Dalam islam ada tiket mudah dan murah
untuk masuk surga. Salah satunya adalah memurtadkan atau mengislamkan orang
kafir. Dengan kata lain, memualafkan orang kafir adalah tiket menuju surga. Salah
satu orang kafir itu adalah orang kristen. Bukan tidak mustahil hal ini sudah
ditekankan ke umat islam sejak usia dini. Karena itulah, ada banyak cara yang
dilakukan supaya orang kafir itu menjadi pemeluk islam. Satu di antaranya lewat
membangun opini yang menampilkan tokoh-tokoh kristen yang memeluk islam. Dulu ada
heboh berita tentang Paus Benediktus XVI masuk islam. Ada pula yang membuat
opini “Yesus itu islam.”
Padahal publik sudah tahu islam adalah
agama yang diturunkan oleh Muhammad SAW pada abad VII. Salah satu syarat utama
untuk menjadi penganut agama islam adalah dengan mengucapkan syahadat "AsshHaduala
ilahailallah wa AsshHaduana muhammadurrasulullah", yang artinya: aku
bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah rasul Allah.
Orang yang menganut agama islam sering disebut muslim.
Karena itulah, tentu sebagian besar orang
langsung kaget dengan opini yang dibangun umat islam itu. Bagi orang kristiani,
Yesus adalah peletak dan dasar bagi iman dan ajaran agama kristen. Diketahui
bahwa Yesus sudah ada jauh sebelum Muhammad lahir dan menjadi rasul Allah.
Selisihnya sekitar 6 abad. Jika demikian bagaimana mungkin Yesus disebut
sebagai seorang muslim tanpa menyebut wa AsshHaduana
muhammadurrasulullah?
Agar tidak bingung dan dapat memahami
judul di atas, maka terlebih dahulu kita harus memahami arti dan makna kata
“islam”. Kata ini tak bisa dipisahkan atau dilepaskan dari kata “muslim”.
Keduanya berkaitan erat. Muslim adalah orang yang memeluk agama islam. Jadi,
muslim itu sama artinya dengan orang islam; atau dengan kata lain, muslim itu
merupakan ungkapan lain untuk istilah/frase orang islam. Dan itulah Yesus.
Kalau begitu, apa arti islam?
Secara etimologis kata “islam” berasal
dari bahasa Arab, yang diambil dari kata salima dengan
arti selamat. Dari kata salima itu terbentuk kata aslama yang
artinya menyerahkan diri atau tunduk dan patuh/taat. Kata ini terdapat dalam QS
al-Baqarah: 112: “Bahkan, barangsiapa menyerahkan diri (aslama) kepada
Allah, sedang ia berbuat kebaikan, maka baginya pahala di sisi Tuhannya dan
tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula bersedih hati.”
Selain dua kata itu, Al-Qur’an juga memakai kata kerja “islam” dengan kata yuslim yang berarti tunduk atau menyerah/berserah diri kepada Allah. Tentang makna penyerahan diri secara total, kita dapat menemukan akar kata “islam” pada kata istalma mustaslima. Ini seperti terdapat dalam QS Ash-Shaffat: 26: ”Bahkan mereka pada hari itu menyerah diri.” Karena itu, menjadi muslim berarti beriman kepada Allah dengan tunduk kepada kehendak-Nya dan melaksanakan perintah-Nya. Mungkin dengan ketaatan ini maka datanglah selamat atau keselamatan.
Selain berarti berserah diri, tunduk/taat,
akar kata “islam” juga memiliki arti menyelamatkan orang lain. Ini dapat
ditemukan pada kata sallama. Kata ini tentu tak
bisa dilepaskan dari kata salima yang berarti selamat. Maka
orang muslim berarti orang yang sallama, menyelamatkan orang
lain.
Sampai di sini kita menemukan dua makna
besar dari kata “islam”, yaitu berserah diri sebagai ungkapan ketaatan atau
kepatuhan dan menyelamatkan atau keselamatan. Orang islam, atau seorang muslim
dituntut untuk berserah diri kepada Allah. Sikap berserah diri ini terlihat
dari membiarkan kehendak Allah yang terjadi pada dirinya. Seorang muslim wajib
taat pada kehendak Allah sekalipun kehendak Allah itu bertentangan dengan
harapan dan keinginan dirinya. Selain itu juga, seorang muslim terpanggil untuk
menyelamatkan orang lain (umat manusia). Menyelamatkan manusia ini tidak boleh
mengikuti kehendak pribadi, melainkan kehendak Allah. Jadi, ada kaitan erat
antara menyelamatkan (orang) dengan sikap tunduk dan berserah diri kepada
Allah.
Gambaran muslim itu terlihat dalam diri
Yesus. Semasa hidup-Nya, Yesus melaksanakan apa yang diperintahkan Allah.
Bahkan kematian Yesus di kayu salib mengungkapkan ketaatan pada kehendak Allah.
Yesus tahu bahwa dengan kematian-Nya di kayu salib, yang merupakan ungkapan
ketaatan atau penyerahan total diri-Nya pada kehendak Allah, maka datanglah
keselamatan bagi umat manusia. Maka dari itu, pantaslah dikatakan bahwa Yesus
itu adalah orang islam sejati. Dia benar-benar melaksanakan apa yang ada di
dalam Al-Qur’an: berserah diri dan taat pada perintah Allah.
Demikianlah alasan kenapa Yesus dikatakan
sebagai orang islam. Dia berserah diri secara total dan patuh setia pada
kehendak Allah hingga wafat di kayu salib demi keselamatan umat manusia. Semua
yang dilakukan Yesus adalah gambaran dari kata “islam”, baik dalam pengertian
etimologis maupun biblis. Namun ironisnya Al-Qur’an malah menolak kematian
Yesus di kayu salib. Di satu sisi Al-Qur’an menyarankan agar umat muslim
berserah diri dengan tunduk pada kehendak Allah, namun ketika ada orang yang
berserah diri dengan taat pada kehendak Allah (yaitu Yesus Kristus), malah
ditolak. Al-Quran, dalam surah al-Nisa’ ayat 157, tidak
mengakui bahwa yang tergantung di kayu salib itu adalah Yesus Kristus. Dan ini
menjadi kepercayaan orang islam hingga kini.
Apa yang dilakukan Al-Qur’an terhadap
Yesus dapat diperbandingkan demikian. Seorang dokter mengatakan kepada
pasiennya bahwa dia hanya bisa sembuh jika A, B, C dan D. Karena memang ingin
sembuh, maka pasien itu pun melakukan A, B, C dan D; persis seperti yang
diperintahkan dokter padanya. Namun pada akhirnya dokter mengatakan kepadanya
bahwa dirinya tidak sembuh, tanpa memberikan alasan. Tentulah pasien itu amat
kecewa atas ketidak-konsistenan si dokter.
Akan tetapi, kematian Yesus di kayu salib
bukan bertujuan untuk mendapatkan pengakuan sebagai orang islam. Kematian-Nya
hendak mengungkapkan kesetiaan dan kepatuhan pada kehendak Allah demi karya
penebusan. Kematian Yesus merupakan ungkapan cinta-Nya yang tanpa pamrih kepada
umat manusia. Di sini Yesus mau mengajari kita untuk taat pada kehendak Allah,
sekalipun kehendak Allah itu bertentangan dengan harapan dan keinginan. Yesus
juga menghendaki agar kita meneladani cinta-Nya, mencintai orang lain hingga
pengorbanan. Ketaatan pada Allah dan cinta pada sesama bukan pertama-tama
bertujuan untuk mendapatkan pengakuan.
Ketidak-tegasan dan ketidak-jelasan Al-Qur’an
dapat berdampak pada kebingungan orang yang beritikad baik. Karena, ketika ia
hendak berserah diri kepada Tuhan, patuh dan setia melaksanakan perintah Tuhan,
ia akan dihadapkan pada “penolakan” Al-Qur’an. Yesus sudah mengalaminya. Di
satu sisi Yesus terlihat sebagai seorang muslim sejati (menurut Al-Qur’an)
dengan berserah diri dan taat pada kehendak Allah sampai wafat di kayu salib,
namun di sisi lain Al-Qur’an sendiri menolak sikap dan tindakannya yang sudah
sesuai dengan Al-Qur’an.
Dengan pemahaman demikian, maka dapatlah
dikatakan kalau Yesus justru jauh lebih islam ketimbang Muhammad. Malah bisa
juga dikatakan Muhammad tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Yesus. Tapi anehnya,
kenapa malah umat islam justru lebih memuliakan Muhammad? Kenapa malah Muhammad
dijadikan tolok ukur untuk masuk islam, sekalipun dia sendiri tidak terlalu
islam? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang seharusnya menjadi bahan permenungan
bagi umat islam.
diolah dari tulisan 7 tahun lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar