Di tengah
pandemi virus korona atau covid-19, jagat media sosial dihebohkan dengan video
ceramah keagamaan Habib Bahar Smith (lebih jauh isi videonya, langsung saja
klik di sini). Hampir sepanjang ceramahnya, sang Habib meluapkan emosinya atas
kebijakan penutupan masjid atau “pelarangan” shalat berjamaah di masjid. Karena
masjid itu milik Allah SWT atau masjid itu rumah Allah SWT, kebijakan penutupan
itu dinilai Habib sebagai menghalangi umat islam bertemu dengan Allah SWT.
Bukan
hanya soal kebijakan penutupan masjid saja yang dipermasalahkan dalam ceramah
keagamaannya. Habib Smith juga mempersoalkan pelarangan tabligh akbar. Sebagaimana
diketahui, untuk mengurangi tingkat penyebaran virus korona, pemerintah melarang
orang untuk berkumpul dalam kerumunan. Kebijakan ini dikenal dengan istilah social distancing atau physical distancing. Namun bagi Habib
Smith, kebijakan tersebut membatasi hak umat islam untuk mengetahui risalah
Nabi Muhammad SAW, karena dalam acara tabligh akbar, dimana orang banyak
berkumpul, akan ada penyampaian risalah atau ajaran nabi. Melarang orang
berkumpul sama saja artinya melarang orang mengetahui risalah atau ajaran nabi.
Setidaknya
2 poin inilah yang tampak dalam video tersebut. Dan sekali lagi, semuanya
disampaikan dengan nada emosional. Bahkan sang Habib menantang “duel” satu
lawan satu. Menyaksikan video tersebut, kita seakan langsung diingatkan akan
pesan Ade Armando khususnya kepada umat islam, bahwa beriman itu perlu juga
dengan akal budi, jangan hanya emosi (lebih lanjut mengenai pesan Ade Armando
ini, silahkan kik di sini). Selain itu ceramah keagamaan Habib Bahar Smith
menyadarkan kita bahwa umat islam memang masih hidup dalam abad ke-15, bukan
abad ke-21. Jiwa dan raga ada di abad kini, namun otaknya masih di abad lampau.
Ketika
pertama kali menyaksikan video ceramah keagamaan Habib Smith yang “membahas”
virus korona, kesan pertama yang muncul adalah isi ceramah tersebut menyerang
pemerintahan Jokowi. Maklum, selama ini Habib Smith berseberangan dengan
pemerintah. Umat islam yang mendengarkan ceramahnya juga akan mempunyai kesan
demikian. Mereka menyalahkan pemerintah. Bukan tidak mungkin ini menjadi pintu
masuk bagi ideologi terorisme, karena yang melawan islam diidentikkan dengan
kafir dan taghut.
Akan
tetapi, jika ditelaah dengan akal sehat, ceramah Habib Smith sebenarnya
menyerang banyak pihak. Pertama-tama, karena berada di wilayah Indonesia, yang
diserangnya adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sebagaimana diketahui, pada
16 Maret 2020, MUI mengeluarkan fatwa no. 14, Tahun 2020, tentang
Penyelenggaraan Ibadah dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19. Dalam fatwa
tersebut ada beberapa pernyataan yang kemudian ditafsirkan dengan penutupan
masjid; bahkan no. 6 menegaskan “larangan” menghadiri pengajian umum, majelis taklim,
termasuk tabligh akbar. Yang menarik pada no. 8 dikatakan bahwa pemerintah
menjadikan fatwa ini sebagai pedoman dalam upaya penanganan covid-19 dan umat
islam wajib mentaatinya. Hal ini sejalan dengan rekomendasi yang diberikan,
yaitu bahwa pemerintah wajib melakukan pembatasan super ketat dan umat islam
wajib mendukung dan mentaati kebijakan pemerintah. Jadi, jika ada polisi atau
aparat yang “menutup” masjid, semua itu sesuai dengan fatwa MUI. Karena itulah,
ceramah Habib Smith sebenarnya menyerang para ulama yang ada di MUI. Yang dikatakan
Habib “bodoh atau bego” itu adalah MUI.
Menjadi
menarik jika kita letakkan kata-kata Habib Smith tersebut dalam konteks global.
Perlu disadari, wabah virus korona tidak hanya menyerang Indonesia, tetapi
dunia. sebagaimana diketahui, menghadapi wabah virus covid-19 ini, Kerajaan
Arab Saudi juga “melarang” umat islam melakukan shalat berjamaah; dengan kata
lain masjid ditutup. Selain itu, kegiatan-kegiatan yang mengumpulkan orang
banyak, seperti tabligh akbar, juga dihentikan. Bahkan umrah dan haji juga
demikian. Karena itu, video ceramah keagamaan Habis Bahar Smith juga menyerang
pemerintahan Kerajaan Arab Saudi. Demikian pula dengan negara-negara islam
lainnya, yang juga menerapkan kebijakan social
distancing atau physical distancing dalam
menghadapi wabah covid-19.
Jadi,
yang diserang Habib Bahar Smith dalam ceramah keagamaannya bukanlah
pemerintahan Jokowi, tetapi para ulama yang ada di Indonesia, Arab Saudi dan
negara-negara islam lainnya. Yang dikatai “bodoh atau bego” oleh Habib Bahar
Smith bukanlah pemerintahan Jokowi, tapi .....
Inilah
yang terlihat jika kita menggunakan akal sehat atau otak. Selain itu, kita
memaklumi bahwa umat islam masih hidup dalam abad XV. Sekalipun tubuh mereka
ada di abad XXI, namun pola pikir atau pemikirannya masih berada dalam abad XV.
Hal ini terkait dengan mempelajari risalah Nabi Muhammad. Kita harus maklum
bahwa teknologi pada abad XV belum secanggih abad kini. Pada abad XV belum ada
internet, apalagi media sosial. Karena itu, mempelajari risalah atau ajaran
nabi memang harus bertemu langsung dengan orang yang menyampaikan pengajaran
itu. Karena itulah, kenapa Habib mempermasalahkan “pelarangan” tabligh akbar
sehingga mereka tidak bisa menyampaikan risalah nabi. Namun jika pola pikir
mereka juga berada di abad XXI, tentulah pelarangan itu tidak menjadi masalah,
karena mereka masih bisa menyampaikan pengajaran tersebut melalui media sosial
atau live streaming. Sekali lagi
terbukti, akal sehat tidak digunakan.
Mempersoalkan
kebijakan yang kemudian ditafsirkan sebagai penutupan masjid sebagai upaya
pencegahan penularan virus korona, seharusnya Habib mempermasalahkan juga
himbauan untuk menjaga kebersihan. Ada banyak cara untuk menjaga kebersihan
tubuh kita. Salah satunya adalah mandi. Idealnya manusia mandi sehari dua kali.
Jadi, dengan mandi dua kali sehari seseorang sudah menjaga kebersihan dirinya. Akan
tetapi, hal ini bertentangan dengan risalah nabi. Dalam HS Bukhari dikatakan
bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, setiap muslim sudah menjadi kewajiban karena
Allah Ta’ala untuk mandi satu kali dalam tujuh hari (HS Bukhari Vol 2, Bk. 13,no. 21). Jadi, mandi sehari dua kali bukanlah risalah Nabi Muhammad SAW, malah
bertentangan. Lagi-lagi, ini bisa terjadi jika akal sehati tidak digunakan
dalam beragama.
Dabo Singkep, 23 April 2020
by: adrian
“Jiwa dan raga ada di abad kini, namun otaknya masih di abad lampau.” It’s really interesting
BalasHapusyeah, it's very smart. That’s like “live in Indonesian, but lifestyle is arabian.”
Hapus