Dewasa kini agama islam selalu diidentikkan dengan terorisme. Hal ini bukan
saja disebabkan karena pelaku teroris itu beragama islam atau tindakan mereka
dilakukan atas nama islam, tetapi juga karena ajaran islam terkandung juga
terorisme. Al-Qur’an memuat banyak perintah kepada umat islam untuk menebarkan
ketakutan kepada kaum kafir, yang adalah umat non islam. Al-Qur’an tidak hanya
sebatas mengkafir-kafirkan umat agama lain, tetapi juga berusaha untuk
membinasakan orang kafir. Karena Al-Qur’an merupakan pedoman bagi umat islam,
maka terorisme menjadi pilihan hidup bagi umat islam.
Tentulah banyak umat islam menolak tudingan tersebut. Selain mencap orang
yang menuding itu dengan sebutan islamfobia,
mereka juga menegaskan bahwa islam adalah agama damai. Istilah yang biasa
disampaikan adalah rahmatan lil alamin.
Benarkah argumentasi mereka itu?
Sangat menarik kalau kita membaca buku yang ditulis oleh Lawrence Wright dengan
berjudul “SEJARAH TEROR: Jalan Panjang Menuju 11/9”. Yang membuat buku ini
menarik adalah karena buku ini memiliki keterkaitan erat dengan buku KUDETA
MEKKAH meski ditulis oleh dua penulis yang berbeda. Dalam buku KUDETA MEKKAH
dikatakan bahwa aksi yang dilakukan Juhaiman menjadi cikal bakal tragedi 11
September (11/9). Karena itu, buku SEJARAH TEROR merupakan kelanjutan dari
KUDETA MEKKAH.
Wright menyajikan tulisannya dalam bentuk narasi, sama seperti Yaroslav
Trofimov, sehingga enak membacanya. Bahasa yang dipakai pun cukup sederhana
bagi pembaca awam sekalipun. Buku, yang edisi Indonesianya ini diterbitkan oleh
Penerbit Kanisius, mempunyai 576 halaman dilengkapi beberapa foto-foto
dokumentasi.
Meski buku ini terbilang bagus, namun masih terdapat beberapa
kekurangan. Pertama, judulnya “Sejarah Teror” agak tendensius,
karena seakan-akan hanya islam saja yang memiliki tradisi teror. Kedua,
sekalipun dikatakan “Sejarah Teror”, namun tidak terungkap jelas akar terorisme
itu. Padahal, salah satu harapan pembaca adalah mengetahui penyebab
terorisme. Ketiga, ending ceritanya terkesan
tiba-tiba dan cepat. Karena Lawrence Wright menggunakan gaya narasi dalam
penulisannya, maka dia menggunakan alur cerita. Nah, kami merasa
bahwa akhir cerita buku ini muncul mendadak dan begitu singkat (hlm. 446 –
551).
Apa yang mau dikatakan Lawrence Wright lewat bukunya ini? Sebenarnya ada banyak hal yang hendak disampaikan. Namun kami menampilkan dua catatan besar.
1. Islam
dan Terorisme
Membaca buku ini, kita akan dicengangkan betapa terorisme mendapatkan
pendasarannya pada ajaran islam. Di banyak halaman buku ini diungkapkan bahwa
tindakan yang dilakukan para teroris didasarkan pada Al-Quran. Kita bisa
melihat aksi kelompok-kelompok islam radikal, baik di Mesir, Arad Saudi,
Afganistan dan beberapa tempat lainnya yang memakai ayat-ayat Al-Quran sebagai
pembenaran atas tindakannya membunuh, menghancurkan, memusuhi, berperang, dll.
Lawrence Wright menulis betapa para tokoh sentral teroris ini adalah juga
orang yang teguh berpegang pada agamanya. Misalnya Juhaiman, Azzam, Zawahiri,
Syeikh Omar, Osama bin Laden, Mullah Omar, dll. Bahkan ada yang menilai bahwa
Osama bin Laden merupakan prototipe Muhammad. Karena itulah, menjadi pertanyaan
kita: bagaimana bisa seseorang yang religius sekaligus juga teroris.
Dengan dasar Al-Quran itu, para teroris ini bukan saja menebarkan
ketakutan, melainkan juga permusuhan kepada orang Barat dan kristen. Sekalipun
tidak tahu apa-apa, baik orang Barat (termasuk Amerika) maupun kristen di mana
pun ia berada, menjadi dasar permusuhan. Contoh konkret, seperti yang
diutarakan Lawrence Wright, yaitu bahwa ketika al-Qaeda sudah merencanakan
aksinya menyerang Amerika, pihak Amerika sama sekali tidak punya pikiran jahat
terhadap mereka. Amerika tidak menganggap al-Qaeda sebagai musuh, kecuali pasca
11 September.
Ada tiga hal yang selalu menjadi sasaran kebencian kaum muslim, yaitu
Kristen, Yahudi dan Barat (Amerika). Mereka melihat bahwa Amerika merupakan
pusat kekristenan (hlm. 215). Segala keburukan yang menimpa dunia islam,
sekalipun tidak ada hubungannya dengan ketiga obyek tadi, selalu dikaitkan
dengan obyek tadi. Dan anehnya, orang kristen, Yahudi dan Amerika yang tidak
tahu apa-apa, selalu menjadi sasaran/korban. Lihat saja kasus bom beberapa
gereja di Indonesia. Bahkan Paus Yohanes Paulus II pun hendak dijadikan sasaran
(hlm. 224, 296).
Apa yang dilakukan oleh kelompok islam radikal terhadap ketiga obyek itu
bukan hanya mau menunjukkan kefanatikan melainkan juga paranoia. Berkaitan
dengan obyek dunia kristen ini, paranoia itu tak bisa dilepaskan dari sejarah
Perang Salib. Di sini terlihat jelas bahwa kaum muslim belum bisa berdamai
dengan sejarah masa lalu, tidak seperti saudaranya kristen. Mereka masih
membawa semangat itu, apalagi mereka memiliki tujuan untuk mengislamkan dunia.
Sekalipun kelompok non radikal menilai bahwa kelompok radikal itu salah,
namun jarang terdengar kecaman terhadap mereka. Kebanyakan mereka memilih diam.
Lihatlah yang terjadi di Amerika, ketika Syekh Omar Abdul Rahman melancarkan
serangan lewat kotbah-kotbahnya di beberapa tempat di Amerika (hlm. 221 – 223).
Umat yang mendengar tidak melapor ke pihak yang berwajib, melainkan diam saja.
Diam di sini bisa diartikan tanda setuju atas apa yang disuarakan sang syekh.
Satu hal yang menarik adalah pernyataan bahwa tragedi 11 September tak bisa
dipisahkan dari budaya Arab Saudi. Banyak orang Arab, salah satunya Jamal
Khashonggi, membenarkan bahwa Arab Saudi memiliki tanggung jawab budaya atas
terjadinya tragedi 11 September (hlm. 472). Bisa dikatakan aksi kekerasan dan
kebiadaban merupakan sumbangan dari Arab. Islam tak bisa dilepaskan dari Arab.
Karena itu ada pendapat bahwa islamisasi itu identik dengan arabisasi. Menerima
agama islam selalu disertai juga dengan penerimaan budaya Arab. Salah satunya
adalah kekerasannya. Maka dari itu kita bisa maklum kenapa Indonesia, yang
biasanya dikenal sebagai bangsa yang ramah berubah menjadi bringas. Ini bisa
dilihat pada kelompok-kelompok islam garis keras seperti FPI, HTI, dll. Atas
kekerasan yang mereka lakukan, adakah kecaman dan fatwa haram dari MUI?
2. Tragedi
11 September
Satu pertanyaan muncul berkaitan dengan tragedi 11 September adalah kenapa
hal itu bisa terjadi? Bukankah Amerika memiliki sistem keamanan yang canggih?
Lawrence Wright mengungkapkan beberapa alasannya. Pertama,
pihak Amerika tidak memiliki prasangka negatif terhadap kelompok islam garis
keras. Mereka belum berpikir bahwa kelompok ini merupakan ancaman bagi
negaranya. Karena itu, antisipasi menghadapi aksi kelompok islam radikal, yang
umumnya berasal dari dunia Arab, sangat minim. Misalnya penguasaan bahasa,
budaya, tradisi dan hal-hal yang berkaitan dengan islam dan Arab.
Alasan kedua merupakan alasan mendasar, yaitu adanya
persaingan di antara instansi pemerintah dan tidak saling mendukung dalam
melihat sebuah masalah bersama. Persaingan itu terjadi antara FBI dan CIA serta
Dewan Keamanan. Beberapa instansi pemerintah pun terkesan kurang memberi
dukungan. Misalnya, Dubes Yaman. Karena itu, Lawrence Wright menilai bahwa jika
ada kerja sama yang baik antara FBI dan CIA dan jika FBI (John O’Neill)
didengar dari awal, maka tidak akan terjadi tragedi 11 September.
diambil dari tulisan 7 tahun lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar