Publik Indonesia kembali dihebohkan dengan munculnya wacana pelarangan minuman beralkohol (mikol) di Indonesia. Wacana ini bukan sekedar basa basi, tetapi bakal jadi kenyataan karena wacana tersebut sudah tertuang dalam Rancangan Undang-undang (RUU). Dan sebagaimana biasa, reaksi pro kontra pun bermunculan. Terlihat bahwa masing-masing pihak hanya melihat dari sudut pandangnya saja. Misalnya, pihak pro mendukung RUU ini karena melihat dampak buruk dari mikol. Argumentasinya tak jauh beda dengan apa yang ada dalam RUU tersebut. Sementara pihak kontra menolak karena melihat dampak negatif ekonomi yang ditimbulkan oleh RUU tersebut.
Di
sini kami tidak mau mengulangi argumentasi-argumentasi pro kontra tersebut.
Dalam tulisan ini kami hanya ingin mengungkap kesesatan logika pembuat RUU ini.
Setelah membaca RUU tentang Larangan Minuman Beralkohol secara utuh (termasuk
juga penjelasannya), kami mencoba menggambarkan jalan pikiran yang ada dalam
RUU ini. Seperti inilah jalan pikirannya: Ada
mikol – ada orang mabuk – ada ekses: tindak kejahatan yang menggangu kenyamanan masyarakat, dan masalah gangguan kesehatan.
Akan
tetapi, sepertinya jalan pikiran pembuat RUU ini terbalik. Pembuat RUU ini
memulai dari ekses yang ada di tengah masyarakat, dan langsung menuju kepada
mikol sebagai biangnya. Dengan cara berpikir seperti ini akhirnya pembuat RUU
langsung melompat kepada kesimpulan untuk melarang mikol. Inilah lompatan
pikiran, yang menyebabkan mikol berada pada pihak yang disalahkan. Karena
lompatan ini ada beberapa alur pikir yang terlewati. Salah satu alur pikir yang
terlewati adalah penyalah-gunaan mikol.
Harus
jujur diakui bahwa mikol tidak salah dan tidak jahat. Mikol bukan penyebab
langsung tindak kriminal di tengah masyarakat dan juga gangguan kesehatan.
Keberadaan mikol justru bisa berdampak langsung bagi kehidupan ekonomi
masyarakat. Karena itu, dalam islam Allah SWT mengizinkan umat islam untuk
membuat miras dan menjualnya sehingga mendatangkan rezeki (QS 16: 67). Di sini
tampak bahwa Al-Qur’an menyatakan mikol tidak dilarang sama sekali, malah
dianjurkan. (Lebih lanjut baca: Ajaran Islam tentang Miras dan Apa Kata Allah SWT dan Muhammad SAW tentang Miras)
Kebijakan langsung melarang mikol, sebagaimana alur pikir pembuat RUU ini justru malah berdampak pada dimensi kehidupan lainnya. Sepertinya pembuat RUU ini menutup mata terhadap dimensi-dimensi ini. Perlu diketahui, ada beberapa daerah di Indonesia yang dikenal sebagai daerah penghasil mikol. Ada banyak orang mendapatkan kehidupan yang layak dari hasil menjual mikol. Bagi sebagian masyarakat, itulah sumber ekonomi mereka. Pelarangan mikol jelas-jelas bertentangan dengan hak atas penghidupan yang layak dan memilih pekerjaan, sebagaimana tertuang dalam pasal ayat [2] dan pasal 28E ayat [1] UUD 1945.
Cara
berpikir pembuat RUU ini sungguh sesat dan berbahaya bila diterapkan juga pada
hal-hal lain. Misalnya, kita buat perbandingan dengan terorisme. Jalan
pikirannya kurang lebih sama: ada agama –
ada teroris – ada ekses, yaitu keresahan masyarakat. Sudah jadi rahasia umum
kalau islam merupakan agama teror, karena para teroris mendasarkan tindakannya pada ajaran agama. Hanya sekedar menyebut
misalnya QS 2: 191; QS 4: 91; QS 8: 12; QS 9: 5, 12, 14, 73, 123; QS 33: 26; QS
59: 2; QS 66: 9. Jika kita menggunakan cara pikir pembuat RUU ini, maka
logikanya adalah melarang agama yang melahirkan teroris. Beranikah pembuat
undang-undang melakukan hal itu? (Tentang islam dan terorisme, silahkan baca: Catatan Lepas Buku "Sejarah Teror", Islam, ISIS dan Terorisme, Islam dan Radikalisme)
Perbandingan
lain dapat kita temui dalam soal senjata tajam (sajam). Jalan pikirannya
seperti ini: ada sajam – ada pembunuh – ada ekses, yaitu tindak kriminal yang meresahkan masyarakat. Ada pembunuhan, ada perampokan, ada begal, ada tawuran, dll. Artinya, ada banyak tindak kriminal yang menggunakan senjata tajam, seperti
pisau dan parang, yang melahirkan banyak korban, baik luka, cacat permanen
maupun meninggal dunia. Jika memakai cara pikir pembuat RUU ini, maka logikanya
adalah melarang senjata tajam yang membuat resah masyarakat.
Pembuat
RUU ini sepertinya lupa kalau masih banyak orang membutuhkan mikol, bukan untuk
menyalah-gunakannya tetapi untuk kepentingan positif lainnya. Sama seperti
masih banyak orang yang membutuhkan agama, yang telah dibajak oleh teroris;
atau masih banyak orang yang membutuhkan senjata tajam untuk kebutuhan positp
lainnya. Tindakan pelarangan justru menghilangkan juga sisi positip yang ada.
Karena
itu, adalah bijak jika mikol tidak dilarang. Mikol bukanlah subyek
permasalahan; ia hanyalah korban dari penyalah-gunaan. Untuk menghindari dampak
buruk yang lahir dari penyalah-gunaannya, sebagaimana tertuang dalam RUU ini,
maka yang ditindak adalah orang yang menyalah-gunakan mikol. Mungkin langkah
awalnya adalah mengubah judulnya menjadi RUU tentang Larangan Penyalah-gunaan
Minuman Beralkohol. Terkait dengan ini, maka harus ada beberapa perubahan,
khususnya pada klasifikasi, larangan dan ketentuan pidana.
1. Pasal
4: yang dilarang adalah mikol oplosan. Yang dimaksud dengan mikol oplosan
adalah mikol yang di dalamnya ada campuran bahan-bahan yang berbahaya bagi
kesehatan, seperti obat nyamuk.
2. Pasal
5: yang dilarang adalah memproduksi mikol yang mengandung bahan-bahan yang
berbahaya bagi keselamatan jiwa (seperti oplosan dengan bahan obat nyamuk).
Jika campuran atau racikan bahan yang berguna bagi kesehatan, tentulah tidak
masalah. Mikol golongan A, B, dan C umumnya sudah berlabel, dan jelas siapa
yang memproduksinya, sehingga produsennya mudah diminta pertanggung-jawaban
jika terjadi penyalah-gunaan produksi.
3. Pasal
6: yang dilarang adalah mengedar dan menjual mikol oplosan atau mikol yang tak
jelas kandungannya, atau tahu jelas bahwa kandungannya dari bahan-bahan yang
berbahaya, seperti obat nyamuk. Mikol golongan A, B, dan C sudah jelas
kandungan dan kadar alkoholnya sehingga tak masalah untuk diedar dan dijual.
4. Perlu
ditambah larangan untuk mengedar dan menjual mikol, apapun jenis dan
golongannya, kepada anak di bawah usia 19 tahun.
5. Pasal
7: yang dilarang adalah mengonsumsi mikol secara berlebihan sehingga berdampak
pada mabuk yang negatif. Perlu diketahui bahwa ada mikol tradisional dan mikol
campuran untuk kesehatan, yang baru bisa berdaya-guna jika diminum.
6. Perubahan
pada pasal 5 – 7 berdampak pada penghapusan pasal 8.
7. Pasal
9 lebih baik dimasukkan ke Bab IV, Pengawasan.
8. Sanksi
berat seharusnya diberikan kepada penyalah-guna mikol.
a) Sanksi
pidana penjara 5 – 20 tahun atau denda Rp. 1 – 2 miliyar diberikan kepada
mereka yang mengonsumsi mikol secara berlebihan sehingga berdampak pada mabuk
yang negatif. Jika dampak negatif itu mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain,
maka pidananya ditambah 1/3 (satu pertiga). Ini perubahan pasal 18.
b) Sanksi
pidana penjara 5 – 15 tahun atau denda Rp. 500 juta – 1 miliyar diberikan
kepada mereka yang memproduksi mikol oplosan (campuran dengan bahan-bahan yang
tak lazim). Jika akibat perbuatannya ini mengakibatkan hilangnya nyawa orang
lain, maka pidananya ditambah 1/3 (satu pertiga). Ini perubahan pasal 19.
c) Sanksi
pidana penjara 2 – 10 tahun atau denda Rp. 100 juta – 500 juta diberikan kepada
mereka yang mengedar dan menjual mikol oplosan (campuran dengan bahan-bahan
yang tak lazim) dan/atau mengedar dan menjual mikol kepada anak di bawah usia
19 tahun. Jika akibat penjualannya itu mengakibatkan hilangnya nyawa orang
lain, maka pidananya ditambah 1/3 (satu pertiga). Ini perubahan pasal 20.
d) Sanksi
pidana penjara 6 bulan – 5 tahun atau denda Rp. 10 – 100 juta diberikan kepada
orangtua yang anaknya kedapatan mengonsumsi, mengedarkan dan menjual mikol.
Jika akibat perbuatan anak itu mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain, maka
pidananya ditambah 1/3 (satu pertiga). Ini perubahan pasal 21.
Demikianlah
perubahan RUU tentang Larangan Minuman Beralkohol sebagai konsekuensi dari
penanganan langsung ke subyek permasalahan. Subyek masalah sebenarnya bukan
mikol, tetapi manusia yang menyalah-gunakan mikol tersebut. Jika mikol dipakai
sebagaimana seharusnya, mikol malah mendatangkan manfaat, baik itu kesehatan,
hiburan dan juga ekonomi. Memanfaatkan mikol dengan baik dan benar justru
sejalan dengan UUD 45 pasal ayat [2] dan pasal 28E ayat [1].
Selain
memaparkan kesesatan pikir yang ada dalam RUU ini, kami juga hendak
mengungkapkan beberapa catatan terkait pasal-pasal tertentu. Pastinya
pasal-pasal yang termasuk dalm perubahan tidak termasuk. Pertama-tama kami
memfokuskan pada pasal 3 yang berisi tujuan dari larangan mikol. Pembuat RUU
ini tidak sadar kalau tujuan pelarangan mikol berdampak pada hal-hal lain, yang
justru merugikan masyarakat. Sebenarnya ada banyak cara untuk melindungi,
menumbuhkan kesadaran secara menciptakan ketertiban dan ketentraman masyarakat
dari gangguan yang ditimbulkan oleh peminum mikol tanpa harus melenyapkan sama
sekali mikol. Misalnya dengan iklan-iklan di media cetak dan elektrik, baliho
atau dengan membuat sanksi pidana yang sangat berat bagi mereka yang kedapatan
mabuk dan bikin rusuh.
Dalam
RUU tersebut, ada kesan bahwa pasal 8 bertentangan dengan pasal 3, atau jika
tidak mau dikatakan bertentangan bisa dikatakan larangan atas mikol adalah
larangan setengah hati. Harus disadari bahwa akar permasalahan terletak pada penyalah-gunaan. Kita tahu bahwa
penyalah-gunaan mikol yang berdampak pada keresahan masyarakat dan dampak
negatif lainnya bisa terjadi dimana saja, entah itu pada upacara
adat-keagamaan, di lokasi wisata atau juga di tempat-tempat yang diizinkan oleh
hukum.
Kami
tidak menemukan masalah pada Bab IV, V dan VII. Khusus bab IV ada penambahan pasal,
yaitu pasal 9. Akan tetapi, perlu juga dipertimbangkan untuk melibatkan pihak
produsen atau distributor mikol untuk membiayai sosialisasi akan bahaya
penyalah-gunaan mikol (bandingkan dengan rokok) dan juga rehabilitasi korban
kecanduan mikol.
Pada
Penjelasan Atas RUU tentang Larangan Minuman Beralkohol, khusus pada paragraf 4
bagian UMUM, pembuat RUU ini
mengatakan bahwa mikol bertentangan dengan norma agama. Ada kesan bahwa pembuat
RUU ini mau mencari dukungan dari agama agar RUU ini tidak mendapat perlawanan.
Karena orang yang menentang RUU ini pasti akan berhadapan dengan “dakwaan”
agamanya. Kita dapat mengajukan pertanyaan, agama mana yang terang-terangan
melarang mikol? Jangan hanya sekedar mengatas-namakan agama sementara agama
sendiri tidak melarang. Yang jelas-jelas dilarang oleh agama adalah
penyalah-gunaan mikol. Secara sederhana, agama melarang umatnya untuk tidak
mabuk oleh mikol.
Dabo
Singkep, 17 November 2020
by: adrian, seorang penikmat mikol
Tidak ada komentar:
Posting Komentar