Dan orang-orang yang
kafir berkata kepada orang-orang
yang beriman, “Ikutilah jalan kami, dan kami akan memikul dosa-dosamu,” padahal
mereka sedikit pun tidak (sanggup) memikul dosa-dosa mereka sendiri.
Sesungguhnya mereka benar-benar pendusta. (QS
29: 12)
Al-Qur’an merupakan pusat spiritualitas umat islam. Ia
dipercaya sebagai wahyu Allah yang disampaikan langsung kepada nabi
Muhammad SAW (570 – 632 M). Kepercayaan ini didasarkan pada perkataan Allah sendiri yang
banyak tersebar dalam Al-Qur’an. Karena Allah itu mahabenar, maka
perkataan-Nya, yang tertulis di dalam Al-Qur’an adalah juga benar. Hal inilah
yang kemudian membuat Al-Qur’an dikenal sebagai kitab kebenaran. Jika ditanya
kepada umat islam kenapa begitu, pastilah mereka menjawab karena itulah yang
dikatakan Al-Qur’an.
Berangkat dari premis ini, maka kutipan ayat Al-Qur’an di
atas haruslah dikatakan berasal dari Allah dan merupakan satu kebenaran. Apa
yang tertulis di atas (kecuali yang ada di dalam tanda kurung), semuanya
diyakini merupakan kata-kata Allah, yang kemudian ditulis oleh manusia. Seperti
itulah kata-kata Allah (sekali lagi minus yang di dalam tanda kurung). Karena
surah ini masuk dalam kelompok surah Makkiyyah, maka bisa dipastikan bahwa Allah menyampaikan wahyu ini
saat Muhammad ada di Mekkah.
Dalam kutipan di atas, ada dua kelompok orang yang menjadi bahan pembicaraan antara Allah dan Muhammad. Kedua kelompok itu adalah orang yang kafir dan orang yang beriman. Pada umumnya, orang yang beriman ini dipahami sebagai kaum muslim, sedangkan orang yang kafir adalah orang non muslim. Untuk situasi Mekkah saat itu, orang yang kafir adalah orang Arab, orang Kristen, Yahudi, Hindu, dll
Jika kita mencermati dan merenungkan dengan pikiran
jernih, maka dapat dikatakan bahwa waktu itu Allah menyampaikan kepada Muhammad
sebuah komentar orang kafir kepada kaum beriman. Sepertinya Allah mendengar
bahwa orang yang kafir sedang mempengaruhi orang yang beriman dengan berkata, “Ikutilah
jalan kami, dan kami akan memikul dosa-dosamu.”
Setelah menyampaikan pernyataan orang yang kafir itu, Allah lantas menegaskan
dua hal berikut, yaitu pertama, mereka
tidak bisa memikul dosa mereka sendiri, bagaimana hendak memikul dosa orang
lain. Alasannya, orang yang kafir adalah orang berdosa. Penegasan ini kembali
ditegaskan Allah dalam QS az-Zumar: 7, “Seseorang yang berdosa tidak memikul
dosa orang lain.” Kedua, orang yang
kafir adalah orang pendusta. Alasannya, orang kafir adalah pendosa; bagaimana
mungkin hendak memikul dosa orang lain.
Jika kutipan di atas ditelaah dengan menggunakan logika
atau akal sehat, maka akan menemukan beberapa hal penting.
1. Siapa yang dimaksud dengan orang kafir dalam wahyu
tersebut? Sebagaimana telah diketahui, pada waktu wahyu ini turun, ada beberapa
kelompok manusia yang masuk kategori orang yang kafir. Namun orang kafir mana
yang mempunyai pandangan “umat akan memikul dosa orang lain”, sementara umat
itu sendiri masih memiliki dosa. Dengan perkataan lain, agama mana yang
mengajarkan bahwa umatnya akan memikul dosa orang yang masuk agamanya?
Penelusuran
atas agama-agama yang ada di Mekkah saat Muhammad masih berada di sana tidak
ditemukan adanya agama yang mempunyai pandangan demikian. Yang agak merempet
dengan pandangan tersebut adalah ajaran agama kristen, dengan ajaran penebusan
dosa. Akan tetapi, agama kristen tak pernah sama sekali mengajarkan bahwa yang
memikul dosa itu adalah umatnya, tetapi Yesus Kristus. Tuhan Yesus-lah yang
akan memikul dosa umat manusia dan memakunya di salib. Itulah kurban penebusan
dosa.
Jika
memang agama kristen yang dimaksud kutipan wahyu di atas, maka dapat dipastikan
terjadi kekeliruan pemahaman. Agama kristen sama sekali tidak pernah
mengajarkan umatnya memikul dosa orang yang memeluk agamanya.
2. Allah islam sibuk menanggapi komentar-komentar orang yang
belum jelas juga kapasitasnya. Dari kutipan di atas, dapatlah diungkapkan bahwa
Allah mendengar orang yang kafir sedang mempengaruhi orang yang beriman dengan
berkata, “Ikutilah jalan kami, dan kami akan memikul
dosa-dosamu.” Setelah itu, Allah mengomentari pernyataan orang yang
kafir itu. Tidak jelas apakah pernyataan orang yang kafir itu merupakan
pernyataan resmi ajaran agama atau hanya sekedar pendapat pribadi. Akan tetapi,
Allah menjadikan pernyataan itu sebagai ajaran resmi suatu agama, meski tidak
jelas agama mana yang dimaksud.
Gambaran
Allah yang sibuk mengurusi komentar-komentar orang banyak ditemukan dalam
Al-Qur’an. Dan komentar orang itu belum tentu juga merupakan ajaran resmi
agamanya. Orang yang ditangapi itu tidak jelas kapasitasnya atau bahwa dapat
dipastikan belum terjamin keahliannya. Kalau pun yang disampaikan itu merupakan
ajaran resmi, namun dengan pemahaman yang kurang tepat sehingga Allah pun salah
paham dalam menanggapinya. Sepertinya orang-orang ini merupakan orang biasa atau
umat awam biasa, karena Allah pernah menyampaikan wahyu kepada Muhammad agar
tidak berdebat dengan ahli kitab.
3. Siapa sebenarnya yang berdusta? Dalam wahyu di atas tidak
jelas siapa yang dimaksud dengan orang kafir yang mempunyai pandangan bahwa
umatnya akan memikul dosa orang yang mengikutinya. Memang agama kristen
memiliki pandangan yang mirip, tapi tidak sama. Jika memang demikian, maka
Allah salah paham.
Sifat
Allah yang sepertinya gegabah, suka menanggapi komentar-komentar orang yang
belum jelas keahliannya membuat Allah jatuh ke dalam kekeliruan. Bisa juga
dikatakan Allah gagal paham. Karena itu, mengatakan orang kafir sebagai
pendusta adalah kurang pas dan kurang etis. Bisa saja karena kekurang-pahaman
akan ajaran agamanya atau karena seloroh, ia keliru menyampaikannya. Dan Allah
sibuk menanggapinya. Dari sini justru Allah-lah yang patut dikatakan sebagai
pendusta.
DEMIKIANLAH 3 poin penting hasil telaah logis atas
kutipan wahyu Allah di atas. Dari 3 poin ini, kita bisa sampai pada satu
kesimpulan kecil: benarkah kutipan wahyu di atas berasal dari Allah? Harus
disadari bahwa Allah itu Maha Mengetahui. Akan tetapi, pada kutipan di atas
terlihat jelas Allah sungguh tidak tahu dan juga tidak paham. Haruslah
dikatakan bahwa kutipan wahyu di atas bukan merupakan wahyu Allah, melainkan
wahyu Allah hasil rekayasa Muhammad. Kutipan di atas berasal dari Muhammad.
Terhadap komentar-komentar tersebut, bisa saja ada 2
kemungkinan. Pertama, bisa saja
komentar tersebut belum pasti kebenarannya. Mungkin yang berkomentar itu salah
atau tidak paham soal subyek komentarnya, mungkin karena salah informasi atau
mungkin karena keterbatasan pengetahuannya sehingga keliru menangkap informasi.
Komentar yang belum pasti kebenarannya inilah membuat tanggapan yang diberikan
pun terkesan ngawur. Kedua, bisa saja
komentar tersebut sudah benar, namun mungkin karena tak bisa memahami kebenaran
tersebut atau mungkin iri dengan kebenaran tersebut, Muhammad akhirnya membuat
pernyataan yang berbeda atau bertentangan sebagai bentuk tanggapan. Dengan kata
lain, kebenaran yang sudah ada dibuat menjadi tidak benar agar orang beralih
kepada kebenarannya; atau menutupi kebenaran dengan kebohongan yang dilabeli
sebagai kebenaran.
Kiranya kemungkinan kedua ini jamak ditemukan pada diri
orang muslim. Dulu umat islam menuduh agama kristen sebagai agama perang,
lantaran datang ke Indoensia berboncengan dengan penjajahan Belanda. Tuduhan
ini sebenarnya menutupi dirinya sendiri, karena ajaran perang justru ditemukan
dalam agama islam, bukan dalam agama kristen. Dewasa ini sering terdengar
istilah islamfobia yang dilontarkan oleh umat islam kepada non muslim. Padahal,
yang sebenarnya fobia itu adalah umat islam, bukan non muslim.
Lantas. apa tujuan di balik kutipan di atas? Baik di
Mekkah maupun di Madinah, Muhammad selalu berusaha untuk menanamkan pengaruh
kepada orang agar bersedia memeluk islam. Karena itulah, tak heran ada begitu
banyak wahyu dengan tipe menanggapi komentar orang, yang tak jelas
kebenarannya. Artinya, komentar-komentar orang itu belum terjamin kebenaran dan
kepastiannya. Namun lewat tanggapan itu Muhammad mau membangun image bahwa pemikiran orang lain itu
salah, dan yang benar ada pada dirinya.
Atau mungkin komentar orang-orang kafir sudah benar,
bukan keliru atau salah. Tapi karena, mungkin tidak bisa memahami pernyataan
tersebut atau mungkin iri dengan pernyataan tersebut, Muhammad akhirnya membuat
pernyataan yang berbeda atau bertentangan sebagai bentuk tanggapan. Ada
indikasi Muhammad membalikkan kebenaran. Tujuannya sederhana, supaya
pengikutnya bisa melihat kesalahan pada pihak luar dan kebenaran pada pihak
Muhammad. Dan dengan demikian pengaruh dan kewibawaannya pun terus tertanam
dalam diri pengikutnya.
Dabo Singkep, 9 Maret 2021
by:
adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar