Pada
Bab 1 telah dijelaskan bahwa Gereja itu bukanlah sekedar gedung atau rumah
ibadah. Gereja itu adalah umat Allah. Gereja itu adalah kita, saya dan kalian.
Karena itu, jika dikatakan tugas Gereja, maka itu adalah tugas kita. Tugas itu
melekat pada setiap orang kristen. Setiap orang kristen wajib melaksanakan
tugas Gereja. Tentulah tugas itu baru dapat dilaksanakan ketika seseorang itu
sudah dapat menggunakan akal budinya.
Tugas
itu melekat pada diri orang kristen lewat sakramen baptis yang diterimanya.
Baptisan membuat seseorang bersatu dengan Kristus. Mereka ambil bagian dalam
tugas Kristus sebagai Imam, Nabi dan Raja. Karena itulah, dengan menerima
sakramen baptis, setiap orang kristen memiliki tiga peran tersebut, yakni Imam,
Nabi dan Raja. Tiga peran ini kemudian hadir dalam lima tugas Gereja, yaitu menguduskan, mewartakan, menjadi saksi
Kristus, membangun persekutuan dan melayani.
1. Gereja yang Menguduskan (Liturgia)
Tugas
Gereja yang menguduskan ini merupakan penjabaran dari peran Imam. Salah satu
tugas imam adalah menguduskan, bukan dirinya sendiri saja melainkan juga orang
lain. Karena kita adalah Gereja, maka tugas kita adalah juga menguduskan. Apa
atau siapa yang perlu dikuduskan? Sekalipun salah satu sifat Gereja itu adalah
kudus – yang berarti kita – bukan lantas tugas ini tidak terarah juga ke dalam.
Tugas Gereja ini memiliki dua arah, yaitu ke dalam (diri sendiri) dan juga
keluar (dunia, orang lain).
Apa
yang dapat kita lakukan sebagai wujud pelaksanaan tugas Gereja ini? Ada
beberapa sarana yang biasa dipakai untuk menguduskan.
a)
Doa
Sebagai orang beriman, kita pasti pernah berdoa, entah secara
pribadi atau secara bersama-sama. Apakah kegiatan itu sekedar mengikuti
kebiasaan yang sudah ada, ataukah lebih dari itu? Salah satu kelemahan orang
katolik adalah sulit untuk berdoa spontan. Padahal, doa itu merupakan
komunikasi kita dengan Allah. Tak jauh beda dengan ngobrol dengan teman atau
orangtua kita. Tapi, sayangnya orang katolik belum terbiasa akan hal ini.
Mereka begitu tergantung pada teks, doa yang sudah tertulis atau doa yang sudah
dihafal.
Ketika orang katolik diminta untuk doa spontan, mungkin kita akan berkata seperti nabi Yeremia: “Ah, Tuhan, aku tidak pandai bicara karena aku ini masih muda” (Yer 1: 6). Akar ketidakmampuan kita ini sebenarnya adalah takut dan malu. Kita takut salah sehingga bisa mendatangkan ejekan dari orang lain. Tetapi ingatlah, Tuhan juga akan berkata kepada kalian: “Jangan katakan ‘aku ini masih muda’; tetapi kepada siapapun engkau Kuutus, engkau harus pergi” (Yer 1: 7). Rasul Paulus telah mengingatkan kita bahwa “Allah memberikan kepada kita bukan roh ketakutan, melainkan roh yang membangkitkan kekuatan, kasih dan ketertiban.” (2Tim 1: 7).
Untuk
itu, mulailah membiasakan diri untuk berdoa. Mulailah untuk diri kita sendiri.
Misalnya, saat menghadapi ujian atau saat sedang sakit, berdoalah kepada Tuhan.
Mohonlah bantuan-Nya. Atau ketika menghadapi godaan, mohonlah kepada Tuhan
kekuatan untuk menghadapinya. Masih banyak lagi yang dapat kita lakukan.
Mulailah berdoa untuk diri sendiri. Mulailah dari sekarang. Doa seperti ini
bisa diselingi dengan doa-doa Gereja, seperti yang ada dalam buku-buku doa. Doa
ini merupakan sarana untuk menguduskan diri kita.
Setelah
terbangun kebiasaan doa untuk diri sendiri, doa kita hendaknya diarahkan juga
keluar diri kita. Dalam doa, kita mempercayakan pada
Tuhan, orang lain, seperti orangtua, kakak-adik, teman-teman, bapak ibu guru
kita, pastor, kepala daerah dan negara, dll. Kita juga diajak untuk mendoakan
orang yang belum mengenal Yesus bahkan menolak-Nya agar Tuhan menjamah hati
mereka. Kita mohon Roh Kudus untuk menjadikan kita alat-alat untuk keselamatan
mereka. Kita mohon Kristus untuk menaruh kata-kata-Nya di bibir kita dan untuk
menjadikan kita tanda-tanda cinta kasih-Nya. Secara lebih umum, kita berdoa
bagi missi seluruh Gereja, seperti telah dengan jelas diperintahkan Yesus:
“Mintalah kepada tuan yang empunya tuaian supaya Ia mengirimkan pekerja-pekerja
untuk tuaian itu” (Mat 9:38).
b)
Sakramen
Sakramen berasal dari kata ‘mysterion’ (Yunani), yang
dijabarkan dengan kata ‘mysterium’ dan ‘sacramentum’ (Latin). Sacramentum dipakai untuk menjelaskan
tanda yang kelihatan dari kenyataan keselamatan yang tak kelihatan yang disebut
sebagai ‘mysterium‘. Kitab Suci menyampaikan dasar pengertian sakramen
sebagai misteri/‘mysterium‘ kasih Allah, yang diterjemahkan sebagai
“rahasia yang tersembunyi dari abad ke abad… tetapi yang sekarang dinyatakan
kepada orang-orang kudus-Nya” (Kol 1:26, Rom 16:25). Rahasia/misteri
keselamatan ini tak lain dan tak bukan adalah Kristus (Kol 2:2; 4:3; Ef 3:3)
yang hadir di tengah-tengah kita (Kol 1:27).
Sakramen merupakan hal-hal yang berkaitan dengan yang kudus atau
yang ilahi. Sakramen juga berarti tanda keselamatan Allah yang diberikan kepada
Manusia “untuk menguduskan manusia, membangun Tubuh Kristus dan akhirnya
mempersembahkan ibadat kepada Allah”(SC 59). Karena Sakramen sebagai tanda dan
sarana keselamatan, maka menerima dan memahami sakramen hendaknya ditempatkan
dalam kerangka iman dan didasarkan kepada iman. Sakramen biasanya diungkapkan
dengan kata dan tindakan.
Dalam hidup sehari-hari kita
mengenal banyak benda atau perbuatan yang
pada hakikatnya punya makna dan arti jauh lebih dalam daripada benda
atau perbuatan itu sendiri (arti yang biasa). Dalam Gereja kita sering melihat
cahaya, air, roti, anggur, minyak, memecahkan roti, mengurapi, dll. Dapat
dikatakan bahwa benda dan perbuatan itu berasal dari sejarah keselamatan dalam
Perjanjian Lama (ritus paskah, korban, penumpangan tangan, pengudusan). Tanda-tanda
ini kemudian diambil Kristus dan dipakai untuk tindakan penyelamatan dan
pengudusan (bdk. Kompendium Katekismus Gereja Katolik – 237).
Kompendium Katekismus Gereja Katolik mengatakan bahwa tanda-tanda
dan simbol-simbol dalam peristiwa Perjanjian Lama diungkapkan secara penuh
dalam Pribadi dan Karya Yesus (bdk.
no 236). Dengan kata lain Yesus sendiri merupakan sakramen. Allah
yang tidak kelihatan menjadi kelihatan dalam Yesus Kristus. Dalam Yesus Kristus
orang dapat melihat, mengenal, mengalami siapa sebenarnya Allah itu. Rancangan
keselamatan Allah nyata dalam diri Yesus. Gereja adalah juga Tubuh Mistik
Kristus. Karena itu juga, Gereja menjadi sakramen, tanda keselamatan. Melalui
Gereja Allah menyatakan rencana keselamatan-Nya, menyelamatkan umat manusia.
c)
Sakramentali
Selain sakramen, Gereja juga mengadakan tanda-tanda suci (berupa
ibadat/upacara/ pemberkatan) yang mirip dengan sakramen-sakramen yang disebut sakramentali.
Berkat tanda-tanda suci ini berbagai buah rohani ditandai dan diperoleh melalui
doa-doa permohonan dengan perantaraan Gereja. Sakramentali merupakan bentuk dan
kegiatan lain dari bentuk dan kegiatan pengudusan dalam Gereja. Sebenarnya Roh
Kudus-lah yang menguduskan melalui aneka kegiatan sakramentali itu.
Ada
banyak bentuk sakramentali. Umumnya adalah pemberkatan. Contohnya pemberkatan ibu hamil atau anak, alat-alat pertanian, mesin
pabrik, alat transportasi, rumah, patung, rosario, makanan, dsb. Pelantikan
lektor, akolit, katekis dan pemberkatan benda atau tempat untuk keperluan
liturgi seperti gereja, altar, minyak suci, lonceng juga termasuk bentuk
sakramentali. Pemberkatan atas orang atau benda/barang tersebut adalah pujian
kepada Allah dan doa untuk memohon anugerah-Nya.
d)
Devosi
Devosi (Latin: devotio =
penghormatan) adalah bentuk-bentuk penghormatan/ kebaktian khusus orang atau
umat beriman kepada rahasia kehidupan Yesus yang tertentu, misalnya
kesengsaraan-Nya, Hati-Nya yang Mahakudus, Sakramen Mahakudus, dan sebagainya.
Atau devosi kepada orang-orang kudus, misalnya devosi kepada Santo-Santa
pelindung, devosi kepada Bunda Maria dengan berdoa Rosario atau mengunjungi
tempat-tempat ziarah. Segala macam bentuk devosi ini bersifat sukarela (tidak
mengikat/tidak wajib) dan bertujuan untuk semakin menguatkan iman kita kepada
Allah dalam diri Yesus Kristus.
e)
Puasa dan mati raga
Puasa
tidak hanya dilihat sebagai tidak makan dan tidak minum, melainkan bentuk
pengendalian diri. Dengan berpuasa, lewat mengekang dorongan nafsu makan dan
minum, kita melatih diri untuk tidak mengikuti hawa nafsu yang bisa merusak
kekudusan kita. Demikian pula dengan mati raga. Akan tetapi, mati raga bisa
kita arahkan kepada orang lain. Kita bisa melakukan mati raga untuk penyucian
jiwa-jiwa di api pencucian, bisa juga sebagai bentuk solidaritas kita dengan
orang yang sedang menderita.
2. Gereja yang Mewartakan (Kerygma)
Tugas
Gereja yang mewartakan merupakan penjabaran dari peran Nabi. Salah satu tugas
nabi adalah mewartakan pesan Allah kepada umat manusia. Dan pesan Allah itu
bisa dilihat sebagai upaya Allah untuk keselamatan manusia. Dalam Perjanjian
Lama kita melihat seorang nabi diutus untuk membenarkan hidup orang Israel yang
tidak benar, mengajak orang untuk meninggalkan yang jahat dan melakukan yang
baik. Bagi kita orang kristen, tugas perutusan ini didapat dari perintah Yesus:
“Pergilah ke seluruh
dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk. Siapa yang percaya dan
dibaptis akan diselamatkan tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum”
(Markus 16:15-16).
Tugas
mewartakan ini membuat kita berani melepas segala
sesuatu untuk keluar dari diri sendiri. Dengan melaksanakan tugas ini kita
bukan pusat dunia dan kehidupan. Kita diminta membuka diri sendiri bagi sesama,
sebagai saudara dan saudari, menemukan mereka, menjumpai mereka.
Apa yang harus kita wartakan? Pertama-tama kita dapat menemukan dari
perintah kepada para rasul sebelum naik ke surga, “Jadikanlah semua bangsa
murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan
ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu.”
(Mat 28: 19 – 20a). Kita dipanggil untuk mewartakan Injil Kristus, mewartakan
wajah Allah dalam diri Yesus. Dengan kata lain, kita diajak untuk mewartakan
Yesus. Tentu, dalam melaksanakan tugas ini kita akan mendapat tantangan bahkan
hinaan. Sadarlah, kita tidak sendirian. Yesus sudah menegaskan, “Dan ketahuilah,
Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada
akhir zaman.” (Mat 28: 20b). Yesus juga berkata, “Berbahagialah kamu,
jika karena Aku, kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang
jahat. Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga” (Mat 5: 11
– 12).
Didorong oleh Roh Kudus, kita ikut mengusahakan agar rencana
Allah, yang menetapkan Kristus sebagai azas keselamatan bagi seluruh dunia,
terlaksana secara efektif. Dengan mewartakan Injil Gereja mengundang mereka
yang mendengarnya kepada iman dan pengakuan iman, menyiapkan mereka untuk
menerima babtis, membebaskan mereka dari perbudakan kesesatan, dan menyatukan
mereka ke dalam Kristus, supaya karena cinta kasih mereka bertumbuh ke arah Dia
hingga kepenuhannya.
Setiap murid Kristus mengemban beban untuk menyiarkan iman sekadar
kemampuannya. Setiap orang dapat membabtis orang beriman. Tetapi tugas imamlah membangun
Tubuh Kristus dengan mempersembahkan korban Ekaristi. Dengan demikian
terpenuhilah sabda Allah melalui nabi: “Dari terbitnya matahari sampai
terbenamnya besarlah nama-Ku diantara para bangsa, dan disetiap tempat
dikorbankan dan dipersembahkanlah persembahan murni kepada nama-Ku” (Mal 1:11).
Begitulah Gereja sekaligus berdoa dan berkarya, agar kepenuhan dunia seluruhnya
beralih menjadi Umat Allah, Tubuh Tuhan dan Kenisah Roh Kudus, dan supaya dalam
Kristus, Kepala semua orang, dipersembahkan kepada Sang Pencipta dan Bapa
semesta alam segala hormat dan kemuliaan. (LG no 17).
3. Gereja Menjadi Saksi Kristus (Martyria)
Sama
seperti tugas Gereja yang mewartakan, tugas Gereja menjadi saksi Kristus
merupakan penjabaran dari peran Nabi. Tugas seorang nabi tidak hanya mewartakan
pesan Allah, tetapi dia juga terpanggil untuk menghidupi pesan Allah itu.
Karena itu, tugas ini tak bisa dipisahkan dari tugas mewartakan, karena
pusatnya adalah satu dan sama, yakni Injil Kristus.
Injil pertama-tama diwartakan dengan
kesaksian, yakni diwartakan dengan, kata-kata, tingkah laku dan perbuatan.
Gereja juga mewartakan Injil kepada dunia dengan kesaksian hidupnya yang setia
kepada Tuhan Yesus. Para murid Yesus dipanggil supaya mereka menjadi saksi-Nya
mulai dari Yerusalem yang kemudian berkembang ke seluruh Yudea dan Samaria,
bahkan sampai ke ujung bumi (bdk. Kis 1:8). Menjadi saksi Kristus pun ada
konsekuensinya, mulai dari penolakan hingga tindakan kekerasan. Stefanus adalah
orang pertama yang mengalami penyesahan dan kemudian diakhiri hidupnya oleh
kaum Yahudi secara mengenaskan (bdk. Kis 7:51-8:1a). Paus Fransiskus pernah
berkata bahwa Gereja kita adalah Gereja martir.
Bagaimana
kita bisa memahami makna menjadi saksi Kristus? Secara sederhana menjadi saksi
Kristus dapat dimaknai dengan menghidup dan melaksanakan hidup, karya dan
ajaran Yesus. Kita tahu bahwa karya dan ajaran Yesus menyatu padu dengan
diri-Nya. Kita pun hendaknya demikian. Jadi, sama seperti Yesus mengajarkan
tentang kasih dan Dia sendiri melakukannya, maka kita pun harus hidup dalam
kasih. Ketika orang menghina kita, kita tidak membalas atau melawan tetapi
memberkati dan mendoakan. Sama seperti Yesus yang mengecam ketidakadilan atau
situasi yang tak benar, demikian pula halnya kita bila kita mau menjadi saksi
Kristus. Tapi kita seperti Yesus, tidak memaksakan kehendak, apalagi
menggunakan kekerasan. Langkah awal untuk bisa menjadi saksi Kristus adalah
berusaha mengenal Dia. Kristus dapat dikenal dengan membaca Injil.
4. Gereja Membangun Persekutuan (Koinonia)
Tugas
Gereja yang membangun persekutuan merupakan penjabaran dari peran Raja. Salah
satu tugas raja adalah mengumpulkan manusia dalam satu kerajaan, dan setelah
terkumpul ia akan menjaga agar tetap selamat. Dalam Perjanjian Lama peran raja
ini sering diserupakan dengan peran gembala. Tugas seorang gembala adalah
mengumpulkan kawanan domba gembalaannya. Keluar dari kawanan itu akan
mendatangkan bahaya. Dalam Perjanjian Baru, Yesus juga diidentikkan sebagai
gembala (Yoh 10: 11).
Gereja bukan sekadar organisasi saja,
namun merupakan kumpulan anggota umat Allah yang hidup bersekutu, bersatu dalam
nama Tuhan. Jika ada salah satu anggotanya “hilang”, kita akan berusaha supaya
dia kembali. Dalam semangat kebersamaan kita berusaha menolong anggota Gereja
yang mengalami kesulitan atau kesusahan karena kita adalah satu kesatuan
keluarga Allah (Gereja).
Salah
satu bentuk persekutuan terkecil dalam Gereja kita adalah Komunitas Basis
(KBG). Dalam KBG kita dipanggil untuk saling memperhatikan, melayani, menghibur
dan meneguhkan satu dengan yang lain. Mgr. Hilarius pernah
mengatakan bahwa KBG bisa diartikan sebagai persatuan antara umat Tuhan yang
selalu melihat Kristus sebagai pusat dari segala sesuatu dan yang melanjutkan
misi Kristus dalam kehidupan mereka sehari-hari. KBG merupakan kelompok orang
Kristen di tingkat keluarga atau tetangga, yang datang dan berkumpul bersama
untuk berdoa, membaca Kitab Suci, Katekese, serta diskusi tentang masalah
keseharian manusia dan gereja dengan tujuan untuk tercapai komitmen bersama.
Inspirasi persekutuan umat Allah ini dapat ditemukan pada cara
hidup jemaat Kristus perdana (Kis 4: 32
– 37). Pada kutipan teks ini dikatakan bahwa persekutuan itu tampak
dalam semangat sehati dan sejiwa sehingga tak seorang pun akan berkata bahwa
sesuatu dari kepunyaannya adalah miliknya sendiri, tetapi segala sesuatu adalah
kepunyaan mereka bersama. Mereka semua hidup dalam kasih karunia yang
melimpah-limpah.
5. Gereja yang Melayani (Diakonia)
Sama
seperti tugas Gereja yang membangun persekutuan, tugas Gereja yang melayani
merupakan penjabaran dari peran Raja. Kata “raja” di sini tidak dimaknai dengan
kekuasaan dan jabatan, melainkan tugas melayani. Menjadi raja berarti melayani,
bukan memerintah. Salah satu tugas raja adalah melayani warganya. Sama seperti
tugas gembala, seorang gembala bertugas melayani domba gembalaannya. Dia
bertugas menggiring kawanan domba ke padang rumput hijau, ke danau yang tenang,
melindungi mereka dari serangan binatang buas. Bila ada domba yang hilang, ia
akan mencarinya.
Tugas
ini datang dari permintaan Yesus sendiri. “Kamu tahu,
bahwa mereka yang disebut pemerintah bangsa-bangsa
memerintah rakyatnya dengan tangan besi, dan pembesar-pembesarnya menjalankan
kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu.
Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu,
dan barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia
menjadi hamba untuk semuanya. Karena anak manusia juga datang bukan untuk
dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi
tebusan bagi banyak orang.” (Mrk 10: 42 – 45). Permintaan Yesus ini tidak hanya
ditujukan kepada para rasul pada waktu itu, tetapi kepada kita juga. Hendaklah
dalam kehidupan kita siap dan mau tampil sebagai pelayan.
Siapa saja yang kita layani? Apa saja bentuk pelayanan itu? Ada
banyak hal yang dapat kita lakukan untuk mewujudkan tugas Gereja ini.
Menyediakan diri untuk menjadi petugas liturgi dalam ibadat atau misa, entah
sebagai lektor, pemimpin upacara, pemazmur, misdinar atau pembawa lagu,
merupakan bentuk kecil tugas melayani. Membantu orang yang sedang terjatuh,
menghibur orang yang sedang berduka, meringankan beban orangtua juga bisa
dilihat sebagai tugas melayani. Menjadi pelajar yang baik, dengan mendengarkan
guru saat memberi pelajaran dan mengerjakan tugas yang yang mintanya adalah
bentuk lain tugas melayani. Karena seorang pelayan hanya mendengarkan dan
melakukan apa yang diperintahkan majikannya.
Ada godaan siap menghampiri siapa saja yang melakukan tugas Gereja
ini. Orang mudah jatuh ke dalam kesombongan. Karena itulah, dalam melakukan
tugas ini, seorang murid Kristus hendaknya selalu bersikap rendah hati. Yesus
pernah menasehati, “Apabila kamu telah melakukan segala sesuatu yang ditugaskan
kepadamu, hendaklah kamu berkata: kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna;
kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan.” (Luk 17: 19). Agar sikap
rendah hati ini tetap terpelihara, maka hendaklah kita menyadari bahwa apa yang
kita lakukan itu semata-mata untuk Tuhan. Paulus telah berkata, “Apapun juga
yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan
bukan untuk manusia.” (Kol 3: 23; bdk Ef 6: 6 – 7). Nasehat Paulus ini sejalan
dengan kata-kata Yesus, “Sesungguhnya, segala sesuatu yang kamu lakukan untuk
salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk
Aku.” (Mat 25: 40).
Godaan lain adalah jatuh ke dalam budaya
pamrih. Kita baru siap melayani kalau ada imbalan, pujian atau sesuatu yang
menguntungkan kita. Jika tak ada, maka kita mundur dari tugas pelayanan. Perlu
disadari bahwa melayani berarti kita memberi sesuatu yang ada pada diri kita,
yang kita terima secara gratis dari Tuhan. Karena itu pula, hendaklah kita juga
bersikap demikian. Nasehat Yesus kepada kita: “Kamu telah memperolehnya
cuma-cuma, karena itu berikanlah pula dengan cuma-cuma.” (Mat 10: 8). Rasul
Paulus telah menghayati perkataan Yesus ini. Maka, kepada jemaat di Korintus
dia berkata, “Upahku ialah ini: bahwa aku boleh memberitakan Injil tanpa upah”
(1Kor 9: 18). Jadi, hendaklah tugas pelayanan kita lakukan tanpa pamrih;
semuanya semata-mata untuk kemuliaan Allah. Seperti nasehat Paulus,
“Muliakanlah Allah dengan dirimu!” (1Kor 6: 20).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar