Membaca tulisan-tulisan tentang seruan untuk mematikan
televisi, kita dapat menyimpulkan bahwa televisi itu tidak baik bagi kehidupan
kita. Televisi yang seharusnya menjadi media informasi dan edukasi, selain
hiburan, justru menjadi “candu” yang merusak moral kepribadian kita.
Tulisan-tulisan tersebut benar-benar mau menyatakan bahwa televisi itu
berbahaya. Oleh karena itulah mereka berseru: ”Matikan televisimu
sekarang juga!!!”
Benarkah televisi itu jahat dan tidak baik?
Berbahayakah ia untuk kehidupan kita? Bila kita menyimak tulisan-tulisan itu,
kita akan berani mengambil satu kesimpulan tegas bahwa televisi memang
berbahaya. Data dan fakta sudah ada dan terbukti serta teruji. Jadi, kita mau
apa lagi? Di beberapa daerah malah ada yang berani memasang spanduk larangan
menonton sinetron dan juga tv.
Mau mematikan tv? Beranikah kita?
Buah Simalangkama
Mematikan televisi bukanlah pekerjaan mudah, semudah
membalikkan telapak tangan. Apalagi bila televisi itu benar-benar sudah merasuk
ke dalam kehidupan kita dan menjadi kebutuhan primer bagi kita. Sungguh, jaman
sekarang ini televisi tak bisa dilepaskan dari kehidupan kebanyakan manusia.
Karena itu, wajar saja bila tugas itu sangat berat. Kita ibarat memakan buah
simalangkama
Akan tetapi, ada satu pertanyaan masih mengusik pikiran saya: apakah televisi benar-benar jahat dan buruk?
TIDAK!!! Televisi itu, dari dirinya sendiri,
sebenarnya netral. Ia tidak baik juga tidak jahat. Ia bisa membawa kebaikan,
bisa juga malapetaka. Itu semua tergantung pada manusia yang
menggunakannya. Man behind the guns. Manusialah yang menentukan apakah televisi itu baik atau buruk;
membawa berkat atau bencana. Dan sungguh ironis bahwa manusia sendiri yang
membuat televisi itu buruk dan membawa bencana bagi dirinya sendiri. Sungguh
amat tragis!!!
Manusia adalah kata kuncinya. Dialah penentu atas
televisi, bukan sebaliknya. Dasarnya dapat kita lihat dari kisah penciptaan
(bdk. Kej 1: 26 – 28). Manusia diciptakan untuk menjadi tuan atas ciptaan Allah
dan (sudah pasti) atas ciptaan manusia sendiri. Jadi, terhadap televisi manusia
sudah seharusnya dan sepantasnya menjadi pengendali televisi karena dia adalah
”tuan” atas televisi. Semestinya televisi yang melayani manusia bukan manusia
yang melayani televisi.
Gnoti se auton, bunyi sebuah tulisan di sebuah gua di daerah Yunani
yang berarti jadilah dirimu sendiri. Kalimat ini mau mengajak manusia untuk
bisa mengendalikan dirinya sendiri agar bisa menjadi dirinya sendiri. Manusia
terlebih dahulu harus mampu mengendalikan dirinya sendiri baru kemudian mengendalikan
orang lain dan/atau sesuatu di luar dirinya.
Dalam relasinya dengan televisi, ajaran di atas bisa
diterapkan. Memang kita diajak untuk bisa mengendalikan televisi. Nah, bila
kita sudah bisa mengendalikan diri kita sendiri, maka otomatis kita bisa mengendalikan
televisi. Kitalah yang menentukan kapan mau menonton televisi, acara apa saja
yang mau ditonton, kapan kita berhenti, dll. Jadi, tidak akan terjadi kita
berada di depan televisi mulai dari pagi hingga larut malam, bahkan sampai pagi
lagi. Atau malah terkadang kita menonton televisi sampai televisi yang menonton
diri kita (karena kita tidur di depan televisi yang masih menyala).
Bagaimana kita bisa mengendalikan diri? Pertama-tama
adalah dengan mengikuti aturan-aturan yang ada, baik di asrama, sekolah ataupun
di jalanan. Hidup kita tentu tak lepas dari peraturan. Nah, menjalani aturan
dengan disiplin merupakan salah satu sarana latihan untuk mengendalikan diri.
Contoh: ada aturan bangun tidur jam 04.30. Saat dibangunkan pada jam itu, ada
keinginan kita untuk tetap terus di tempat tidur. Nah, kalau kita mau bisa
mengendalikan diri, maka kekanglah keinginan untuk terus tidur dan segeralah
bangun. Demikian pula dengan aturan lainnya, seperti jam belajar, saatnya
berhenti olah raga dan waktunya mandi, dll.
Cara kedua adalah menumbuhkan kesadaran. Kesadaran
merupakan aktivitas akal (ratio) dan hati. Untuk bisa menumbuhkan kesadaran
ini, yang harus dilakukan adalah dengan cara ”mematikan keinginan” (bdk. Titus
2: 12). Sebab, seperti kata Yakobus dalam suratnya, ”Tiap-tiap orang dicobai
oleh keinginannya sendiri, karena ia diseret dan dipikat olehnya. Dan apabila
keinginan itu telah dibuahi, ia melahirkan dosa; dan apabila dosa itu sudah
matang, ia melahirkan maut.” (Yak 1: 14 – 15). Menumbuhkan kesadaran merupakan
proses yang cukup panjang. Dan lagi-lagi mengikuti peraturan adalah langkah
awal untuk itu, asal menjalani peraturan bukan karena aturan, rutinitas dan
takut dimarah serta ingin dipuji, melainkan karena nilai.
Kenapa Saya Tidak Suka Televisi: Sebuah Sharing
Ketika saya masih SD saya sama sekali tak pernah
menikmati televisi. Memang di rumah ada televisi, namun jarang sekali saya
menontonnya. Paling cuma film Si Unyil, kartun seperti
Tom & Jerry, Donal Bebek, Scobi Doo, dll. Dunia saya waktu itu adalah dunia bermain. Segala
permainan anak-anak kami mainkan. Dan itu semua dilakukan di luar rumah, bahkan
sampai jauh dari rumah. Mungkin sudah sifat saya suka berpetualang. Tak ada
rasa takut.
Namun ada hal positif yang muncul saat itu, yaitu adanya
kreativitas, persaudaraan dan inovasi. Meskipun kami anak-anak, semangat
pertemanan dan kekompakan mendorong untuk berkreativitas pada hal-hal yang
baru.
Waktu saya SMP dan Seminari Menengah, saya sama
sekali tidak pernah bertemu dengan televisi. Dunia saya
adalah belajar dan bekerja. Selingan dari itu, sekedar hiburan adalah
mendengarkan radio, khususnya siaran BBC London dan ABC
Australia. Sama sekali tidak ada
keinginan untuk menonton televisi, kecuali film. Maka, satu-satunya hiburan
waktu ini adalah nonton film dengan alat slide dan sesekali
video. Mungkin 2 x setahun.
Nah, saat saya di Seminari Tinggi-lah minat nonton
televisi itu muncul. Setiap ada kesempatan nonton, pasti saya sudah ada di
depan televisi. Malah kalau hari libur acara nonton itu bisa sampai puas. Akan
tetapi, sekalipun saya menonton sampai larut malam (apalagi acara sepak bola),
tetap peraturan seminari tidak terlanggarkan. Dan satu hal lain lagi adalah
bahwa acara lama (membaca dan mendengar siaran radio) tidak berhenti, meski
sudah ada televisi.
Akan tetapi, setelah saya memasuki tahun terakhir di
STFT (PS-2), saya mulai mendapat pencerahan. Suatu ketika saya pergi kerasulan
di suatu tempat terpencil. Listrik tak ada, apalagi televisi. Waktu itu saya
sedang mengikuti acara serial film di salah satu pemancar televisi. Begitu
gelisahnya hati saya. Dari sinilah saya akhirnya sadar, kalau saya sudah
tergantung pada televisi. Di sini saya disadarkan bahwa masih ada tepat yang
belum punya televisi. Karena itu, saya mulai mengurangi ketergantungan pada
televisi. Cara yang saya tempuh adalah dengan disiplin pada peraturan seminari.
Karena, bagi saya, dengan mengikuti aturan hidup, saya sudah berusaha untuk
mengalahkan keinginan.
Akhirnya berhasil. Ketika saya bertugas di beberapa
tempat terpencil di keuskupan saya, yang semuanya belum ada listrik dan
televisi, saya bisa mencurahkan perhatian saya kepada umat. Sama sekali saya
tidak berpikir soal televisi. Saya bisa berkreasi dalam tugas kerasulan. Dan
itu benar-benar membahagiakan.
Sampai sekarang pun saya bisa hidup tanpa televisi.
Sama sekali saya tidak punya niat untuk menonton, kecuali nonton video. Tapi
saya benar-benar tidak tergantung. Saya bisa ”mematikan” televisi. Apalagi
dengan tidak menonton televisi berarti saya turut serta dalam proses
penyelamatan planet ini dari bahaya pemanasan global serta penghematan.
Kalau tidak nonton televisi, lalu mau buat apa? Dengan
apa menghibur diri? Ada banyak jalan menuju Roma. Televisi
bukanlah satu-satunya sarana hiburan. Bagi orang yang tidak biasa berkreatif,
tentulah menganggap televisi satu-satunya sarana hiburan. Sehingga dia akan
berusaha agar di mana ia berada selalu ada televisi dan pematian televisi
merupakan ”kiamat” kecil baginya. Dan untuk menggantikan perannya, saya
mengembangkan budaya membaca, menulis dan mendengarkan.
Saya memang tidak suka televisi, tapi bukan berarti
saya anti dengannya. Terkadang saya menonton televisi. Namun yang jelas adalah
sayalah yang menentukan diri saya sendiri, bukan televisi yang menentukan saya.
Ada beberapa tips baik untuk menonton dan tips ini sudah saya terapkan dalam
hidup saya:
1. Pertama-tama, tentukan dahulu
untuk apa kita menonton dan mau menonton apa. Ini penting agar jelas tujuannya,
sehingga bila tujuan sudah tercapai, kita bisa tinggalkan televisi. Waktu saya
masih di Bangka, setiap jam tanyang Naruto saya selalu berada di depan
televisi; selebihnya di kamar. Sesudah itu, mulai jam 21.00 saya di depan
televisi untuk menonton Bioskop TransTV.
2. Jangan suka pindah-pindah channel. Bila kita buka dan
sedang nonton acara di salah satu stasiun
tv, berusahalah untuk tidak menggantikan channel saat jedah iklan. Nikmatilah
iklan itu sebagai huburan. Ini untuk melatih kesetiaan dan mengendalikan
keinginan diri. Maka, kalau saya sedang nonton film di TransTv, maka sampai
film itu selesai, saya tidak akan pernah ganti channel.
3. Cobalah untuk mencari informasi
film yang akan ditayangkan.
4. Berusahalah untuk tetap mengikuti
suatu acara, misalnya film. Pakailah juga otakmu untuk berpikir, menganalisa
dan menilai, bukan sekedar menikmati saja. Untuk itu sangat dibutuhkan
konsentrasi saat menonton dan konsentrasi identik dengan diam dan tenang serta
perhatian.
5. Yakinkan dirimu bahwa iklan itu
menipu agar kamu tidak terpancing dan tergoda.
Perlukah kita mematikan televisi kita? Tak perlu
diragukan lagi: matikanlah televisimu sekarang juga. Jangan tunda sampai Anda
menjadi budak televisi. Toh, apa yang dianjurkan dalam tulisan-tulisan itu
bukanlah berarti mematikan total. Intinya adalah kita yang menentukan dan
memegang kendali apakah menonton atau tidak, apa saja yang mau ditonton,
sekaligus diri kita menjadi filter dalam menerima pengaruh negatif dari
televisi. Persoalannya: apakah kita bisa dan mau?
diambil dari tulisan 7 tahun lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar