diakhiri hidupnya oleh kaum Yahudi secara mengenaskan (bdk. Kis 7:51-8:1a). Paus Fransiskus pernah berkata bahwa Gereja kita adalah Gereja martir.

Bagaimana kita bisa memahami makna menjadi saksi Kristus? Secara sederhana menjadi saksi Kristus dapat dimaknai dengan menghidup dan melaksanakan hidup, karya dan ajaran Yesus. Kita tahu bahwa karya dan ajaran Yesus menyatu padu dengan diri-Nya. Kita pun hendaknya demikian. Jadi, sama seperti Yesus mengajarkan tentang kasih dan Dia sendiri melakukannya, maka kita pun harus hidup dalam kasih. Ketika orang menghina kita, kita tidak membalas atau melawan tetapi memberkati dan mendoakan. Sama seperti Yesus yang mengecam ketidakadilan atau situasi yang tak benar, demikian pula halnya kita bila kita mau menjadi saksi Kristus. Tapi kita seperti Yesus, tidak memaksakan kehendak, apalagi menggunakan kekerasan. Langkah awal untuk bisa menjadi saksi Kristus adalah berusaha mengenal Dia. Kristus dapat dikenal dengan membaca Injil.

4.    Gereja Membangun Persekutuan (Koinonia)

Tugas Gereja yang membangun persekutuan merupakan penjabaran dari peran Raja. Salah satu tugas raja adalah mengumpulkan manusia dalam satu kerajaan, dan setelah terkumpul ia akan menjaga agar tetap selamat. Dalam Perjanjian Lama peran raja ini sering diserupakan dengan peran gembala. Tugas seorang gembala adalah mengumpulkan kawanan domba gembalaannya. Keluar dari kawanan itu akan mendatangkan bahaya. Dalam Perjanjian Baru, Yesus juga diidentikkan sebagai gembala (Yoh 10: 11).

Gereja bukan sekadar organisasi saja, namun merupakan kumpulan anggota umat Allah yang hidup bersekutu, bersatu dalam nama Tuhan. Jika ada salah satu anggotanya “hilang”, kita akan berusaha supaya dia kembali. Dalam semangat kebersamaan kita berusaha menolong anggota Gereja yang mengalami kesulitan atau kesusahan karena kita adalah satu kesatuan keluarga Allah (Gereja).

Salah satu bentuk persekutuan terkecil dalam Gereja kita adalah Komunitas Basis (KBG). Dalam KBG kita dipanggil untuk saling memperhatikan, melayani, menghibur dan meneguhkan satu dengan yang lain. Mgr. Hilarius pernah mengatakan bahwa KBG bisa diartikan sebagai persatuan antara umat Tuhan yang selalu melihat Kristus sebagai pusat dari segala sesuatu dan yang melanjutkan misi Kristus dalam kehidupan mereka sehari-hari. KBG merupakan kelompok orang Kristen di tingkat keluarga atau tetangga, yang datang dan berkumpul bersama untuk berdoa, membaca Kitab Suci, Katekese, serta diskusi tentang masalah keseharian manusia dan gereja dengan tujuan untuk tercapai komitmen bersama.

Inspirasi persekutuan umat Allah ini dapat ditemukan pada cara hidup jemaat Kristus perdana (Kis 4: 32 – 37). Pada kutipan teks ini dikatakan bahwa persekutuan itu tampak dalam semangat sehati dan sejiwa sehingga tak seorang pun akan berkata bahwa sesuatu dari kepunyaannya adalah miliknya sendiri, tetapi segala sesuatu adalah kepunyaan mereka bersama. Mereka semua hidup dalam kasih karunia yang melimpah-limpah.

5.    Gereja yang Melayani (Diakonia)

Sama seperti tugas Gereja yang membangun persekutuan, tugas Gereja yang melayani merupakan penjabaran dari peran Raja. Kata “raja” di sini tidak dimaknai dengan kekuasaan dan jabatan, melainkan tugas melayani. Menjadi raja berarti melayani, bukan memerintah. Salah satu tugas raja adalah melayani warganya. Sama seperti tugas gembala, seorang gembala bertugas melayani domba gembalaannya. Dia bertugas menggiring kawanan domba ke padang rumput hijau, ke danau yang tenang, melindungi mereka dari serangan binatang buas. Bila ada domba yang hilang, ia akan mencarinya.

Tugas ini datang dari permintaan Yesus sendiri. “Kamu tahu, bahwa mereka yang disebut pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi, dan pembesar-pembesarnya menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya. Karena anak manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.” (Mrk 10: 42 – 45). Permintaan Yesus ini tidak hanya ditujukan kepada para rasul pada waktu itu, tetapi kepada kita juga. Hendaklah dalam kehidupan kita siap dan mau tampil sebagai pelayan.

Siapa saja yang kita layani? Apa saja bentuk pelayanan itu? Ada banyak hal yang dapat kita lakukan untuk mewujudkan tugas Gereja ini. Menyediakan diri untuk menjadi petugas liturgi dalam ibadat atau misa, entah sebagai lektor, pemimpin upacara, pemazmur, misdinar atau pembawa lagu, merupakan bentuk kecil tugas melayani. Membantu orang yang sedang terjatuh, menghibur orang yang sedang berduka, meringankan beban orangtua juga bisa dilihat sebagai tugas melayani. Menjadi pelajar yang baik, dengan mendengarkan guru saat memberi pelajaran dan mengerjakan tugas yang yang mintanya adalah bentuk lain tugas melayani. Karena seorang pelayan hanya mendengarkan dan melakukan apa yang diperintahkan majikannya.

Ada godaan siap menghampiri siapa saja yang melakukan tugas Gereja ini. Orang mudah jatuh ke dalam kesombongan. Karena itulah, dalam melakukan tugas ini, seorang murid Kristus hendaknya selalu bersikap rendah hati. Yesus pernah menasehati, “Apabila kamu telah melakukan segala sesuatu yang ditugaskan kepadamu, hendaklah kamu berkata: kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan.” (Luk 17: 19). Agar sikap rendah hati ini tetap terpelihara, maka hendaklah kita menyadari bahwa apa yang kita lakukan itu semata-mata untuk Tuhan. Paulus telah berkata, “Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.” (Kol 3: 23; bdk Ef 6: 6 – 7). Nasehat Paulus ini sejalan dengan kata-kata Yesus, “Sesungguhnya, segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” (Mat 25: 40).

Godaan lain adalah jatuh ke dalam budaya pamrih. Kita baru siap melayani kalau ada imbalan, pujian atau sesuatu yang menguntungkan kita. Jika tak ada, maka kita mundur dari tugas pelayanan. Perlu disadari bahwa melayani berarti kita memberi sesuatu yang ada pada diri kita, yang kita terima secara gratis dari Tuhan. Karena itu pula, hendaklah kita juga bersikap demikian. Nasehat Yesus kepada kita: “Kamu telah memperolehnya cuma-cuma, karena itu berikanlah pula dengan cuma-cuma.” (Mat 10: 8). Rasul Paulus telah menghayati perkataan Yesus ini. Maka, kepada jemaat di Korintus dia berkata, “Upahku ialah ini: bahwa aku boleh memberitakan Injil tanpa upah” (1Kor 9: 18). Jadi, hendaklah tugas pelayanan kita lakukan tanpa pamrih; semuanya semata-mata untuk kemuliaan Allah. Seperti nasehat Paulus, “Muliakanlah Allah dengan dirimu!” (1Kor 6: 20).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar