Ini bukan kisah nyata, melainkan hanyalah sebuah cerita rekayasa. Akan
tetapi, cerita ini jamak ditemui dalam kehidupan nyata. Karena itu, jika ada
kesamaan ide ataupun cerita dalam kehidupan nyata, itu hanyalah kebetulan
semata. Begini kisahnya.
Suatu hari ada seorang pastor dari luar keuskupan datang ke sebuah paroki.
Dia hendak berlibur ke rumah saudaranya. Sesuai kode etik, dia harus
memberitahu keberadaannya kepada pastor paroki setempat.
Pagi hari dia datang ke pastoran. Tujuannya, menghadap pastor paroki dan
melaporkan bahwa dia berada dalam teritorial paroki tersebut. Di ruang sekretariat
ia disambut biasa-biasa saja oleh petugas sekretaris.
Pastor : Selamat pagi!
Sekretaris : Selamat pagi! Ada yang
bisa kami bantu?
Sekretaris itu bertanya sambil mata tetap di layar komputer, sementara
jemarinya menari-nari di antara tuts-tuts keyboard. Terlihat kalau
sekretaris itu sedang sibuk.
Pastor : Saya mau ketemu
pastor paroki. Pastor parokinya ada?
Sekretaris : Sudah buat janji? (mata masih menatap layar komputer)
Pastor : Belum. Saya tak punya nomornya.
Sekrataris : (sambil menulis di secarik kertas, lalu menyerahkan kepada tamunya)
Ini nomor-nomor HP pastor paroki. Pilih saja salah satu. Bapak hubungi saja
dulu, besok baru datang. Kebetulan hari ini acara padat (hanya sekedar alasan).
Pastor : Terima kasih. (pastor tamu itu pun pamit).
Siangnya pastor tamu itu menghubungi pastor paroki. Ia memberitahu kalau
sebenarnya ia ingin ketemu langsung, bukan hanya sekedar melapor, melainkan
ngobrol sebagai sesama imam, berbagi pengalaman sebagai sesama rekan imam. Ia
merasa tak enak bicara via HP. Pastor paroki mengundangnya datang besok pagi.
Kepada sekretaris ia memberitahu bahwa yang tadi datang itu adalah pastor dari
keuskupan lain.
Keesokan harinya. Ketika sang pastor tamu baru tiba di gerbang pastoran,
sang sekretaris sudah siap menyambut dengan wajah senyum ceria. Dia langsung
menyalami pastor tamunya itu.
Sekretaris : Waduh, maaf ya romo.
Saya pikir kemarin itu bukan romo. Ternyata saya keliru. Soalnya romonya tak
pake tanda pengenal sih.
Sang pastor tamu hanya tersenyum saja. Sekretaris itu dengan sopan
mempersilahkan pastor tamu itu duduk di ruang tamu, lalu mengambilkan air
minum. Kemudian dia ke kamar pastor paroki untuk memberitahu bahwa pastor
tamunya sudah datang.
Rasa hormat merupakan salah satu keutamaan moral setiap manusia. Hanya
manusia bermoral saja yang punya rasa hormat satu dengan lainnya. Dari sinilah
muncul istilah perikemanusiaan. Bahkan terkadang rasa hormat manusia ditujukan
juga kepada makhluk ciptaan lain.
Akan tetapi kemunculan rasa hormat ini bisa saja otomatis bisa juga
terprogram. Rasa hormat otomatis muncul dengan sendirinya karena sesama yang
dihadapinya memang layak untuk dihormati. Orang dengan rasa hormati otomatis
tidak akan mempedulikan status sosial, gelar ataupun pangkat orang yang
dihadapinya. Ketika dia merasa bahwa orang ini pantas menerima hormat, maka ia
akan memberikannya. Rasa hormat itu timbul dengan sendirinya. Orang dengan rasa
hormat otomatis memberi rasa hormat karena melihat kemanusiaan sesamanya.
Berbeda dengan rasa hormat terprogram. Rasa hormat terprogram adalah rasa
hormat yang baru muncul kalau sudah diprogram. Biasanya orang yang memiliki
rasa hormat terprogram baru memunculkan rasa hormat jika ia tahu orang yang
dihadapinya masuk kriteria pantas diberi hormat atau tidak. Misalnya seperti
sekretaris di atas. Rasa hormatnya sudah diatur untuk para pastor. Ketika ia
belum tahu bahwa yang dihadapinya itu adalah pastor, rasa hormat itu tidak
muncul. Baru ketika ia tahu, rasa hormat itu muncul. Jadi, orang dengan rasa
hormat terprogram memberi rasa hormat karena melihat status, gelar atau pangkat
yang sudah terprogram dalam benaknya.
Bagaimana dengan rasa hormat Anda terhadap sesama?
diambil dari tulisan 7 tahun lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar