Kemampuan menemukan solusi
atau problem solving, umumnya
dimiliki oleh orang yang sudah memiliki kemampuan kognitif. Setidak-tidaknya
anak usia 10 tahun sudah dapat melakukan hal tersebut. Akan tetapi, sebenarnya
kemampuan menemukan solusi sudah dapat dilatih sejak usia balita. Kemampuan ini
membuat anak terlihat lebih mandiri.
Karakter anak mandiri bisa
dibentuk sejak anak balita. Masa balita adalah masa anak menangkap dan
mengingat perlakuan yang dilihat dan diterimanya. Saat itu, kecerdasan dan
kreativitas anak berkembang. Menurut psikolog Lucia R.M. Royanto, kemampuan
memecahkan masalah pada anak sangat dipengaruhi faktor lingkungan berupa
stimulasi-stimulasi psikologis melalui kegiatan-kegiatan yang dilakukan bersama
anak. “Stimulasi psikologis yang diberikan oleh ibu berupa permainan dan
latihan yang dapat mengembangkan kemampuan anak akan membantu perkembangan anak
secara maksimal,” kata Lucia pada kesempatan yang sama.
Pengajar pada Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia ini menjelaskan rangkaian proses untuk sampai
pada tahap pemecahan masalah dimulai dari adanya atensi, kemudian fokus,
konsentrasi, mengingat, belajar, dan memecahkan masalah. Lucia mencontohkan
dalam kehidupan sehari-hari saat anak melihat ibunya makan dengan sendok dan
garpu. Di saat itu anak mengarahkan atensi dan fokusnya terhadap apa yang
dilakukan ibunya ketika makan dengan menggunakan sendok dan garpu. Dengan
konsentrasi, apa yang dilakukan ibunya akan masuk ke dalam ingatan anak dan di
situ pula proses belajar terjadi.
Di kesempatan lain saat
anak berada dalam situasi yang berbeda, misalnya di sekolah, dia hendak makan
tapi hanya tersedia sendok, anak akan berpikir bagaimana dia dapat melakukan
kegiatan makan tanpa garpu. Di situlah kemampuan pemecahan masalahnya diuji. Di
ingatannya, jelas ia menyimpan memori bahwa ibunya makan dengan sendok dan
garpu, tapi kini situasi yang dihadapinya berbeda. Maka dia memecahkan masalah
bahwa dia dapat menggunakan sendok sekaligus sebagai garpu.
Kemampuan memecahkan
masalah pada anak, menurut Lucia, harus dilatih sejak kecil. Orangtua bisa
melatihnya dari hal-hal kecil yang ditemui sehari-hari, misalnya mengikat tali
sepatu atau mengancingkan baju. “Itu kan problem solving dalam
makna yang sederhana. Jadi orangtua tidak harus menunggu sampai perkembangan
kognitifnya sudah lebih baik baru dia bisa problem solving. Dari
hal-hal sederhana sehari-hari pun sebenarnya anak melakukan problem
solving. Cuma kadang-kadang orangtua berpikir bahwa problem
solving harus yang sulit. Sebenarnya nggak,” ujar Lucia.
Stimulasi psikologis yang
bisa dilakukan orangtua dalam melatih kemampuan ini bisa dalam bentuk
permainan, misalnya puzzle, leggo, ataupun blok susun-bangun.
Namun yang perlu ditekankan adalah pendampingan dan keterlibatan orangtua dalam permainan yang dilakukan anak. Di situ
orangtua memberi tantangan saat anak menghadapi masalah. “Jangan bilang, sini
ibu bantuin. Kalau dibantuin, dia nggak mikir. Tapi
kalau ditantang, coba dipikir lagi gimana caranya. Nah
ditantang seperti itu dia berlatih problem solving,” kata
Lucia. Dia menambahkan, selain faktor lingkungan, kemampuan memecahkan masalah
juga dipengaruhi asupan nutrisi yang diterima anak.
Senada dengan Lucia, pakar
nutrisi Emilia Achmadi mengatakan asupan nutrisi sangat penting untuk mendukung
perkembangan otak anak. Apalagi "periode emas" perkembangan sel-sel
otak terjadi saat anak berusia 0-3 tahun dan mencapai puncaknya pada usia 10-12
tahun. “Bila di saat-saat awal perkembangan otak anak sudah terhambat, ke
sananya sudah sulit untuk meng-catch up (mengejar),” kata Emilia.
Beberapa asupan nutrisi
yang penting bagi perkembangan otak, lanjut Emilia, di antaranya Omega 3 yang
merupakan komponen utama lemak dalam sistem saraf pusat. Zat ini terdapat pada
ikan laut dalam seperti ikan salmon, ikan tuna, serta telur. Zat lainnya yang
juga penting adalah kolin dan mikronutrien lain seperti zat besi, yodium, seng,
vitamin B6 dan B12.
diolah kembali dari tulisan 8 tahun lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar